Konten dari Pengguna

Mengungkap Kasuistik Kecenderungan Generasi Sandwich Pilih Opsi Panti Jompo

Regina Adelia Cindy Elyastuti
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
9 Januari 2024 15:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Regina Adelia Cindy Elyastuti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tulisan generasi sandwich, Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tulisan generasi sandwich, Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahukah kamu? hingga tahun 2022, di Indonesia ada sekitar 800 panti jompo dengan total penghuni hingga 25.000 orang, data ini berasal dari data Kementrian Sosial RI. "Haduh kok banyak yang pilih menelantarkan orang tua setelah berkeluarga sendiri?" atau "padahal udah dirawat dari kecil, pas dewasa kok ga mau rawat orang tua?" atau justru "itu tuh anak itu durhaka masukin orang tuanya sendiri ke panti jompo karena alasan ga ada waktu!" begitu kan reaksi yang sering kita dengar saat ada informasi anak yang menitipkan orang tuanya ke panti jompo?. Namun apakah benar anak yang sudah berkeluarga sendiri cenderung lepas tanggung jawab atas orang tuanya?. Apa iya memasukan orang tua ke panti jompo itu sama dengan menelantarkan orang tua?. Biasanya yang memasukan orang tua kedalam panti jompo adalah anak yang sudah memiliki keluarga kecil sendiri dan namun masih memiliki tanggung jawab untuk merawat orang tuanya, individu ini disebut generasi sandwich.
Ilustrasi generasi sandwich, Foto: Shutterstock
Generasi sandwich atau biasa disebut sandwich generation adalah sebutan untuk individu yang memiliki peran ganda dalam urusan keuangan. Disebut generasi sandwich karena harus memenuhi kebutuhannya sendiri, kebutuhan anaknya, dan kebutuhan orang tuanya. Generasi sandwich dibagi menjadi tiga tipe, yaitu:
ADVERTISEMENT
Kondisi peran ganda ini membuat generasi sandwich tertekan dan harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk menitipkan orang tuanya ke panti jompo. Hal inilah yang menjadi pertentangan, karena budaya dan kebiasaan di Indonesia mengatakan bahwa merawat orang tua adalah keharusan, juga persepsi bahwa lansia harus terus hidup ditengah keluarganya. Sebelum berpendapat demikian, tahukah kamu bahwa panti jompo bukanlah tempat untuk menelantarkan orang tua, masalahnya panti jompo terlalu dipandang negatif oleh masyarakat. Ada dua tempat penampungan lansia, yang pertama adalah panti sosial. Panti sosial adalah tempat penampungan lansia yang ditelantarkan atau sudah tidak mempunyai keluarga. Sedangkan yang kedua adalah panti jompo, panti ini berbayar dan menyediakan pelayanan serta perawatan bagi lansia.
Ilustrasi sudut pandang generasi sandwich, Foto: Shutterstock
Fenomena inilah yang menjadi kasuistik bagi generasi sandwich, kasuistik adalah strategi pemikiran yang berusaha menyelesaikan dilema etis dengan mengidentifikasi atau memperluas prinsip-prinsip umum dari situasi spesifik, lalu mengaplikasikan kembali prinsip-prinsip tersebut. Mengingat tindakan pilih opsi panti jompo ini dianggap bertentangan dengan etika di masyarakat Indonesia yang mengharuskan merawat serta membuat orang tua tinggal di tengah keluarganya. Tindakan memilih opsi panti jompo ini bahkan juga dianggap tidak bermoral, jadi mari kita melihat kasuistik yang dilakukan generasi sandwich, dengan teori struktur kesadaran manusia dalam cahaya fenomenologi Edmund Husserl yang merupakan seorang filsuf.
ADVERTISEMENT
Fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari sudut pandang subjektif orang terkait atau bisa dibilang sudut pandang orang pertama, tidak hanya berasal dari pengalaman inderawi. Menurut Husserl, pengalaman inderawi merupakan titik awal yang mengarah pada interpretasi abstrak atau makna konseptual (conceptual meaning). Makna konseptual ini mencakup imajinasi, pemikiran, dorongan, atau emosi yang spesifik, yang terjadi saat individu merasakan pengalaman personal mereka dalam dunia sekitarnya. Fenomenologi mengkaji apa yang dialami oleh individu dari perspektif subjek yang sedang mengalami pengalaman tersebut.
Ilustrasi struktur kesadaran, Foto: Shutterstock
Husserl menyebut esensi dari kesadaran sebagai intensionalitas setiap kesadaran yang dituju ke arah sesuatu dianggap sebagai suatu tindakan(act). Segala tindakan manusia, termasuk gerakan fisik dan cara berpikir, selalu terjalin dalam kerangka kebiasaan(habits). Intensionalitas mengacu pada proses objektifikasi di mana individu berfungsi sebagai subjek yang selalu mengarah pada objek konkret dalam dunia nyata. Objek dari kesadaran dan aktivitas manusia tidak berada dalam ruang hampa, melainkan selalu terikat pada konteks makna tertentu. Intensionalitas ini mengaitkan informasi dengan objek kemudian mendorong identifikasi objek tersebut. Aspek yang menjadi lingkup dari objek membuka harapan bagi subjek untuk mengalami objek tersebut pada masa mendatang. Oleh karena itu, objek intensionalitas sebenarnya timbul dari "endapan" aktivitas-aktivitas intensional.
