Negara Hukum Kita di Ujung Tanduk

Rizky Ramadhan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2023 8:49 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Proyek besar dari legislatif resmi dibeberkan ke publik pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD tahun 2023. Berkaca dari praktik-praktik persalinan yang melahirkan produk hukum kontroversial akhir-akhir ini seperti UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, dan UU KPK, sudah semestinya seluruh lapisan masyarakat menaruh perhatiannya dalam mengawasi agenda perubahan konstitusi ini
ADVERTISEMENT
Konstitusi dalam sebuah negara walaupun bukanlah sebuah kitab suci tetapi haruslah dipandang dalam wujud yang sakral. Instrumen konstitusi dapat menentukan citra sebuah negara dan bahkan bisa pula digunakan untuk merenggut nyawa orang banyak, sehingga menjaga konstitusi untuk tetap berada dalam jalur demokrasi dan kemanusiaan merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara.
Adapun beberapa poin-poin dalam proyek amandemen yang disinggung dalam rapat tersebut di antaranya yaitu mengadakan pokok-pokok haluan negara, pencantuman klausul penundaan pemilu, hingga mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Tentunya hal-hal tersebut perlu dipertimbangkan dengan matang-matang secara akademis, terlebih lagi beberapa poin-poin yang dimasukkan sejatinya ialah ketentuan-ketentuan yang pernah eksis di negara ini. Dibalik peniadaan regulasi-regulasi silam tentunya terdapat alasan atau faktor krusial dari para regulator terdahulu.
ADVERTISEMENT

Klausul Penundaan Pemilu

Sumber foto: pixabay.com
Wacana isu penundaan pemilu sudah tidak asing lagi terdengar di telinga masyarakat. Pro kontra di tengah kalangan akademisi tampaknya telah ditarik kesimpulan oleh MPR yang meyakini bahwa klausul penundaan pemilu dalam keadaan darurat perlu ditambahkan pada UUD 1945.
Konflik demokrasi terus digulirkan terhadap agenda lama ini dan indikasi amandemen sebagai alat untuk memperpanjang masa jabatan Presiden pun telah lama dibicarakan. Secara moral perubahan dalam amandemen haruslah didasarkan pada kebutuhan masyarakat saat ini, pertanyaannya apakah masyarakat menghendaki secara keseluruhan adanya klausul penundaan pemilu saat ini?
Klausul kedaruratan sebagai syarat penundaan pemilu haruslah dikawal dengan hati-hati agar tidak rentan disalahgunakan untuk kepentingan pragmatis dan alibi antidemokrasi. Urgensi diadakan kajian yang mendalam dalam menopang pengimplementasiannya. Apalagi untuk saat ini belum ada kemendesakaan regulasi tersebut untuk dituangkan dalam konstitusi.
ADVERTISEMENT
Pengaturan klausul ini haruslah diberikan gambaran yang rigid agar tidak menimbulkan multitafsir. Layaknya frasa “ihwal kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang baru mendapatkan secercah cahaya dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang bahkan tafsirnya masih dimungkinkan perkembangan atau perubahan di masa mendatang. Oleh karena itu, indikator kedaruratan yang dimaksud haruslah benar-benar terang.
Konsekuensi logis dari penundaan pemilu ialah terjadinya perpanjangan masa jabatan. Hal ini tentunya tidak boleh dibaca secara limitatif, sebab penundaan pemilu menimbulkan kompleksitas baru yang bukan hanya memperpanjang masa jabatan Presiden tetapi juga MPR, DPR, dan DPD. Akibatnya alih-alih menghindari konsekuensi dari dampak dilaksanakannya pada keadaan darurat malah mengakibatkan dampak lainnya yaitu kekacauan dalam relasi ketatanegaraan.
ADVERTISEMENT
Praktik-praktik yang menyerupai poin ini bisa kita rasakan secara langsung akhir-akhir ini. Penyerentakan pelaksanaan pemilukada pada tahun 2024 telah cukup menambah deret polemik demokrasi yang ada. Hal ini diakibatkan oleh pemerintah yang dalam konteks ini ialah Kemandagri tidak transparan dalam proses penunjukan para penjabat tersebut.
Apabila poin amandemen ini terealisasi maka teranglah praktik-praktik semacam ini akan semakin dinormalisasi bahkan di tingkat lembaga yang lebih tinggi. Di saat kondisi ini terjadi, apakah negara kita masih dapat disebut sebagai negara demokrasi?

