Buruk Rupa Legislasi: Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

Gray Sembiring
Pembelajar Hukum Vox Audita Perit, Littera Scripta Manet. Hukum Tata Negara FH USU
Konten dari Pengguna
15 Juni 2024 13:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gray Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hakim Konstitusi Arsul Sani (kiri) membacakan putusan dismissal dalam sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (21/5/2024). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Konstitusi Arsul Sani (kiri) membacakan putusan dismissal dalam sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (21/5/2024). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) saat ini telah bergulir di DPR RI. Komisi III DPR bersama Menkopolhukam Hadi Tjahjanto sepakat mengesahkan pembahasan tingkat pertama perubahan UU MK. Proses revisi pun diyakini tinggal selangkah menuju pengesahan di rapat paripurna. Pembahasan pun dilakukan secara tertutup dan tidak representatif karena hanya diikuti oleh segelintir anggota komisi III.
ADVERTISEMENT
Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) selalu menjadi momok yang menakutkan untuk meruntuhkan independensi Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, sampai dengan rancangan perubahan keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, revisi UU MK tidak pernah menyasar kepada perbaikan MK secara institusional ataupun independensi hakim konstitusi secara individual. Revisi UU MK selalu menjadi alat untuk “mengkerangkeng” hakim konstitusi.
Padahal, pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kata “merdeka” apabila ditafsirkan mengandung makna tidak boleh diintervensi oleh cabang kekuasaan lainnya. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman menjadi salah satu aspek penting untuk menguatkan bangunan kerangka negara hukum dan demokrasi.

Buruk Rupa Legislasi

Apabila ditelisik historis perubahan UU MK mulai dari UU Nomor 8 Tahun 2011, UU Nomor 4 Tahun 2014 yang sudah dibatalkan seluruhnya, dan UU Nomor 7 Tahun 2020 lebih banyak mengotak-atik usia dan masa jabatan hakim konstitusi. Padahal, perubahan UU MK haruslah menyentuh hal-hal substansial dalam rangka penguatan kewenangan dan kelembagaan MK.
ADVERTISEMENT
Misalnya, ketentuan pasal 24 C ayat (5) UUD 1945 yang kemudian termuat dalam Pasal 15 Ayat (1) UU MK yang menyebutkan Hakim Konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Perubahan UU MK, tidak pernah sekalipun menjelaskan secara detail bagaimana batasan, kualifikasi, dan kriteria seseorang dapat dikatakan sebagai seorang Negarawan.
Hal ini menjadi penting karena sejarah mencatat Hakim MK Patrialis Akbar dan Akil Mochtar pernah tertangkap melakukan tindak pidana korupsi pun Hakim Anwar Usman yang diberhentikan dari jabatan ketua MK karena melakukan pelanggaran etik berat. Dengan dibuatnya penjelasan secara komprehensif tentunya akan ada harapan hadirnya Hakim Konstitusi yang benar-benar Negarawan.
Ataupun penambahan kewenangan MK melalui Constitutional Complaint dan Constitutional Question. Ruang pengujian konstitusionalitas undang-undang atau constitutional review di Indonesia masih sangat sempit, yakni hanya menjangkau pengujian norma abstrak saja dan belum mengakomodir pengujian norma dan peristiwa konkret. Hal ini menjadikan kehidupan bermasyarakat Indonesia hanya memenuhi prinsip “justice delayed” yang merupakan bentuk lain dari ketidakadilan (justice delayed is justice denied).
ADVERTISEMENT
Namun, hingga kini perubahan UU MK tidak pernah sampai menyentuh hal substantif sebagaimana disebutkan di atas oleh Pembentuk Undang-Undang. Sampai pada draft terbaru perubahan keempat UU MK, orientasi yang dibangun oleh legislator menunjukan sikap pembangkangan konstitusi (Constitutional Disobedience) terhadap prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang menjadi syarat bangunan negara hukum.

