Konten dari Pengguna

Plasma Kelapa Sawit: Perkebunan Rakyat Dengan Skema Kemitraan Yang Eksploitatif

Nathanael Lauren Sihombing
Mahasiswa Fakultas Hukum USU
5 Mei 2024 12:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nathanael Lauren Sihombing tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto:  https://pixabay.com/id/photos/telapak-minyak-buah-latar-belakang-1464654/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: https://pixabay.com/id/photos/telapak-minyak-buah-latar-belakang-1464654/
ADVERTISEMENT
Lambat laun pengaruh Perusahaan-perusahaan besar telah berkontribusi nyata dan langsung dalam sektor perekonomian kita khususnya Perusahaan-perusahaan ataupun industri yang bergantung pada sektor agraria negara kita. Terabaikannya fakta-fakta bahwa peristiwa dan kegiatan industri yang eksploitatif dan manipulatif kian semakin marak terjadi. Anggapan ini semakin kuat seiring skema kemitraan plasma kelapa sawit yang banyak menimbulkan konflik dan rugikan Masyarakat. Buntutnya menurut riset The Institute Ecosoc Rights berjudul ‘Kebun Sawit Plasma: Realitas dan Tantangan’ memperlihatkan, banyak petani sawit plasma terlilit masalah, bahkan program ini jadi modus Perusahaan sawit merampas lahan Masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Plasma kelapa sawit adalah perkebunan rakyat yang harus disediakan perusahaan kelapa sawit untuk masyarakat sekitar area perkebunan sebanyak 20 persen dari perkebunan inti mereka. Plasma pada awalnya dibentuk untuk mengikutsertakan Masyarakat sekitar area Perkebunan sehingga hasil kebun juga dapat dinikmati oleh Masyarakat sekitar dan meninggkatkan perekonomian mereka. Aturannya terdapat pada Permentan No. 26 Tahun 2007, Pasal 11 Ayat 1 yang menyebutkan “Perusahaan-perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Izin Usaha Perkebunan untuk Budi daya (IUP-B), wajib membangun kebun untuk Masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan”. Namun pada realitasnya banyak anggapan-anggapan yang menuduh bahwa Perusahaan-perusahaan sawit ini tidak memenuhi kewajiban hukumnya untuk menyediakan plasma dan aturan-aturan terkait juga seiring waktu lebih memihak pada konglomerasi.
ADVERTISEMENT
Beberapa fakta terkait plasma kelapa sawit menunjukkan secara meyakinkan bahwa masalah yang ditimbulkan terhadap Masyarakat sekitar Perkebunan disebabkan oleh Perusahaan-perusahaan sawit itu fakta. Berdasar pada temuan The Gecko Project (2022), Masyarakat yang terikat dalam skema plasma memperoleh bagian sangat kecil dari keuntungan yang bisa dihasilkan Perkebunan. Jika melihat situasi ini, pemerintah dan Perusahaan-perusahaan sawit sebagai pembuat dan pelaksana aturan menjadi semakin penting untuk dikaji lebih lanjut lagi.
Janji Manis Perusahaan Yang Manipulatif
Permasalahan pada plasma kelapa sawit merupakan masalah ekonomi yang menyangkut orang, Masyarakat,dan institusi. Hal ini berkembang menjadi permasalahan karena Perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia sering tidak menyediakan kewajiban hukumnya dan pemerintah pun tidak tegas alam menindak lanjuti hal tersebut. Perusahaan berkewajiban menyediakan 20 persen dari total luas lahannya untuk Masyarakat sekitar area Perkebunan, hal ini sudah tertuang dalam berbagai aturan seperti: Permentan No. 26 Tahun 2007, pasal 11 Ayat 1; Permentan No. 98 Tahun 2013, Pasal 15 Ayat 1; Undang-Undang N0. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 58; Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja, Pasal 58.
ADVERTISEMENT
Padahal dalam Sejarah awal terbentuknya aturan tentang plasma, Perusahaan diwajibkan menyediakan 80 persen lahannya untuk Masyarakat, Namun sekarang jumlah tersebut kian menurun drastis menjadi hanya 20 persen saja. Perusahaan juga acapkali memberikan janji-janji manis yang tidak sesuai kepada Masyarakat seperti memberikan lahan yang tidak strategis kepada Masyarakat. Perusahaan juga kerap tidak menyediakan lahan sawit yang sudah dijanjikan kepada Masyarakat. Seperti pada wawancara yang dilakukan oleh BBC Indonesia (2022) kepada kepala suku orang rimba di Tebing tinggi mengatakan bahwasanya Perusahaan mengambil semua lahan milik masyarakat dan tidak ada pengembaliannya seperti yang sudah dijanjikan.
