Konten dari Pengguna

Menjawab Hilangnya Roh Pancasila Pasca Amandemen UUD 1945

Gray Sembiring
Pembelajar Hukum Vox Audita Perit, Littera Scripta Manet. Hukum Tata Negara FH USU
22 Agustus 2024 8:31 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gray Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketua Dewan Perwakilan Daerah AA La Nyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) hasil amandemen keempat yang saat ini berlaku telah meninggalkan Pancasila. Ia pun mengatakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2024-2029 akan menjadikan amandemen UUD 1945 ke naskah asli menjadi agenda prioritas.
ADVERTISEMENT
Tentunya pernyataan ketua DPD ini sontak menjadi diskursus menarik, khususnya yang menaruh perhatian terhadap konstitusi dan hukum tata negara. Lantas apakah benar perubahan UUD 1945 yang merupakan bagian dari tuntutan Gerakan Reformasi, seolah-olah telah mencabut Pancasila sebagai roh UUD 1945?
Sumber foto: pixabay.com

Mengamankan Pancasila

Sejatinya pandangan ketua DPD terkait perubahan UUD 1945 meninggalkan Pancasila agaknya bersifat spekulatif dan kontradiktif secara hisoris dan lemah argumentasi faktual-logis. Secara historis dikatakan spekulatif dan kontradiktif sebab rekam sejarah pembahasan perubahan UUD 1945, khususnya di Badan Pekerja MPR, justru menunjukkan fakta sebaliknya. Ketika perubahan UUD 1945 pertama dibahas di panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR (PAH III BP MPR, yang ditugasi untuk merumuskan rancangan perubahan tahap pertama, 1999), hal pertama yang dilakukan oleh seluruh fraksi yang ada di MPR pada saat itu justru secara aklamasi “mengamankan” Pancasila dengan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Penting diingat bahwa kesepakatan sebelas fraksi yang ada di MPR saat itu (1999), yaitu: (1) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) memperkuat sistem presidensial; (4) hal-hal normatif dalam Penjelasan UUD 1945 dimasukkan ke dalam Pasal-Pasal UUD 1945; dan (5) perubahan dilakukan secara adendum.
Kesepakatan untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 menjadi kokoh setelah selesainya perubahan UUD 1945 dengan adanya penegasan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal.” Sementara itu, prosedur perubahan UUD 1945 yang diatur dalam pasal 37 tegas dinyatakan hanya berlaku terhadap pasal-pasal UUD 1945. Dengan demikian, tidak terdapat jalan konstitusional untuk mengubah Pembukaan UUD 1945 kecuali dengan mengubah pasal 37 terlebih dahulu. Konsekuensi selanjutnya, karena pancasila merupakan bagian integral dari Pembukaan UUD 1945 maka tidak dapat pula jalan konstitusional untuk mengubah pancasila sebagai dasar negara.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan selanjutnya, apakah kesepakatan untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 memiliki landasan teori dan dibenarkan menurut doktrin hukum tata negara? Jawaban terhadap pertanyaan ini sekaligus menegaskan kalau anggapan bahwa perubahan UUD 1945 telah mencabut Pancasila sebagai roh UUD 1945 tidak mempunyai basis argumentasi teoritis.
Secara teoritis, Pembukaan UUD 1945 tergolong ke dalam pembukaan (preambule) yang memiliki karakter programatik, yatu pembukaan yang substansinya memberi arahan bukan saja “gagasan kenegaraan apa” yang hendak diwujudkan tetapi juga dasar atau landasan untuk mewujudkannya dan hal-hal lain yang dipandang fundamen bagi negara yang hendak dibentuk berdasarkan konstitusi itu. Oleh karena itu, apabila terdapat rumusan norma konstitusi terdapat kelemahan yang menyebabkan tidak tercapainya arahan yang digariskan pembukaan konstitusi maka perubahan menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan.
ADVERTISEMENT
Dalam kaitan itu, dalam sidang panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR secara aklamasi sepakat menjadikan Pembukaan UUD 1945 sebagai sumber menentukan arah, tujuan, dan pembatasan perubahan UUD 1945. Alasannya, “Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofi dan dasar normative yang mendasari seluruh pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan UUD 1945 mengandung staatide berdirinya NKRI, tujuan negara, serta dasar negara yang harus dipertahankan”.
Melalui pendirian demikian, MPR dengan sendirinya menempatkan pancasila sebagai arah, tujuan, dan pembatasan terhadap perubahan UUD 1945. Pendirian itu dipegang secara konsisten hingga akhir pembahasan perubahan UUD 1945 yang dapat dilihat dari rumusan Pasal II Aturan Tambahan dihubungkan dengan Pasal 37 UUD 1945. Dengan demikian, pendirian MPR di atas, selain sebagai pencerminan sikap dan pendirian politik seluruh fraksi MPR saat itu, juga memiliki landasan teorinya menurut doktrin hukum tata negara.
ADVERTISEMENT
Kemudian, bertolak dari pendirian itu, MPR menganggap ada ketidaksesuaian antara cita-cita atau arahan yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dengan rumusan pasal-pasal UUD 1945 (sebelum dilakukan perubahan) atau setidak-tidaknya ada kelemahan dalam perumusannya sehingga membuka peluang terjadinya praktik yang menyimpang dari cita-cita atau arahan yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, termasuk (bahkan terutama) praktik yang menyimpang dari semangat dasar negara pancasila.
Praktik yang dijalankan oleh rezim Orde Baru selama lebih dari 30 tahun menunjukkan dengan gamblang bahwa penyimpangan demikian bukan lagi menjadi asumsi tetapi menjadi fakta, kecuali apabila kita berpendapat apa yang dilakukan Orde Baru selama 30 tahun lebih itu bukan penyimpangan terhadap Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya termasuk rumusan dasar negara Pancasila. Karena itulah perubahan dibutuhkan dengan berpegang pada arahan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Dengan penjelasan demikian, perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan justru untuk meniadakan penyimpangan terhadap arahan yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 dan mencegah kemungkinan serupa terjadi di masa yang akan datang. Sehingga sungguh ganjil bahkan kontradiktif apabila perubahan yang dilakukan berpegang pada gagasan pada Pembukaan UUD 1945, dimana Pancasila menjadi bagian integral didalamnya, dikatakan telah mencabut dan meninggalkan roh Pancasila dari UUD 1945.

