Permintaan Maaf yang Tidak Baik: Khilaf Pemberantas Korupsi

Gray Sembiring
Pembelajar Hukum Vox Audita Perit, Littera Scripta Manet. Hukum Tata Negara FH USU
Konten dari Pengguna
5 Agustus 2023 21:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gray Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: istockphoto.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sedari kecil kita diajarkan untuk meminta maaf; dan pada dasarnya meminta maaf itu memang hal baik. Lebih lagi apabila kita melakukan kesalahan, tentunya meminta maaf adalah sebuah kewajiban kita sebagai umat manusia. Namun, apabila kita melaksanakan tanggung jawab kemudian meminta maaf apakah itu tetap sebuah kebaikan? atau sebuah permasalahan? Atau haruskah kita memberi pengampunan? Karena Tuhan berfirman agar mengampuni orang yang bersalah kepada kita.
ADVERTISEMENT
Daripada saya membahas ayat-ayat lebih banyak dan pembaca akan tersesat lebih jauh, mari kita membahas isu yang sangat hangat akhir-akhir ini; lagipula saya tidak punya keilmuan dalam bidang Teologi untuk mendoktrin para pembaca dengan hembusan kasih.
KPK beberapa waktu lalu melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus suap proyek pengadaan barang dan jasa di Basarnas. KPK pada akhirnya menetapkan Kepala Basarnas Henri Alfiandi, Koordinator Staff Administrasi Arif Budi Cahyanto, dan 3 Pihak swasta sebagai pemberi suap.
Setelah melakukan OTT dan menetapkan tersangka, Pihak TNI melalui Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda R Agung Handoko mengatakan KPK sebenarnya telah melanggar aturan. Ia menyatakan harusnya yang berhak melakukan penetapan tersangka adalah penyidik militer yang dalam hal ini adalah Puspom TNI.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, KPK seolah tak berdaya dan mengaku khilaf atas segala tindakan yang mereka lakukan. KPK pun meminta maaf kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono karena sudah melakukan OTT dan menetapkan pejabat Basarnas yang berasal dari lingkup militer sebagai tersangka.
Johanis tanak selaku pimpinan KPK bahkan menyalahkan penyelidik yang melaksanakan tugasnya. Berdasarkan kronologi singkat di atas sebenarnya siapa pihak yang sebenarnya salah? Apakah KPK, TNI, Penyidik KPK, atau Pimpinan KPK? Pertanyaan tersebut akan kita jawab satu persatu.

Ihwal Kewenangan

Dalam batas penalaran wajar dan logika sederhana saja, KPK berwenang sebenarnya 110% untuk melakukan OTT dan menetapkan tersangka. Akan kita mulai dari konstruksi hukum secara lebih sistematis tentang kompetensi yang bertitik taut dengan Peradilan Umum, Militer, dan Kewenangan KPK itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Pertama, apabila kita membaca pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer maka peradilan militer berwenang untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah prajurit. Hal ini menjadi landasan banyak pihak menyatakan kewenangan itu dimiliki oleh peradilan militer.
Namun membaca hukum tidak sesederhana bunyi satu pasal dalam undang-undang. Apabila membaca UU TNI khususnya pasal 65 ayat (2) secara jelas ditegaskan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Artinya dapat disimpulkan bahwa prajurit militer hanya tunduk kepada peradilan militer dalam hal tindak pidana militer, selain itu ia tunduk kepada peradilan umum.
ADVERTISEMENT
Kedua, memang dalam pasal 74 UU TNI mengatakan ketentuan pasal 65 akan berlaku apabila UU Peradilan Militer baru disahkan, sebelum UU Peradilan Militer baru dibentuk tetap tunduk pada ketentuan UU peradilan militer. Dalam konteks tersebut sampai saat ini memang belum ada pembaharuan UU Peradilan Militer.
Artinya, pasal 9 UU peradilan militer masih memiliki eksistensi. Namun, apabila kita menelisik UU Kekuasaan Kehakiman khususnya pasal 25 ayat (4) secara terang benderang dijelaskan bahwa “Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sejatinya UU Kekuasaan Kehakiman sudah menjawab perdebatan, bahwa peradilan militer hanya berwenang mengadili perkara tindak pidana militer. Perlu digarisbawahi “Tindak Pidana Militer”. Tindak Pidana Militer dalam hukum pidana disebut sebagai Delik Propria, artinya Delik yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu.
ADVERTISEMENT
Hanya militer yang bisa melakukan tindak pidana tersebut. Contohnya desersi, insubordinasi (melawan atasan), dan meninggalkan pos penjagaan. Selain daripada tindak pidana militer, adalah sebuah kewajiban semua tindak pidana diadili di Peradilan Umum.
Pun daripada itu, dalam hukum pidana juga mengatur tentang perkara koneksitas. Pasal 89 KUHAP, Pasal 198 UU Peradilan Militer, dan Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman. Ketiga pasal tersebut setidaknya menyimpulkan bahwa dalam perkara koneksitas yang berwenang mengadili perkara adalah peradilan umum.
Kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Jadi, dalam perkara koneksitas pun bahkan peradilan umum yang berwenang untuk mengadili.
Ketiga, KPK sangat punya kewenangan untuk melakukan OTT dan menetapkan tersangka terhadap kasus tersebut. Pasal 6 UU KPK menyatakan KPK bertugas melakukan Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana korupsi. Selanjutnya, pada pasal 42 UU KPK menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Konsekuensi tersebut menempatkan KPK punya kewenangan untuk melakukan koordinasi tentunya hal tersebut apabila dimaknai secara gramatikal maka bukan menjadi kewajiban KPK untuk berkoordinasi dengan instansi terkait.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, alasan KPK sangat berwenang adalah bahwa segala ketentuan tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia tunduk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), diberikan klasifikasi pegawai negeri.
Khusus dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b, pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam KUHP, tepatnya pasal 92 ayat (3) yang berbunyi “Semua anggota angkatan perang juga dianggap sebagai pejabat”. Oleh karena itu maka anggota TNI juga termasuk Pegawai Negeri dan KPK sangat berwenang untuk menindaknya.