Menurut data milik kementrian pertanian juga mengatakan bahwasanya Perusahaan-perusahaan sawit telah gagal menyediakan ratusan ribu hektare plasma sejak tahun 2007. Dalam menyikapi hal ini diperlukan ketegasan dari pemerintah untuk menindak Perusahaan-perusahaan tersebut dan diperlukannya undang-undang baru untuk lebih mempertajam aturannya. Masyarakat juga mendapatkan untung yang sangat kecil dalam skema plasma ini, para petani sawit mandiri bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp 15 juta per hektar tiap tahun. Dan pada petani plasma dari beberapa kasus yang pernah diselidiki, para petani itu hanya mendapatkan keuntungan rata-rata sekitar Rp 2,5 juta.
ADVERTISEMENT
Janji-janji manis tersebut sudah digaungkan semenjak awal Perkebunan plasma dirancang, sehingga banyak Masyarakat yang dengan senang hati menyerahkan lahan mereka kepada Perusahaan-perusahaan karena tergiur akan janji tersebut. Namun pada realitasnya janji-janji tersebut hanyalah sekedar janji yang tidak ada ditepati. Faktanya tanah-tanah Masyarakat tersebut malah dirampas dan dikelola demi kepentingan pribadi konglomerasi, skema plasma kelapa sawit malah dijadikan alat untuk melegitimasi perampasan tanah rakyat. Skema kemitraan pada plasma kelapa sawit telah menjerumuskan Masyarakat di desa pada kemiskinan, karena hanya berujung pada konflik dan membuat petani plasma malah terlilit hutang karena telah hilangnya lahan mereka.
Peran Pemerintah Serta Kurangnya Transparansi
Peran pemerintah juga menjadi sangat penting dalam menyikapi konflik dari plasma kelapa sawit yang sudah terjadi saaat ini. Namun pemerintah malah lebih sering untuk turut memihak atau bahkan mendukung praktik yang tidak adil dalam skema kemitraan plasma kelapa sawit. Pemerintah seharusnya membuat terobosan-terobosan baru untuk menanggulangi konflik yang terjadi seperti menghentikan ekspansi Perkebunan kelapa sawit yang sudah kelebihan produksi ataupun membuat aturan-aturan atau undang-undang baru yang mengatur tentang plasma kelapa sawit dengan lebih rinci atau eksplisit lagi.
ADVERTISEMENT
Kurangnya aturan-aturan tentang plasma kelapa sawit juga yang membuat Perusahaan-perusahaan lebih leluasa mendapatkan keuntungan dari penderitaan rakyat. Tidak adanya sanksi yang menindak Perusahaan yang melanggar perjanjian juga menjadi faktor utama. Situasi seperti ini terjadi akibat pengelolaan plasma yang tidak transparan melalui perjanjian yang cenderung hanya menguntungkan Perusahaan sebagai mitra, dan sayangnya peran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi tidak dilakukan.
Kini yang menjadi krusial adalah bagaimana mengurangi konflik yang terjadi akibat dari adanya plasma kelapa sawit dan upaya ini tersebar merata. Transparansi dan keterbukaan memiliki implikasi kuat sebagai syarat utamanya. Munculnya konflik yang telah terjadi kembali menguatkan akan adanya fakta eksploitasi yang terjadi karena pembagian keuntungan yang tidak proporsional. Plasma kelapa sawit telah menjadi masalah yang membutuhkan tindakan pribadi, kolektif, dan pemerintah sendiri. Pemerintah harus menyelesaikan konflik yang telah terjadi dan mengembalikan hak-hak Masyarakat yang telah terampas akibat program kemitraan plasma abal-abal ini.
ADVERTISEMENT
Upaya tersebut memang sulit apalagi dengan adanya UU Cipta Kerja yang mempermudah beroprasinya mereka yang melakukan kejahatan lingkungan. Namun upaya penyelesaian konflik harus dilakukan demi kepentingan Masyarakat yang sudah terdampak atau mendapat kerugian. Karena sejatinya petani kecil lah yang menopang industri Perkebunan kelapa sawit, seperti penyediaan tenaga kerja, penyediaan bahan baku, serta penyediaan lahan. Sebagai penutup dari keruwetan ini “Setop menjadikan kemitraan plasma sebagai modus perampasan lahan”.