Negara Hukum dalam Dua Persimpangan: Prinsip atau Slogan?

Gray Sembiring
Pembelajar Hukum Vox Audita Perit, Littera Scripta Manet. Hukum Tata Negara FH USU
Konten dari Pengguna
18 Agustus 2023 13:41 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gray Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cut Mutia dari Aceh, Gomgom dari Tano Batak, Bengkel Ginting dari Karo, Dadang dari Bandung, Martina dari Maluku, Ruben dari Papua dan para leluhur pendiri bangsa telah sepakat mendirikan sebuah negara.
ADVERTISEMENT
Seluruh elemen masyarakat telah melakukan kontrak sosial dan memberikan kewenangan kepada penguasa untuk menjalankan pesan konstitusional para pendiri bangsa. Dan di dalam kesepakatan tersebut, semuanya sepakat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara hukum.
Konsep negara hukum memang perlu direfleksikan kembali. Pasca 78 tahun mendaku sebagai negara hukum, bagaimana sebenarnya potret negara hukum kita? Apakah ia hanya dijadikan panglima untuk alat menghukum?
Apakah ia sudah menjadi entitas pembebas pemenuhan hak asasi warga dalam membatasi kesewenang-wenangan penguasa sebagaimana prinsip awalnya? Ataukah ia sudah berubah menjadi salah satu instrumen yang melegitimasi otoritarianisme?
Gagasan negara hukum apabila menilik pembahasan UUD 1945 yang ditulis RM AB Kusuma, penyebutan “negara hukum” pertama kalinya disebutkan ketika Soepomo menyampaikan kesimpulan sistem pemerintahan dalam rancangan UUD.
ADVERTISEMENT
Pada rapat besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 15 Juli 1945, Soepomo mengemukakan, Rancangan UUD menghendaki adanya supremasi hukum. Artinya menghendaki negara yang berdasar atas hukum, bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat).
Meneruskan semangat yang dimaksud, Soepomo menambahkan sebuah Sistem Pemerintahan Konstitusional. Artinya pemerintah yang berdasarkan atas konstitusi, bukan pemerintah yang bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Kendati muncul saat pembahasan, negara hukum tidak pernah menjadi rumusan norma rancangan UUD 1945 yang dihasilkan BPUPKI. Bahkan, ketika BPUPKI telah berakhir dan pembahasan UUD dilanjutkan ke PPKI, perihal negara hukum nyaris tak tersentuh anggota PPKI.
Perkembangan selanjutnya, rumusan negara hukum baru menjadi bagian hukum dasar ketika UUD 1945 dan Penjelasannya dimuat dalam Berita RI Tahun II No 7, 15 Februari 1946.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari perdebatan tentang dan sekitar Penjelasan UUD 1945, di antara substansinya adalah pernyataan ihwal ”Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”.
Penegasan ”Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum” dalam penjelasan UUD 1945 jauh dari cukup untuk menyelidik tipe negara hukum Indonesia.
Misalnya, saat Soepomo menyampaikan negara hukum yang dipadankan dengan rechtsstaat, apakah tipe negara hukum yang hendak diwujudkan adalah tipe rechtsstaat atau tipe rule of law. Keduanya memiliki perbedaan, baik itu secara konsep ataupun latar belakang.
Secara doktriner, rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental (civil law) yang mengutamakan hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan sebagai rujukan utama. Sementara rule of law ditopang sistem hukum common law yang bertumpu pada yurisprudensi.
ADVERTISEMENT
Dalam logika sederhana, karena di masa prakemerdekaan hukum Indonesia lebih banyak dipengaruhi tradisi civil law dan istilah yang digunakan pun berasal dari negara-negara penganut civil law, anggapan umum, konstitusi karya pendiri bangsa menghasilkan negara hukum bertipe rechtsstaat.
Namun, hasil peyelidikan risalah tidak ditemukan maksud dan pendapat perumus UUD 1945 (original intent) yang eksplisit menyatakan tipe negara hukum Indonesia rechtsstaat.
Sekalipun tak ditemukan original intent tersebut, pendiri negara telah memberikan pijakan penting dalam membangun negara hukum. Setidaknya, kehadiran penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 telah memaktubkan salah satu prinsip mendasar negara hukum, yaitu pengakuan atas kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Kendati begitu, “Negara Hukum” sebagai sebuah norma belum bisa dibilang cukup. Bahkan sampai pemberlakuan Konstitusi RIS dan UUDS 1950.
