Kekerasan Budaya Pasca 1965 dan Legitimasi Anti-Komunisme Orde Baru

Gray Sembiring
Pembelajar Hukum Vox Audita Perit, Littera Scripta Manet. Hukum Tata Negara FH USU
Konten dari Pengguna
18 Februari 2023 11:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gray Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sampul depan buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang. Sumber: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sampul depan buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang. Sumber: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apabila dalam pertaruhan kehidupan kita diperhadapkan dua pilihan, memilih pembenaran kepalsuan yang menyenangkan atau membongkar kebenaran walaupun itu menyakitkan. Mana yang akan kita pilih? Saya sendiri memilih yang kedua setelah membaca buku karya Wijaya Herlambang yang berjudul “Kekerasan Budaya Pasca 1965”.
ADVERTISEMENT
Buku setebal 333 halaman ini merupakan salah satu karya fenomenal yang saya baca. Ada banyak fakta baru yang seketika membuat saya tercengang. Fakta tersebut bukan kiasan belaka, tetapi didukung oleh literatur, data, dan kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ketika memulai membaca bagian pendahuluan saja, pembaca seolah-olah langsung digugah dengan narasi yang dibuat oleh wijaya herlambang. Seakan kita bisa sedikit menapak tilas pelbagai fenomena pembenaran kekerasan yang dilakukan oleh orde baru, namun disisi lain wijaya herlambang juga membuat kontra-narasi melawan manipulasi dan pembenaran kekerasan tersebut.
Menjadi hal umum Anti-komunisme telah lama menjadi wacana utama masyarakat Indonesia sepanjang sejarah orde baru (1966-1998) dan sesudahnya. Salah satu aspek penting yang memberikan kontribusi terhadap bagaimana ideologi anti-komunisme dibentuk oleh rezim Orde Baru dan dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama adalah kampanye kebudayaan dan melegitimasi kekerasan terhadap simpatisan komunis pada 1965-1966.
ADVERTISEMENT
Buku ini menyajikan analisi atas upaya pemerintah Orde Baru beserta agen-agen kebudayaanya dalam memanfaatkan produk budaya sebagao bagian dari strategi untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966. Dalam buku ini juga membahas upaya perlawanan untuk mendekonstruksi wacana anti-komunisme yang dilakukan pemerintahan Orde Baru.
Bahasan buku dimulai dengan sebuah analisis tentang bagaimana gagasan “kebebasan” (liberty) intelektual dan artistik (humanisme universal) dimanipulasi oleh intelektual pro-barat dan dijadikan sebagai basis ideologi untuk menyingkirkan komunisme. Fokus kedua dari buku ini mencakup pembahasan tentang proses legitimasi kekerasan 1965-1966 oleh militer melalui narasi utama Orde Baru yang ditulis oleh kepala Pusat Sejarah ABRI, Nugroho Notosusanto.
Untuk mengeksplorasi gerakan perlawanan terhadap Orde Baru, buku ini menyajikan pula bagaimana kelompok-kelompok dan aktivis kebudayaan berupaya mendekonstruksi ideologi anti-komunis warisan rezim. Pembahasan ini akan menyoroti kelompok-kelompok kebudayaan kontemporer seperi JAKER (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat), KUK (Komunitas Utan Kayu), Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan buletin boemipoetra, serta penulis Noorca Massardi.
ADVERTISEMENT
Narasi normalisasi dan legitimasi kekerasan dituangkan dalam cerita-cerita di dalam majalah sastra horison antara 1966-1970; dan kemudian dilanjutkan melalui narasi utama Orde Baru yang ditransformasikan ke dalam karya Arfin C. Noer (film,1981) dan Arswendo Atmowiloto (novel, 1986) yang keduanya berjudul Pengkhianatan G30S/PKI menjadi bagian dari usaha pemerintah untuk menyebarkan ideologi anti-komunis. Sebagai studi kasus ketiga, buku ini menyajikan diskusi tentang bagaimana karya Noorca Massardi, september (2006) menggugat konstruksi ideologi anti-komunisme Orde Baru.