Moralitas Pimpinan KPK

Dari penjelasan di atas, KPK sejatinya sangat punya kewenangan untuk melakukan penindakan kasus tersebut. Namun, pimpinan KPK seolah tak berdaya dengan meminta maaf dan mengaku khilaf. Pimpinan KPK seolah lempar batu sembunyi tangan. Hal ini karena pimpinan KPK menilai kejadian tersebut merupakan kesalahan penyelidik KPK.
ADVERTISEMENT
Tak main-main Brigjen Asep yang merupakan penyidik sekaligus direktur penyidikan dan Plt. Deputi penindakan ingin mengundurkan diri. Tekanan sungguh ia rasakan, karena ada anggapan ini merupakan kesalahannya. Ini tentu bukan kesalahan penyidik KPK, ia memang tahu betul tentang tanggung jawab yang ia miliki. Justru hal ini merupakan kesalahan pimpinan KPK.
Pasal 21 UU KPK menyatakan bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi bersifat kolektif kolegial. Kolektif kolegial mengandung makna bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Artinya keputusan untuk melakukan OTT dan penetapan tersangka adalah keputusan pimpinan korupsi sendiri karena mengandung asas kolektif kolegial; bukan keputusan penyidik seorang.
Selanjutnya pada pasal 39 ayat (2) UU KPK secara eksplisit menyatakan bahwa segala Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi. Tindakan tersebut sudah menjadi atas nama KPK sendiri karena sebelumnya sudah ada ekspose dan gelar perkara sehingga terciptalah putusan pimpinan KPK yang bersifat kolektif kolegial tersebut.
ADVERTISEMENT
Tentunya tindakan menyalahkan penyidik oleh pimpinan KPK adalah perbuatan yang menunjukkan rendahnya moralitas Pimpinan KPK. Pun daripada itu, sikap ini merupakan bentuk pimpinan KPK lari dari tanggungjawab yang sudah menjadi keputusannya. Bahkan, dalam kondisi sedang terjadi polemik ketua KPK Firli Bahuri sedang bermain Badminton di Manado.
Keseluruhan sikap pimpinan KPK memperlihatkan kepada publik tentang rendahnya komitmen memberantas korupsi. Sayang sekali, masih ada pegawai KPK yang memiliki niat baik, tapi selalu terhalang restu oleh pimpinan KPK.
Permasalahan KPK tidak bisa dipandang sebagai permasalahan terhadap perseorangan. KPK haruslah dipandang sebagai permasalahan sebuah lembaga yang secara sistemik dan struktural dirobohkan dan diluluhlantahkan; perlahan tapi pasti. Agaknya, pimpinan KPK sekarang memang sudah sepatutnya untuk diganti mengingat banyaknya permasalahan etik yang dipertontonkan. KPK sekarang memicu lebih banyak kontroversi dibanding prestasi. Sungguh permintaan maaf yang tidak baik.
ADVERTISEMENT