ADVERTISEMENT
Akhirnya setelah amandemen UUD 1945, negara hukum sebagai norma dikatakan telah selesai. Melalui amandemen ketiga konstitusi, pasal 1 ayat (3) dengan jelas menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Lebih dari itu, pasca perubahan UUD 1945 prinsip negara hukum telah terejawantah dengan baik dalam konstitusi. Pembatasan kekuasaan, jaminan perlindungan HAM, kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan adanya sebuah peradilan administrasi.
Kini, setelah perubahan UUD 1945, negara hukum Indonesia tak lagi berada dalam fase pencarian, ia telah ditemukan. Namun, yang menjadi tantangan terbesar tentunya bukan hanya sebatas keberadaan norma, tetapi bagaimana konstitusi itu membumi dan menjadi hidup di tengah masyarakat.
Kondisi demikian teramat penting direfleksikan mengingat masih banyaknya peraturan perundang-undangan dan etika bernegara yang iharmonis dengan Konstitusi. Apalagi, ada upaya untuk mendekonstruksi ulang konstitusi melalui amandemen.
ADVERTISEMENT

Persimpangan Jalan

Sumber foto: pixabay.com
Hukum sebagai teks, tidak bisa dipisahkan dengan hukum sebagai konteks. Begitu pula dengan negara hukum, tidak boleh sekali-kali meninggalkan prinsip-prinsip yang membuatnya bermakna.
Akhir-akhir ini prinsip negara hukum berada dalam dua persimpangan jalan dilematis. Di satu sisi hukum itu harus ditempatkan sebagai panglima, namun disisi lain “negara hukum” terkesan hanya slogan saja.
Di antara dua persimpangan tersebut, sudah sejauh mana 78 Tahun negara hukum Indonesia? Tentunya banyak barometer penilaian, tetapi tulisan ini akan mencoba merangkainya sesederhana mungkin.
Pertama, dari segi pembentukan undang-undang, agaknya pembentukan undang-undang kita semakin tidak mencerminkan negara hukum demokratis yang mengikutsertakan rakyat; khususnya masyarakat terdampak.
Partisipasi yang ditunjukkan hanya sebatas “cap stempel” saja, tanpa pelibatan yang benar-benar bermakna (meaningful participation). Fenomena casuistis pengesahan UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU MK, UU P3, dan UU Kesehatan menunjukkan kepada kita fenomena legislasi yang semakin ugal-ugalan.
ADVERTISEMENT
Betapa tidak, pengesahan undang-undang tersebut berlangsung sangat kilat. Walhasil, beberapa undang-undang tersebut beberapa kali diuji secara formil ke Mahkamah Konstitusi.
Paling banter, penetapan Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang menuai kontroversi. Penerbitan Perppu yang tidak memenuhi keadaan kegentingan memaksa sebagaimana pasal 22 ayat (1) UUD 1945, bahkan terkesan memaksakan kegentingan.
Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 memberikan syarat konstitusi kegentingan memaksa yang meliputi kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat; kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi hanya dengan cara membuat undang-undang saja karena akan lama.
Perppu cipta kerja jelas tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, yang secara otomatis Perppu tersebut harusnya ditolak DPR dan mencabut Perppu (Pasal 22 ayat (3) UUD 1945). Ajaibnya, DPR yang tidak membahas itu di masa sidang berikut, malah memberikan persetujuan terhadap Perppu menjadi Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Fenomena seperti ini, lazim disebut sebagai Autocratic Legalism, menjalankan kekuasaan seolah-olah benar dengan menggunakan instrumen hukum, tetapi sesungguhnya sudah melanggar prinsip-prinsip negara hukum, bahkan sudah bersifat otoritarian.
Kedua, dari aspek penegakan hukum, nyaris belum kearah agenda perbaikan. Penggunaan cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh aparat masih menjadi arus utama penegakan hukum.
Tentunya kita tidak lupa dengan tragedi reformasi dikorupsi, Kanjuruhan, Wadas, Air Bangis, dan Dago Elos menjadi saksi mata kekerasan aparat penegak hukum. Belum lagi apabila kita berbicara mengenai banyaknya perampasan ruang hidup yang dialami warga.