Lembaga Tertinggi Negara

Sidang Tahunan MPR 2023 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023). Foto: Youtube/Sekretariat Presiden
Untuk mengimplementasikan poin ini pemahaman akan konsep check and balances sangatlah penting guna menghindari terjadinya abuse of power dari jajaran lembaga negara. Konsep pemisahan kekuasaan yang dicetuskan oleh John Locke dan dielaborasi lebih lanjut Montesquieu ini merupakan prinsip ketatanegaraan yang menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Setelah amandemen silam telah terjadi reposisi terhadap kedudukan MPR, salah satunya ialah memangkas kewenangannya dalam hal pemakzulan Presiden. Satu hal yang mesti kita pahami adalah Indonesia bukan negara demokrasi yang mengilhami adagium vox populi vox dei secara mentah-mentah, demokrasi yang dibangun oleh negara kita adalah sebuah demokrasi yang dijalankan melalui lalu lintas konstitusi.
Hal ini bukan tanpa alasan, dengan pluralitas kental yang dimiliki bangsa Indonesia akan sangat berbahaya bagi suara minioritas apabila pengambilan kebijakan hanya dipandang berdasarkan kacamata mayoritas. Agar menjaga lalu lintas tersebut tetap berjalan dengan terarah, pasca amandemen dibentuklah sebuah lembaga yang bertugas untuk menjaga lalu lintas konstitusi itu untuk tetap kondusif yakni Mahkamah Konstitusi.
Adapun peran MK dan MPR yang saling berkesinambungan ialah terkait pemakzulan Presiden. Setelah amandemen MPR haruslah mengikutsertakan MK perihal ini, akibatnya MPR tidak memiliki daya absolut lagi layaknya pencopotan Presiden Adurrahman Wahid alias Gus Dur pada tahun 2001.
ADVERTISEMENT
Sejatinya pemangkasan kewenangan inilah yang diamanatkan dari sistem check and balances tersebut. Kehadiran peran lembaga yudikatif tersebut merupakan implementasi sistem kontrol agar tidak terjadi sentralisme kewenangan oleh MPR. Mekanisme ini amatlah vital dalam negara demokrasi yang merupakan benteng pemisah yang dapat menetralkan kepentingan politik.
Menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara berarti mengembalikan lagi kewenangannya dalam memilih maupun memberhentikan Presiden. Pengembalian kedudukan ini merupakan perubahan yang sangat mendasar dan jelas menggerus sistem check and balances yang terus dibangun selama ini. Pertanyaan yang wajib dilontarkan ialah kepentingan manusia mana dikedepankan dibalik skenario ini?

PPHN

Sumber foto: pixabay.com
Pengadaan PPHN pada dasarnya beririsan dengan poin amandemen yang hendak mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Pemberlakuan PPHN diproyeksikan untuk memberikan tatanan petunjuk arah pembangunan bagi negara yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman, kewenangan ini akan sangat signifikan dampaknya terhadap seluruh lembaga negara.
ADVERTISEMENT
Sejatinya kehadiran instrumen sejenis ini bukan menjadi suatu hal yang baru di Indonesia. PPHN pertama kali diberlakukan pada masa orde lama dan ditiadakan lewat amandemen tahun 2001. Lantas apakah menghidupkannya kembali menjadi langkah yang bijak?
Bercermin dari sejarah republik ini, salah satu faktor utama mengapa PPHN dihapuskan ialah sebab instrumen ini acapkali diberdayakan sebagai lahan korupsi untuk memuluskan berbagai titipan kepentingan segelintir pihak. Pertanyaan yang timbul selanjutnya ialah apakah relevan PPHN dihidupkan kembali di tengah budaya korupsi yang sampai sekarang masih belum dapat dibasmi oleh negara?
Tahun 2022 memberikan sebuah kado pahit bagi pemerintahan Indonesia, fakta bahwa Indeks Persepsi Korupsi yang terjun bebas ke angka 38 menempatkannya berada pada peringkat 110 dari 180 negara di dunia. Bahkan data tersebut menjadikan skor terburuk republik ini sejak reformasi.
ADVERTISEMENT
Di samping daripada itu, penegakan hukum terhadap korupsi kian hari pun kian melempem. Hal ini bisa kita lihat dari overulling putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 terhadap UU Tipikor yang mempersulit penegakan hukum korupsi dengan menjadikannya delik materiil dan Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 terhadap UU KPK yang mendalilkan KPK sebagai lembaga eksekutif. Apakah dengan kondisi penegakan tindak pidana korupsi saat ini sudah mampu menghapuskan trauma masa lalu dan melegitimasi kembali PPHN menjadi proyek relevan untuk dihidupkan?
Sudah seyogyanya seluruh poin-poin amandemen tersebut dipertimbangkan dengan cermat, jangan sampai proyek ini menjadi kotak pandora yang berimbas buruk pada kemaslahatan rakyat. Keacuhan kita terhadap isu ini dapat mengakibatkan gerbang autocratic legalism semakin terbuka lebar, sebab konstitusi belum tentu sejalan dengan konstitusionalisme.
ADVERTISEMENT
Akhir kata untuk menutup tulisan ini, saya mengutip perkataan Feri Amsari pada sidang Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023, “Kalau kita tidak menghormati Undang-Undang Dasar dan undang-undang sebaiknya memang kelas ilmu perundang-undangan kita tiadakan saja karena hampir relatif tidak diperlukan dan tidak ada gunanya kuliah tersebut”.