Sistem Proporsional Terbuka dan Klientelisme

Rizky Ramadhan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
4 Agustus 2023 9:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilihan umum (pemilu) 2024 telah dipastikan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Mahkamah Konstitusi pada bulan Juli silam menolak permohonan yang mendalilkan pemberlakuan sistem proporsional tertutup.
ADVERTISEMENT
Hal ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022. Sejatinya berkaitan dengan jenis sistem pemilu tidak diatur secara konkrit dalam konstitusi atau dengan kata lain dikembalikan kepada open legal policy.
Pemohon tersebut menyebutkan bahwasanya jenis sistem pemilu yang dipakai saat ini mengamputasi peran dari partai politik. Dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa sampai saat ini partai politik masihlah memiliki peran sentral dalam sistem proporsional terbuka.
Salah satu indikatornya yaitu fakta bahwa partai politik masih menjadi syarat bagi warga negara agar dapat mencalonkan diri menjadi anggota DPR/DPRD.
Adanya mekanisme recall terhadap anggota DPR/DPRD pun membuktikan bahwa partai politik masih memegang peran sentral tersebut. Oleh karena itu, MK berpandangan bahwasannya sistem proporsional terbuka lebih dekat dengan penafsiran asli dari konstitusi.
ADVERTISEMENT

Kelebihan dan Kekurangan Proporsional Terbuka

Sumber foto: pixabay.com
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwasannya kedaulatan berada di tangan rakyat. Maka dari itu dalam pemilu, rakyat memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan wakilnya.
Hal ini selaras dengan sistem yang dijalankan proporsional terbuka, di mana rakyat dapat dengan langsung memilih caleg yang akan menjalankan roda pemerintahan nantinya.
Bila kita menilik Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum maka kita dapat menemukan macam-macam prinsip dalam menyelenggarakan pemilihan yang wajib dipenuhi, di mana salah satunya yaitu prinsip keterbukaan.
Di saat pihak yang memiliki kewenangan untuk memilih anggota legislatif hanyalah partai politik seperti dalam sistem proporsional tertutup maka dengan sendirinya prinsip ini dicederai.
ADVERTISEMENT
Sebab proses pemilihan dengan sistem proporsional tertutup dilakukan dalam internal partai tanpa diketahui masyarakat. Oleh sebab itu juga, sistem proporsional terbukalah yang lebih kompatibel memenuhi prinsip dalam UU Pemilu bila dibandingkan dengan proporsional tertutup.
Sistem proporsional terbuka pun memiliki beberapa kelebihan seperti sistem koreksi error secara individual. Misalnya apabila kita tidak puas terhadap kinerja anggota legislatif dalam suatu periode maka rakyat dapat memberikan suatu punishment dengan tidak memilih individu tersebut kembali di putaran pemilihan selanjutnya.
Dapat kita lihat di sini bahwa rakyat berperan besar dalam fungsi pengawasan sehingga para wakilnya memiliki tanggung jawab lebih terhadap rakyat secara langsung.
Diluar dari kelebihan-kelebihan tersebut, sistem ini juga memiliki beberapa celah kekurangan. Salah satunya yaitu mengenai jenis kelamin ideologi partai yang akan semakin tidak dapat dibedakan dengan diberlakukannya sistem ini.
ADVERTISEMENT
Mengingat terdapat ribuan caleg yang bersaing di sistem proporsional terbuka, selain dari sulitnya mengenal calon satu per satu, kualitas dari calon tersebut pun patut dipertanyakan.
Partai cenderung memilih calon yang memiliki popularitas yang tinggi guna mendapatkan efek elektoral lebih besar, sehingga hal ini berpotensi menghasilkan calon yang nonkompeten maupun non-ideologis. Bahkan hal ini juga akan berimplikasi mengancam partai kehilangan ideologinya karena hanya mengedepankan sikap pragmatisme dalam menentukan calon.
Pemborosan biaya apabila menggunakan proporsional terbuka pun patut dipertimbangkan. Tercatat Indonesia menghabiskan sebesar 25 Triliun pada Pemilu 2019 silam yang menempatkan Indonesia di posisi ke-3 sebagai negara dengan biaya pemilu termahal di dunia dan bahkan Pemilu 2024 digadang-gadang akan menjadi pesta demokrasi termahal di dunia.
ADVERTISEMENT
Belum lagi dampak secara tidak langsung sistem ini terhadap maraknya politik uang yang digunakan calon legislatif guna meraup personal vote. Logika sederhananya ialah saat ongkos pemilu mahal maka akan berimplikasi terhadap tingkat korupsi yang ada.