Dairi diancam tambang, Masyarakat Toba melawan TPL, Sangihe melawan tambang emas, Kulon Progo, Petani Pakel, Padarincang Banten, Bara Baraya Makassar, hingga Tambak Bayan Surabaya. Mereka terus bertahan dan melawan agar keadilan berpihak di tengah kebijakan represif yang mengatasnamakan hukum.
ADVERTISEMENT
Pun daripada itu, masih banyaknya kriminalisasi terhadap warga yang menyampaikan kritik kepada penguasa. Paling hangat Haris Azhar dan Fatia yang berhadapan dengan Luhut Binsar Panjaitan karena membicarakan riset.
Kemudian Kamarudin Simanjuntak yang dituduh melakukan pencemaran nama baik saat menjalankan profesi advokat, juga Budi Pego yang merupakan pejuang lingkungan hidup dituduh komunis kemudian ditangkap.
Jangankan kritik, dalam negara hukum, warga bahkan bisa menggugat pemerintah, bila pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum, melanggar peraturan perundang-undangan, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, warga bisa menggugat melalui PTUN.
Cara-cara represif dengan memaksakan pidana agaknya tidak relevan lagi dengan kemajuan hukum pidana yang lebih modern. Pidana sebagai alat balas dendam untuk menyingkirkan yang “lemah” seharusnya ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Kekuasaan Kehakiman yang semakin “roboh”. Runtuhnya pilar negara hukum tersebut bisa dilihat dari beberapa kasus. Misalnya, pencopotan Aswanto sebagai Hakim Konstitusi. Pencopotan didahului kontroversi karena prosesnya melanggar undang-undang.
Berbagai protes dilayangkan, termasuk kepada Presiden agar tidak menandatangani keputusan presiden yang mengesahkan serangan DPR itu. Hakim Aswanto dicopot karena kerap memberikan putusan yang berbeda dengan kehendak DPR.
Artinya, ketika hakim dicopot karena putusannya tidak menyenangkan penguasa, maka kekuasaan kehakiman yang merdeka itu hanya ucapan manis saja dan di saat itu pula tembok terakhir penegakan hukum runtuh.
Begitu pula yang terjadi di Mahkamah Agung, cenderung berjalan di tempat. Ia juga sama-sama rapuh. Kejadian yang menimpa dua Hakim Agung karena terlibat perkara suap jual-beli perkara tentunya masih membekas pada ingatan.
ADVERTISEMENT
Hakim yang distempel sebagai "hukum yang berbicara" justru menjadi subjek yang melakukan perbuatan melawan hukum. Pun daripada itu, Mahkamah Agung juga kerap memberikan diskon sanksi pidana. Pengurangan sanksi pidana dalam jumlah drastis tanpa argumentasi yang jelas sering terjadi. Akibatnya, MA sering disebut "Mahkamah Ajaib".
Negara Hukum kita saat ini sungguh sangat memprihatinkan, sangat jauh dari kata ideal. Seolah, negara hukum yang kita sematkan hanya sebatas kiasan slogan saja. Ia sangat indah diucapkan, tetapi kehilangan makna ketika diterapkan.
Jangan sampai istilah "Fiat Justitia Ruat Caelum" hanya berlaku pada saat penerimaan mahasiswa baru fakultas hukum atau sebagai nuansa estetika kurikulum. Tetapi ketika hukum itu runtuh, kita enggan menegakkannya kembali. Seolah hilang dari pembicaraan.
ADVERTISEMENT
Merekonstruksi kembali Prinsip negara hukum agar menjadi ideal adalah cita kita bersama. Tentunya agar negara hukum yang telah kita sepakati kembali ke tujuan awalnya yaitu melindungi manusia dan memberikan kesejahteraan kolektif.
Tanpa kesadaran untuk melakukan perbaikan, cita negara hukum hanya akan berhenti di kepala saja, atau kondisi lebih parah terjadi, cita-cita itu bahkan tidak sampai ke kepala kita karena pikiran kita sudah dikerangkeng.
Selamat HUT ke-78 RI. Dirgahayu Indonesiaku!