Pancasila dan Batang Tubuh UUD 1945

Pertanyaan selanjutnya adalah apabila perubahan UUD 1945 ingin “mengamankan” Pancasila, mengapa Pancasila tidak disebutkan secara expressive verbis dalam Batang Tubuh UUD 1945? Pertanyaan yang seolah menambah keraguan terhadap “kesakralan” Pancasila pasca Perubahan UUD 1945.
Apabila dibaca peta politik pada saat sidang amandemen konstitusi 1999-2002 terkait diskursus parlemen mengenai Pancasila, menempatkan fraksi-fraksi pada dua posisi yang berseberangan, yaitu yang setuju pencantuman Pancasila dan yang menolak pencantumannya dalam Batang Tubuh UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Barisan yang mendukung pencantuman Pancasila dalam UUD 1945 di antaranya adalah Fraksi TNI-Polri, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB), dan Fraksi Utusan Golongan (UG). Sementara itu, barisan yang menolak pencantuman kata Pancasila dimotori oleh fraksi-fraksi yang berdasarkan Islam (Fraksi Daulatul Ummah, Fraksi PBB, Fraksi PKB, Fraksi PPP, dan Fraksi Reformasi yang dimotori PAN.
Pada akhirnya, sidang amandemen konstitusi menarik kesepakatan bahwa Pancasila tidak perlu dipertegas dalam Batang Tubuh UUD 1945. Hal ini tidak serta merta berarti menanggalkan Pancasila dalam kehidupan bernegara tetapi karena muatan Pancasila sudah termuat dalam Pembukaan UUD 1945, sehingga tidak perlu dipertegas lagi dalam batang tubuh. Secara lebih lanjut guna menghindari penyalahgunaan Pancasila oleh kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Pengalaman memperlihatkan bahwa saat Soeharto memegang tampuk kekuasaan, Ia memonopoli pemaknaan pancasila berdasarkan tafsirnya sendiri dan tertutup terhadap makna lain. Kemudian orang lain dipaksa ikut dan mengamini penerjemahannya itu. Akhirnya Pancasila dijadikan Soeharto sebagai alat untuk mengukuhkan dan menjaga kelanggengan kekuasaanya. Pancasila berubah dari sign of unity menjadi sign of authority.
Sign of authority ini hadir pula dibidang hukum. Pancasila dijadikan sebagai “sumber dari segala sumber hukum. Segala peraturan perundang-undangan harus Pancasilais. Soeharto dan para Yuris yang dekat dengannya terus berusaha mencari legitimasi. Hukum menjadi alat untuk mendudukkan Pancasila sebagaimana yang dikehendakinya. Pranata hukum hanya berfungsi sebagai penerjemah makna dan artikulasi Soeharto terhadap Pancasila.
Pun daripada itu, apabila Pancasila dicantumkan dalam Batang Tubuh Pasal-Pasal UUD 1945, tentunya akan membawa implikasi “menggoyangkan” Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila dapat diubah sewaktu-waktu karena dalam batas penalaran yang wajar, Pancasila akan menjadi objek Pasal 37 tentang perubahan UUD 1945. Pasal 37 membuka peluang untuk merubah itu dan segalanya akan dimungkinkan ketika semuanya bisa dilobby dan dikonsolidasikan penguasa.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, secara holistik dapat dimengerti mengapa pada saat pembentukannya, Pancasila tidak disebutkan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Sehingga tanpa keraguan, perubahan UUD 1945 sama sekali tidak mendegradasi “kesakralan” Pancasila sebagai dasar negara. Justru perubahan UUD 1945 memberikan jaminan tidak ada upaya konstitusional untuk mengubah dan merekonstruksi Pancasila sebagai Philosophische Grondslag bangsa Indonesia.