Hukum yang Terabaikan

Gray Sembiring
Pembelajar Hukum Vox Audita Perit, Littera Scripta Manet. Hukum Tata Negara FH USU
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2023 17:08 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gray Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Buku dengan judul “Hukum yang Terabaikan” ini merupakan kumpulan tulisan Prof. Saldi Isra. Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Andalas pula Hakim Mahkamah Konstitusi. Tentunya, goresan yang ia ejawantah pada buku ini, beliau tulis tatkala masih menjadi Dosen dan menghabiskan banyak waktu di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH UNAND.
ADVERTISEMENT
Dengan ringan, sebenarnya kita bisa menilai daya kritis dan konsistensi pandangan Prof. Saldi dalam gerakan anti korupsi saat masih menjadi Dosen dibandingkan pendapat hukum beliau ketika sudah menjadi Hakim Konstitusi. Apabila kita sering membaca putusan MK, khususnya putusan-putusan yang dalam tanda kutip “mata air” Prof. Saldi cukup sering berbeda pendapat dengan mayoritas hakim konstitusi. Tetapi disisi lain ia juga kadang terjebak dalam arus yang sebenarnya kontradiktif dengan prinsip yang ia yakini.
Tentunya tulisan ini tidak akan mengomentari pendapat hukum atau ratio decidendi beliau dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini mencoba menelaah pandangan-pandangan Prof. Saldi menyikapi 2 Tahun kepemimpinan Jokowi-JK khususnya dalam penegakan hukum.
Tulisan yang ia muat dalam buku ini ia tulis di rubik opini harian Kompas tahun 2014, 2015, dan 2016. Total ada 26 tulisan yang diterbitkan, menariknya dari 26 tulisan, 15 tulisan fokus pada isu pemberantasan korupsi; khususnya penyelamatan KPK yang di awal kepemimpinan Jokowi mengalami serangan yang dahsyat.
ADVERTISEMENT
Saat membuka lembaran awal, Prof. Saldi langsung memberikan pertanyaan yang teramat dalam. “Apakah pemerintahan Jokowi-JK memiliki perhatian serius terhadap bidang hukum?”. Dalam batas penalaran wajar, pertanyaan ini muncul tidak terlepas kian buruknya potret penegakan hukum.

Menagih Janji Jokowi: KPK dan Anti Korupsi

Pemberantasan korupsi dan penguatan KPK adalah salah satu janji kampanye presiden Jokowi pada saat pemilihan presiden. Sebagai warga negara, adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk menagih janji tersebut mengingat dalam bentangan empirik komitmen itu bisa dipertanyakan. Misalnya, pemenuhan janji Jokowi dalam menentukan sikap soal Komjen Budi Gunawan.
Sebagaimana diketahui, di tengah kisruh KPK VS Kepolisian semua masyarakat menginginkan agar Presiden mengambil tindakan darurat. Tindakan itu agar kepolisian menghentikan segala kriminalisasi terhadap pimpinan lembaga anti rasuah. Permintaan ini mengemuka karena ketidaktegasan Jokowi dalam upaya penggerogotan KPK. Misalnya, dalam berbagai kesempatan Jokowi mengajak KPK dan Kepolisian memastikan proses hukum yang objektif. Namun nyatanya, kepolisian terus mencari kesalahan pimpinan KPK. Yang dapat dirasakan adalah ucapan Jokowi semacam nihil makna dan KPK benar-benar mengalami disfungsi.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, KPK memberikan kejutan dengan menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus rekening gendut. Penetapan tersangka ini menjadi kontroversial karena Budi Gunawan menjadi calon tunggal Kapolri. Pasca penetapan tersangka, ancaman-ancaman menerpa KPK.
Kepolisian melakukan serangan balik dengan menangkap pimpinan KPK Bambang Widjojanto. Bambang dituduh memiliki peran dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Kota Waringin Barat. Isu ini kemudian dikapitalisasi. Penegakan hukum yang seharusnya menguak kebenaran malah berbalik dengan mencari-cari kesalahan. Bilamana motif penegak hukum adalah mencari-cari kesalahan, orang paling baik di dunia ini pun niscaya bisa ditangkap. Karena pasti ada titik bolong yang bisa menjadi celah aparat penegak hukum.
Dalam kondisi pelik KPK yang menghadapi serangan, posisi Jokowi sejatinya amat diperlukan. Misalnya, dalam penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka dan calon tunggal kapolri, Jokowi punya moralitas hukum yang kuat untuk tidak melantik yang bersangkutan menjadi Kapolri meskipun Komjen Budi telah mendapat persetujuan di DPR. Bahkan secara yuridis, pemberhentian sementara terhadap pejabat yang telah ditetapkan menjadi tersangka dimungkinkan.
ADVERTISEMENT
Justru menjadi pertanyaan, kenapa aturan hukum ini tidak diberlakukan kepada Budi Gunawan? karena sejatinya Budi Gunawan jelas tidak memenuhi syarat sebagai calon Kapolri. Atas deretan fakta tersebut, menjadi wajar masyarakat sipil menagih janji Jokowi atas komitmennya dalam memberantas korupsi dan menghentikan serangan sistemik terhadap KPK.

