Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyongsong Fajar: Parliamentary Threshold dan Memulihkan Mahkamah Kita
20 April 2024 23:16 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Gray Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Parliamentary Threshold
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Parliamentary Threshold bila mengutip pernyataan Bung Hatta ibarat mendayung diantara dua karang. Di satu sisi berdasarkan teori akademik ketatanegaraan, Mahkamah berupaya menguatkan kedaulatan rakyat agar suara warga negara tidak terbuang begitu saja. Tapi disisi lain, ada insinuasi publik bahwa mahkamah hanya ingin meloloskan partai tertentu dalam konteks ini yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI) agar lolos ke parlemen.
Rendahnya, kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa dilepaskan dari putusan MK ihwal usia calon presiden/wakil presiden. Pun dibarengi dengan Putusan MKMK yang mencopot Anwar Usman dari ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Sehingga putusan Mahkamah dipandang publik hanya untuk menguntungkan pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Dalam dinamika ketatanegaraan republik Indonesia, ada sebuah upaya yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang untuk menyederhanakan partai politik dalam sitem multi partai di Indonesia. Konsep pembatasan ini dikenal dengan parliamentary threshold.
Parliamentary threshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Pemberlakuan ambang batas parlemen pada hakikatnya adalah salah satu metode untuk menyederhanakan partai politik dalam sistem pemilu proporsional yang diikuti oleh banyak partai (multipartai). Terkait dengan kebijakan hukum penyederhanaan jumlah partai di DPR, selama ini jamak dipahami, didasarkan pada pandangan bahwa jika partai politik disederhanakan maka sistem presidensial Indonesia akan lebih kuat serta berjalan efektif dan stabil.
Namun, Parliamentary threshold dalam praktik ketatanegaraan tidak linear dengan tujuan awalnya dalam penyederhanaan partai politik. Apabila ditelisik, UU No. 10/2008 menetapkan besaran ambang batas parlemen Pemilu DPR 2,5%. Hasil Pemilu 2009 menunjukkan ketentuan ini berhasil mengurangi jumlah partai politik di DPR. Dari 17 Partai politik pada Pemilu 2004 yang tidak menggunakan ambang batas parlemen menjadi 9 partai politik. Setelah besaran ambang batas parlemen Pemilu DPR dinaikkan menjadi 3,5% oleh UU No 8/2012, Pemilu 2014 menghasilkan jumlah partai masuk DPR justru naik menjadi 10 partai politik. Lalu, UU No 7/2017 menaikkan lagi ambang batas parlemen Pemilu DPR menjadi 4%. Hasil Pemilu 2019 menunjukkan, jumlah partai politik turun tapi tidak signifikan, yakni 9 partai politik. Begitu pula dalam pemilu 2024 , partai yang lolos senayan berdasarkan hasil perhitungan suara KPU masih 9 partai politik.
ADVERTISEMENT
Putusan MK dan Penguatan Kedaulatan Rakyat
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023 ihwal pengujian pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang memuat ketentuan Parliamentary threshold terhadap Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi dalam ratio decidendinya menyatakan tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
Bahkan, merujuk keterangan pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR terhadap permohonan a quo, Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4% (empat persen) dimaksud dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas. Mahkamah memaparkan dalam konteks keterpenuhan prinsip proporsionalitas dimaksud, misalnya, pada Pemilu 2004 suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18% (delapan belas persen) dari suara sah secara nasional. Begitu pula dalam Pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7% (sembilan koma tujuh persen) suara sah secara nasional. Meski pada Pemilu 2014 “hanya” terdapat 2.964.975 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR, atau sekitar 2.4% (dua koma empat persen) dari suara sah secara nasional, namun secara faktual jumlah partai politik di DPR lebih banyak dibandingkan hasil Pemilu 2009 dan Pemilu 2019, yaitu 10 (sepuluh) partai politik.
ADVERTISEMENT
Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan pemilih dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan ditopang lembaga perwakilan yang efektif. Padahal prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, namun kebijakan ambang batas parlemen telah ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.
Meskipun perubahan dan ketentuan ambang batas parlemen diberlakukan di tahun 2029, MK memberi harapan untuk mengurangi suara rakyat yang terbuang. Secara lebih lanjut guna memastikan penguatan kedaulatan rakyat. Pun daripada itu, MK telah memberi rambu-rambu kepada pembentuk UU agar dalam penentuan Parliamentary threshold didukung dengan metode dan argumen akademis yang memadai. Tentunya agar besaran ambang batas parlemen tidak hanya didasarkan keputusan politik saja.
ADVERTISEMENT
Memulihkan MK
Adalah suatu bentuk kekacauan apabila peradilan tidak mendapatkan legitimasi dari warga negara. Dan dapat dikatakan kepercayaan publik kepada MK saat ini sangat rendah karena berbagai tragedi yang terjadi. Hukum yang tidak berdaya dihadapan politik, pula runtuhnya independensi dan imparsialitas hakim konstitusi. Ada beberapa peristiwa yang membuat MK tidak mendapat dukungan masyarakat sipil. Mulai dari pelengseran hakim Aswanto, penunjukan Hakim Konstitusi Arsul Sani yang kadrung politik, meloloskan Perppu Cipta Kerja, dan sampai pada puncak yaitu putusan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka. Plus bonus dipecatnya Anwar Usman.
Kini MK berada pada babak baru, saatnya Mahkamah membenahi rumahnya yang telah runtuh. Dibawah pimpinan Hakim Konstitusi Suhartoyo, masih ada harapan yang terbangun di gedung pelindung konstitusi kita. Putusan Parliamentary Threshold, Jaksa Agung yang tidak bisa berasal dari pengurus Partai Politik, dan perintah agar Pilkada tetap dilaksanakan pada bulan November. Tiga putusan tersebut membawa kita menyongsong fajar harapan di tubuh mahkamah.
ADVERTISEMENT
Kedepan, besar harapan agar hakim konstitusi tetap tegak berdiri dan berbicara keadilan substantif melalui putusannya. Apalagi, saat ini publik menanti putusan mahkamah terkait perselisihan hasil pemilu Presiden/Wakil Presiden. Tentunya, kita mengharapkan mahkamah yang bukan sekedar "tukang hitung" tetapi bisa menembus tembok prosedural-formil.
Sejarah memperlihatkan Mahkamah pernah berbicara dalam putusannya bahwa Hakim Konstitusi yang Negarawan pula menguasai konstitusi itu hanya tunduk dan menjaga norma-norma konstitusi. Tatkala itu dibatasi oleh undang-undang, Mahkamah sejatinya dapat menembus cadar tersebut. Hakim itu bebas dalam keterikatan. Dan khusus terhadap hakim konstitusi, mereka hanya terikat pada norma konstitusi dan nilai konstitusionalisme.
Hanya dengan itu publik bisa merestorasi kepercayaan yang sudah dibangun lama pasca dibentuknya MK. Atau mungkin kita kembali kepada postulat “Bukankah keadilan akan tetap tegak meskipun langit akan runtuh?”.
ADVERTISEMENT