E-commerce Terus Menggerus Eksistensi Properti Shopping Center

Muhammad Nura Shadri
Staf Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan
Konten dari Pengguna
29 Maret 2021 17:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nura Shadri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

E-commerce kian digemari masyarakat di kota Jakarta yang mengakibatkan tenant yang ada pada shopping center bertahap kian ditinggalkan.

Ilustrasi belanja online. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi belanja online. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Shopping center merupakan salah satu jenis properti yang digunakan untuk tujuan komersial, yaitu menghasilkan aliran pendapatan yang umumnya berupa sewa dari masing-masing tenant. Joseph De Chiara (2001) dalam bukunya yang berjudul, “Time Saver Standard for Building Types” mendefinisikan shopping center sebagai suatu kompleks toko ritel dan fasilitas yang direncanakan sebagai kelompok terpadu untuk memberikan kenyamanan berbelanja yang maksimal kepada pelanggan dan penataan barang dagangan yang terekspos secara maksimal.
ADVERTISEMENT
Shopping center memiliki fungsi ekonomi, yaitu sebagai pendukung dinamisasi perekonomian kota dan wadah penampungan dan penyaluran produksi dari produsen untuk kebutuhan masyarakat (Maitland, 1985).
Selain menyediakan fasilitas perbelanjaan, menurut Joseph De Chiara (1983), shopping center juga menyediakan fasilitas rekreasi, seperti tempat makan, bioskop, serta arena permainan. Pada awal tahun 2000-an, shopping center dapat dikatakan sebagai alternatif primadona untuk dijadikan tempat melakukan transaksi jual beli secara konvensional. Fasilitas dan kenyamanan berbelanja yang didapat dari shopping center tentu menjadi kelebihan dan daya tarik tersendiri dibandingkan dengan berbelanja di pasar tradisional.
Seiring berkembangnya zaman, teknologi telekomunikasi dan informasi kian berevolusi dengan lahirnya berbagai inovasi. Penemuan internet merupakan salah satu bukti berkembangnya peradaban manusia di bidang teknologi. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang pesat menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai aspek, termasuk aspek perdagangan.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan teknologi informasi berperan penting dalam menunjang dunia perdagangan dan untuk akselerasi pertumbuhan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat karena dengan memanfaatkan teknologi informasi berarti telah menerapkan biaya murah (low cost economic) yang salah satu contohnya adalah munculnya e-commerce.
Electronic commerce atau e-commerce merupakan suatu perangkat teknologi yang dinamis yang mencakup aplikasi dan proses bisnis yang menghubungkan penjual, konsumen, dan suatu komunitas melalui transaksi elektronik yang menyelenggarakan pertukaran barang secara elektronik (David Baum, 1999).
Kemunculan e-commerce memudahkan masyarakat dalam melakukan transaksi jual beli tanpa harus keluar rumah dahulu. Selain itu, penjual dapat menekan cost karena tidak memerlukan tempat yang strategis untuk memperdagangkan barangnya. Alasan mendasar tersebut membuat e-commerce kian digemari masyarakat.
ADVERTISEMENT
E-commerce menjadi industri online yang berkembang sangat pesat di Indonesia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia, nilai transaksi e-commerce di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2017, nilai transaksi e-commerce di Indonesia adalah sebesar Rp42,2 triliun. Sedangkan pada tahun 2020, nilai transaksi e-commerce mencapai angka 266,3 triliun atau meningkat sampai dengan enam kali lipat dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
E-commerce bertumbuh paling pesat pada kota-kota besar yang ada di Indonesia karena ditunjang fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Statistika Indonesia pada tahun 2019, Jakarta memiliki sebaran pengguna e-commerce paling tinggi di Indonesia, yaitu sebesar 58 persen.
Nilai transaksi e-commerce di Jakarta setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan selaras dengan peningkatan nilai transaksi di Indonesia. Nilai transaksi e-commerce di Jakarta pada tahun 2017 adalah sebesar Rp24,48 triliun. Pada tahun 2020, nilai transaksi meningkat hingga lima kali lipat, yaitu mencapai angka Rp154,45 triliun.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, segala sesuatu selalu memiliki dua sisi. Walaupun manfaat e-commerce sangat banyak, di sisi lain kehadiran e-commerce membuat tenant yang ada pada shopping center bertahap kian ditinggalkan. Occupancy rate atau tingkat keterisian shopping center terus mengalami penurunan.
Berdasarkan data yang didapat dari Colliers, occupancy rate shopping center di Jakarta pada tahun 2018 stagnan atau sama dengan tahun 2017, yaitu 83,6%. Pada tahun 2019, turun sebesar 3,8% atau menjadi sebesar 79,8%. Occupancy rate shopping center di Jakarta pada tahun 2020 kembali mengalami penurunan menjadi 77,4% atau turun sebanyak 2,4%.
Nilai transaksi e-commerce merupakan variabel yang relevan untuk dijadikan pembanding dengan tingkat keterisian shopping center karena mewakili pertumbuhan e-commerce itu sendiri. Apabila peningkatan nilai transaksi e-commerce di Jakarta dihubungkan dengan occupancy rate shopping center di Jakarta sejak tahun 2017 hingga 2020 dengan menggunakan tools Microsoft Excel, maka didapat angka -0,96. Hasil negatif berarti kedua variabel saling berlawanan. Angka 0,96 (mendekati angka 1) berarti kedua variabel memiliki korelasi yang kuat sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan nilai transaksi e-commerce memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap penurunan occupancy rate shopping center di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kehadiran e-commerce tentu menjadi ancaman tersendiri bagi keberlangsungan properti shopping center. Perkembangan dan perubahan peradaban manusia tidak dapat dihindari karena akan terus terjadi sehingga perlu kebijaksanaan untuk menghadapinya. Adaptasi merupakan pilihan yang dapat dipilih oleh tenant maupun pihak pengelola shopping center.
Tenant sudah seyogyanya melakukan ekspansi ke platform e-commerce. Sedangkan bagi pihak pengelola shopping center, dapat memperbanyak fasilitas rekreasi seperti food court, bioskop, atau area permainan, dibandingkan fasilitas perbelanjaan seperti toko ritel. Hal ini senada dengan penelitian Höglund dan Heideken (2019) di Sergelstan (Stockholm CBD) yang melakukan pergeseran fokus bisnis properti ritel dengan memperbanyak food and beverage tenant agar tetap dapat bersaing di era digitalisasi saat ini.