Wijaya Herlambang juga membahas dan mengajak pembaca menilik lebih dalam kompleksitas kekerasan; khususnya kekerasan budaya. Johan galtung adalah pemikir yang merumuskan pengertian kekerasan secara komprehensif. Menurutnya, kekerasan budaya adalah model kekerasan yang paling sulit untuk diukur, sekalipun ia memiliki dampak yang sangat krusial bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Cara lain kekerasan budaya bekerja adalah dengan membuat kenyataan menjadi kabur (melalui bahasa, seni, pengetahuan, dan simbol-simbol lain) sehingga seolah-olah kita tidak melihat kekerasan itu dilakukan atau paling tidak kita melihatnya sebagai tindakan yang tidak terlalu keji dan sebuah tindakan yang dapat diterima. Dengan demikian, pembenaran atas praktik kekerasan melalui produk-produk kebudayaan merupakan bentuk kekerasan yang disebut galtung sebagai “kekerasan budaya”.
Lebih lanjut, Wijaya juga memaparkan pengaruh AS baik secara langsung ataupun tidak dalam perlawanan komunisme yang secara khusus terlihat dalam oposisi sayap kanan, terutama faksi sayap-kanan militer, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Masyumi, dan yang paling penting: para seniman dan intelektual anti-komunis. Strategi untuk menggunakan budaya sebagai instrumen agresi terhadap komunisme telah disadari dan dilaksanakan di banyak negara termasuk Indonesia, terutama oleh CIA melalui CCF (Congress for Cultural Freedom) yang bermarkas di paris.
ADVERTISEMENT
Pengaruh CCF secara khusus ditujukan kepada sekelompok individu yang diantaranya memegang posisi berpengaruh dalam aktivitas sosial, kebudayaan, dan politik sebelum peristiwa 30 Septemer 1965 terjadi. Dalam konteks inilah pembentukan ideologi anti-komunisme, terutama yang didasari oleh ideologi liberalisme barat (dan juga atas pertimbangan keagamaan), dimengerti oleh para pendukungnya sebagai ujung tombak melawan komunisme.
Kemudian dalam karya sastra akan dibahas semangat humanisme universal tercermin dalam cerita-cerita tentang kekerasan terhadap kaum komunis pada 1965-1966. Cerpen-cerpen yang dibahas antara lain karya Satyagraha Hoerip (“Pada Titik Kulminasi,” 1966), Gerson Poyk (“Perempuan dan Anak-anaknya,”1966), Sosiawan Nugroho (“Sebuah Perdjuangan Ketjil,” 1967), Usamah (“Perang dan Kemanusiaan,”1969), dan Ugati (“Ancaman,” 1969). Cerpen yang disebut diatas menjadi argumen bahwa cerita-cerita itu adalah bentuk justifikasi atas kekerasan yang dialami oleh kaum komunis, dengan cara memanipulasi gagasan humanisme yang didasarkan pada konflik psikologis para tokohnya.
ADVERTISEMENT
Kendati wacana Anti-Komunisme semakin mengemuka, pada awal 1990an menjadi saksi perubahan politik di Indonesia. Kelas menengah, mahasiswa, aktivis buruh, dan juga aktivis kebudayaan semakin berani melawan rezim Orde Baru. Misalnya JAKER yang dipimpin oleh Wiji Tukul menjadi salah satu institusi kebudayaan yang berusaha merevitalisasi praktik kebudayaan kiri dengan menekankan komitmen sosial dalam seni dan sastra.
Sebelum munculnya JAKER, sudah ada upaya oleh beberapa mantan penulis kiri baik yang tinggal di pengasingan ataupun tahanan, seperti Pramoedya Ananta Toer, Hersri Setiawan, Putu Oka Sukanta, dan Sitor Situmorang, telah berusaha menerbitkan karya-karya mereka di bawah tanah ataupun luar negeri namun tidak diiringi dengan gerakan kebudayaan yang lebih luas.
Sementara JAKER bermaksud membangun kesadaran wong cilik, buruh, petani, dan para pekerja kerah biru lainnya tentang masalah sosial yang mereka hadapi sehari-hari. Aktivitas kebudayaan dimanfaatkan untuk media mengorganisir kekuatan massa.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, terlihat betul bahwa Wijaya menggunakan pendekatan MDH (Materialisme-Dialektis-Historis) dengan sangat mumpuni. Ia menjadi pemahaman yang komprehensif dan tidak terisolasi dari realitas. Pada titik ini, Wijaya meminimalisir unsur subjektivitas dalam sebuah karya.
Tatkala demikian, itu bukan berarti unsur subjektif tidak ada sama sekali. Menguraikan unsur historis (sejarah) melalui proses dialektik menjadi warna buku ini. Dialektika disini tidak sepenuhnya seperti apa yang disampaikan Hegel sebatas tesis-anitesis-sintesis, tetapi melalui dialektika Marx yang diilhami atas perjumpaan dengan penderitaan dan ketidakadilan dalam struktur sosial.