Meruntuhkan Independensi

Indikasi meruntuhkan independensi hakim konstitusi secara eksplisit tertuang pada pasal 23A. Awalnya dalam perubahan ketiga UU MK, pemberhentian hakim konstitusi dilakukan karena telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun.
Dengan kehadiran pasal 23A maka akan ada poin evaluasi hakim oleh lembaga pengusul. Artinya, meskipun hakim konstitusi tersebut belum berusia 70 tahun tetapi karena ia tidak mendapatkan persetujuan oleh lembaga pengusulnya, hakim tersebut bisa ditarik kembali (recall).
ADVERTISEMENT
Hal ini kemudian ditegaskan pada pasal 23A ayat (2) yang berbunyi “hakim konstitusi setelah 5 tahun menjabat wajib dikembalikan ke lembaga pengusul yang berwenang untuk mendapatkan persetujuan atau tidak mendapatkan persetujuan untuk melanjutkan jabatannya”.
Rumusan norma ini sejatinya sangat potensial mengancam independensi dan imparsialitas hakim konstitusi. Sebab, hakim konstitusi hanya akan mengikuti kehendak lembaga pengusulnya. Apabila ia tidak patuh, hakim konstitusi akan dilengserkan.
Padahal, dalam bangunan negara hukum demokratis kedudukan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif harusnya seimbang. Ketiganya memiliki kedudukan yang secara fungsional-horizontal sama. Tidak ada lembaga yang subordinat atau secara hierarkis-vertikal lebih tinggi.
MK memainkan peran check and balances agar kekuasaan legislatif dan eksekutif dijalankan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, praktik recall tidak dapat dibenarkan dalam negara demokrasi konstitusional.
ADVERTISEMENT
Tentunya, masih bersemayam dalam ingatan kita ketika hakim Aswanto dilengserkan oleh DPR ketika ia mempunyai pendapat berbeda dengan lembaga pengusulnya (DPR). Hakim Aswanto sepakat bahwa pembentukan UU Cipta kerja cacat secara formil karena dibentuk secara terburu-buru oleh pembentuk undang-undang. Kini pelengseran secara ilegal yang dialami hakim Aswanto telah mendapatkan legalitas apabila revisi UU MK disahkan.
Kemudian, pasal 87 yang menjadi aturan peralihan apabila didekati menggunakan kacamata ilmu politik, ada upaya filterisasi terhadap hakim yang sedang menjabat. Pasal 87 mengharuskan hakim yang telah lima tahun menjabat untuk mendapat persetujuan ulang dari lembaga yang mengusungnya. Kemudian hakim bisa melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun jika mendapatkan persetujuan tersebut.
Aturan peralihan ini problematik karena retroaktif (berlaku surut) bagi hakim konstitusi incumbent. Pembentuk UU perlu mengingat pesan konstitusional (constitusional message) Putusan MK Nomor 81/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut MK menyatakan Perubahan undang-undang tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat dari substansi perubahan undang-undang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Khusus berkenaan dengan UU MK, terutama berkenaan dengan persyaratan usia, perubahan tersebut tidak boleh merugikan Hakim Konstitusi yang sedang menjabat. Selain itu, apabila diletakkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, perubahan yang sering kali dilakukan, termasuk dengan mengubah syarat usia dan masa jabatan, jelas hal tersebut akan mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Oleh karena itu, apabila DPR dan Presiden serius untuk merevisi UU MK, perubahan haruslah menyasar pada penguatan MK secara institusional atau pada hakim secara individual. Negara harus memberikan jaminan keamanan dan kemandirian bagi hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk melindungi konstitusi.
Tatkala perubahan tidak sampai ke arah tersebut, revisi UU MK tidak memiliki urgensi untuk disahkan. Apabila perubahan hanya menyangkut usia dan masa jabatan, justru ini memperlihatkan buruk rupa legislasi kita yang menampilkan wajah otoritarian berbungkus hukum. Jangan sampai the guardian of the constitution disandera oleh politisi.
ADVERTISEMENT