ADVERTISEMENT
Nah, berdasarkan fenomenologi dan struktur kesadaran manusia dapat dilihat kasuistik generasi sandwich cenderung memilih opsi memasukan orang tuanya yang sudah lansia ke panti jompo. Generasi sandwich dituntut untuk bekerja lebih keras, mengalokasikan lebih dari untuk mencari uang agar kebutuhan dirinya, anak dan orang tuanya terpenuhi. Hal tersebut membuat generasi sandwich menghabiskan 10 hingga 12 jam waktunya per hari untuk bekerja, baik dengan mencari kerja tambahan atau lembur, hal itu dilakukan karena dengan bekerja dapat menghasilkan uang, dan uang dapat memenuhi kebutuhan ekonominya. Namun waktu dan tenaga yang dimiliki untuk mengurus orang tuanya yang sudah lansia tidak cukup, sehingga dipilihlah opsi panti jompo. Hal ini dimaksudkan oleh generasi sandwich agar sang orang tua mendapat pelayanan yang dibutuhkan, mendapatkan perawatan, dan memiliki teman karena bersosialisasi dengan lansia lainnya disana.
Ilustrasi kesibukan generasi sandwich dalam bekerja, Foto: Shutterstock
Hal ini juga dapat dijelaskan dengan teori dari Alfred Schütz seorang filsuf dari Austria. Menurut Schütz, dunia kehidupan (Lebenswelt) dapat dipahami sebagai wilayah realitas yang dianggap remeh oleh orang dewasa yang sadar dan normal sebagai hal yang masuk akal. Schütz dalam teorinya mengatakan bahwa melalui posisi dan pengalaman di dunia kehidupan, individu menjadi makhluk sosial yang terlibat dan terpengaruh oleh dunia sosial dan alam, hal yang dianggap remeh muncul dari tipifikasi dunia fenomenal. Sehingga persepsi dikategorikan dari kumpulan pengetahuan bersama sebagai jenis hal “ini” Atau “itu” hingga ada pemberitahuan lebih lanjut, apabila bertentangan dengan pengalaman masa depan, maka tipifikasi ditinggalkan atau dirumuskan ulang. Hal-hal yang dianggap remeh semakin dimungkinkan melalui penggunaan resep-resep aksi sosial yang telah teruji waktu. Sehingga dari potensi tindakan sosial yang tidak terbatas bagi individu yang merupakan tindakan potensial dibatasi oleh pemahaman yang diterima begitu saja tentang apa yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan dalam situasi tertentu. Individu cenderung melakukan apa yang berhasil dan menghindari yang tidak berhasil melalui tipifikasi dan penggunaan resep untuk aksi sosial, dunia menjadi tidak bermasalah dan menjadi hal yang masuk akal.
Ilustrasi individu cenderung melakukan apa yang berhasil, Foto: Shutterstock
Dapat diartikan, generasi sandwich sebagai subjek menghabiskan hingga 12 jam waktunya untuk mendapatkan objek nyata yaitu uang dalam horizon makna untuk memenuhi kebutuhan. Makna bahwa uang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dan menunjang kebutuhan lainnya membuat adanya kerangka kebiasaan(habits) yaitu cara berpikir dari generasi sandwich agar memilih tindakan(acts) bekerja.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang orang tua, generasi sandwich tidak ingin menjadi seperti orang tuanya yang harus bergantung kepada anaknya. Generasi ini melihat persepsi dan tipifikasi yang dimiliki orang tuanya dalam segi ekonomi yang telah teruji oleh waktu dan terlihat di masa sekarang. Hal tersebut membuat generasi sandwich meninggalkan tipifikasi yang lama dan merumuskannya ulang, generasi ini memusatkan diri untuk bekerja keras, sehingga terbentuklah habits untuk bekerja, dan uang sebagai objek nyata yang dia arahkan dengan makna agar kehidupannya kedepan tetap sejahtera, tercukupi serta bentuk penghindarannya terhadap ketidak berhasilan yang telah dialami orang tuanya.
Ilustrasi tiga generasi, Foto: Shutterstock
Disisi lain, generasi ini sadar akan tanggung jawab yang dimiliki sebagai anak dari kedua orang tuanya, generasi ini sebagai makhluk yang harus terlibat dan dipengaruhi oleh dunia sosial tetap terikat pada tanggung jawabnya sebagai anak. Hal ini membuat generasi sandwich yang memiliki potensi tindakan sosial yang tidak terbatas memilih untuk memenuhi kebutuhan orang tua di masa senjanya dengan mengambil alternatif opsi panti jompo, dengan pemahaman bahwa lansia juga memiliki kebutuhan fisik maupun mental yang membutuhkan waktu dan tenaga, generasi sandwich menerima pemahaman bahwa waktu yang dimiliki tidak mungkin cukup untuk mengawasi orang tuanya sehari-hari. Pemahaman generasi ini bahwa di panti jompo, lansia dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang memungkinkannya untuk memiliki fungsi dan kontribusi di lingkungan serta komunitas sekitarnya, juga termasuk memiliki teman untuk berinteraksi secara sosial dan menjaga kesehatan fisiknya. Fenomena itulah yang mendorong kasuistik generasi sandwich sehingga memilih opsi panti jompo.
Ilustrasi orang tua di panti jompo, Foto: Shutterstock
Jadi opsi panti jompo yang dipilih oleh generasi sandwich bukan berarti membuang orang tua, opsi panti jompo yang dipilih generasi sandwich justru adalah alternatif yang digunakan sebagai tindakan tanggung jawabnya sebagai anak dan tipifikasi baru untuk bekerja mencari uang agar menjamin kesejahteraan masa tua.
ADVERTISEMENT