Klientelisme Elektoral

Sumber foto: pixabay.com
Pertama-tama penulis hendak mendudukkan bahwasanya jenis klientelisme yang dibahas dalam tulisan ini ialah klientelisme elektoral.
Berbeda dengan definisi klientelisme secara general yang pada umumnya menggambarkan suatu siklus berkelanjutan antara politisi dengan kliennya yang dilakukan tidak hanya selama pemilu. Klientelisme elektoral sendiri menggambarkan suatu siklus distribusi imbalan kepada pemilih yang hanya dilakukan pada saat pemilu.
Faktor utama yang menyebabkan praktik ini ialah beranjak dari faktor ekonomi. Kemiskinan merupakan penyebab utama hal ini lahir, semakin tinggi tingkat kemiskinan di suatu wilayah maka hal ini pun berpotensi menyebabkan praktik klientelisme cenderung naik.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, praktik demokrasi elektoral pasca orde baru pun turut mendorong mobilisasi hubungan timbal balik secara klientelisme ini. Tak jarang praktik ini digunakan sebagai strategi utama caleg.
Dalam konteks pemilu, kadangkala pemilih hanya berfokus pada penerimaan imbalan materiil secara langsung. Pemilih sejatinya sepenuhnya sadar akan visi dan misi para caleg yang terkadang hanyalah sebuah omong kosong belaka.
Pada akhirnya kebiasaan ini menyebabkan perilaku korup yang memanfaatkan instrumen demokrasi dalam praktiknya. Alhasil publik yang seharusnya menjadi pihak kontrol malah menjadi bagian dari permasalahan.
Praktik yang menyebabkan kemerosotan demokrasi ini pun sejatinya bergerak berkesinambungan. Lemahnya mekanisme kontrol dari pihak pemilih berdampak pada tidak berjalannya juga mekanisme representasi dari pihak dipilih.
ADVERTISEMENT
Oleh karena hubungan timbal balik dan sistem pemilihan yang secara tidak langsung memicu terjadinya praktik ini menyebabkan klientelisme semakin subur di Indonesia.

Implikasi Politik Uang

Sumber foto: pixabay.com
Berpijak pada pendalaman pemahaman diatas dan fakta empiris yang terjadi dapat disimpulkan bahwa sistem proporsional terbuka sebagai hasil dari reformasi sistem pemilu pasca orde sangat berjasa dalam meningkatkan intensitas politik uang di Indonesia. Dapat dikatakan memang politik uang lah yang menjadi kelemahan terbesar dari sistem ini.
Sistem ini memaksa para caleg untuk menghasilkan personal vote sebanyak-banyaknya dan melakukan strategi kampanye yang mengedepankan unsur ketokohan daripada kampanye yang berbasis partai.
Sebab dalam sistem ini yang diinginkan bukan hanya saja loyalitas para caleg kepada partainya, tetapi juga loyalitas pemilih secara personal terhadap caleg. Mau tidak mau para caleg harus mengeluarkan biaya signifikan dalam kampanye politiknya.
ADVERTISEMENT
Gejala ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi (high cost politics). Alhasil agar dapat meraup elektabilitas lebih dari pesaing internal dalam partai, caleg-caleg tersebut terperangkap dalam lingkaran setan politik uang.
Praktik penyelewengan yang dipacu oleh sistem ini berpusat pada caleg yang memersonalisasi politik uang, mendegradasi partai, serta mengikis loyalitas pemilih terhadap partai.
Umumnya petahana menggunakan strategi klientelisme secara berulang. Tujuannya ialah untuk menciptakan loyalitas politik saat pemilihan. Melalui loyalitas tersebut, petahana mengharapkan siklus yang berulang guna menjaga kursi kekuasaan.
Bagi sebagian masyarakat praktik politik uang merupakan sebuah rezeki yang tidak perlu ditolak, sehingga hal ini sudah dianggap menjadi sebuah kewajaran. Oleh sebab ini juga, praktik ini terus bertahan dan subur saat pemilu.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang pasti dalam pemberlakuan sistem proporsional terbuka harus dibutuhkan penegakan hukum yang kuat dan tidak pandang bulu. Hal ini dapat dimulai dengan sosialisasi ancaman pidana terhadap pelaku politik uang hingga pembatalan pencalonan bagi pelaku yang terbukti melakukannya.
Penggunaan sistem proporsional terbuka haruslah dibarengi dengan kontrol terhadap money politic yang sekuat mungkin agar output yang dihasilkan bukan hanya calon bermodal popularitas tetapi juga memiliki kompetensi yang memadai.