Menyelamatkan KPK

Sebagai sebuah lembaga Extra ordinary yang memiliki mandat khusus dalam memberantas korupsi, serangan terhadap KPK mendera sejak awal. Bahkan serangan itu menjamah semua penjuru mata angin. Ketika KPK menunjukkan tajinya dalam menyentuh episentrum kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, acap kali kewenangan KPK ingin dibonsai melalui mekanisme Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.
Ketika serangan menggunakan langkah hukum ke MK tak mempan, lembaga-lembaga politik justru mengamini pelemahan itu. Bahkan kuasa politik ingin memangkas kewenangan KPK dengan jalan legislagi. Dukungan politik parlemen teramat lemah kepada KPK. Tanpa dukungan politik, agenda pemberantasan korupsi tidak akan berkembang dan melaju ke depan. Sebaliknya, ia hanya akan berjalan di tempat atau mundur ke belakang. Beruntung, agenda pembunuhan KPK tak pernah sampai tahap persetujuan DPR dan Presiden.
ADVERTISEMENT
Di tengah situasi yang makin tak memihak KPK, lembaga anti-korupsi ini hanya bisa diselamatkan dengan keberanian melakukan langkah darurat. KPK harus mampu memberi keyakinan kepada publik bahwa segala kisruh dan ancaman yang mendera mereka tidak mengendurkan semangat dalam memberantas korupsi. Namun, jauh lebih penting, keberlanjutan KPK bergantung pada dukungan Jokowi. Dalam situasi seperti itu, Jokowi harus memberikan dukungan secara terbuka kepada KPK. Caranya: perintahkan secara terbuka kepolisian untuk menghentikan kriminalisasi terhadap semua elemen KPK.

Memperkuat Pelemahan KPK

Dalam satu tahun Jokowi-JK bukan tak pernah muncul sikap yang menunjukkan upaya terhadap skenario pelemahan KPK. Pengujung 2015, misalnya Presiden Jokowi menolak revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Namun di tengah gelombang penolakan, mayoritas kekuatan politik yang tergabung di Badan Legislasi DPR, menyetujui naskah revisi UU KPK. Hanya ada 2 partai yang secara tegas menolak revisi hasil kerja badan legislasi itu.
ADVERTISEMENT
Isu yang menjadi permasalahan dalam substansi revisi UU KPK adalah: (1) keinginan pembentukan dewan pengawas KPK; (2) Penyadapan dan Penyitaan memerlukan izin dewan pengawas; (3) pemberian wewenang bagi KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan; (4) Alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Segala upaya pelemahan KPK oleh legislator sejatinya dapat diantisipasi apabila Presiden menolak persetujuan sebuah Undang-Undang. Harapan tentunya terakumulasi di pundak Jokowi. Karena jika mengikuti alur dan logika “persetujuan bersama” dalam pasal 20 ayat (3) UUD 1945, dalam hal menteri yang mewakili presiden menolak memberikan persetujuan bersama, maka persetujuan tidak akan pernah terjadi.
Artinya, dengan tidak mendapat persetujuan bersama, revisi UU No 30 Tahun 2002 tidak akan pernah memasuki tahap pengesahan Presiden. Publik berharap revisi UU KPK di tengah jalan bilamana Presiden Istikamah dengan janji menguatkan KPK.
ADVERTISEMENT

Mengamini Pembunuhan

Membunuh barangkali tidak hanya mengendus pisau ke Jantung, pembunuhan lembaga negara tentunya bisa melalui berbagai upaya; salah satunya legislasi. Cerita pembunuhan ini terjadi saat akhir periode Jokowi-JK dan Prof. Saldi sudah menjadi Hakim Konstitusi.
Harapan besar publik terhadap Joko Widodo akhirnya sirna di tengah jalan. Pemerintah dan DPR akhirnya menyetujui revisi UU KPK. Pada tanggal 17 September 2019 UU KPK resmi disahkan dan mengubah KPK secara keseluruhan. Pengesahan revisi UU KPK adalah pembunuhan terhadap KPK dan menjadi awal mula kisah kiamat pemberantasan korupsi.
Lidah memang tak bertulang, Presiden Jokowi turut serta terlibat dalam upaya pembunuhan KPK. Komitmen pemberantasan korupsi yang tersusun indah nan rapi di Nawacita, hanya janji manis yang berujung petaka. Pengesahan revisi UU KPK sejatinya adalah kemenangan bagi kekuasaan. Kemenangan yang bermuara dari pemufakatan jahat legislator yang berujung pada kematian KPK.
ADVERTISEMENT
Begitu pula, upaya penyelamatan KPK melalui Uji Formil dan Materiil di Mahkamah Konstitusi tidak bisa mengembalikan nyawa KPK. Bahkan Prof. Saldi dalam putusan Uji Formil sepakat pembentukan UU KPK sudah mengikuti prosedur dan tata cara pembentukan undang-undang yang baik. Ia seolah tidak mempunyai argumen berbeda dengan hakim lainnya (Dissenting Opinion). Begitu pula dengan uji materiil, putusannya bagai air lalu. Substansi yang bermasalah, diberi obat untuk sembuh sementara. Namun mati selamanya. Rest In Peace KPK!