Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
UU Kesehatan Perlu Ditinjau Lagi
25 September 2024 12:14 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Aurora Demak Maria Simanjuntak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu indikator keberhasilan suatu negara adalah melalui sektor kesehatan yang mempengaruhi beberapa aspek, seperti kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Dalam implementasinya, Indonesia telah menjalankan Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Namun pada tahun 2023 silam, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 untuk mengganti pengaturan tentang kesehatan yang menuai pro dan kontra ditengah masyarakat. Pembaharuan ini disebabkan oleh usaha untuk menyempurnakan sektor kesehatan mulai dari akses layanan, bahan baku, sistem tangguh bencana, perizinan hingga pemerataan tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
Lantas menjadi pertanyaan, apakah penyempempurnaan yang digadang-gadangkan itu berjalan dengan semestinya? Atau justru menambah dampak yang lebih rumit dan kompleks terhadap sektor kesehatan?
Eksistensi UU Kesehatan
Pengesahan Undang-Undang Kesehatan yang baru telah memicu gelombang protes dari berbagai kalangan, terutama organisasi profesi kesehatan. Secara formil, proses pembentukan UU ini dianggap tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik secara optimal. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang mendominasi proses pembuatan UU, misalnya saja dengan tidak dilibatkannya DPD dalam pembentukan regulasi yang seharusnya dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi tepatnya pada pasal 22 D ayat 2 UUD 1945. Selain itu, ditemukan banyak penolakan dari organisasi seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), PGDI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia), IBI (Ikatan Bidan Indonesia) dan organisasi profesi medis lainnya dikarenakan dalam pembentukan regulasi ini dilakukan tanpa campur tangan publik dan stakeholder terkait. Dengan kata lain, produk hukum ini tidak memenuhi prinsip meaningful participation yang dituangkan dalam pasal 96 ayat (4) UU mengenai Pembentukan Perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, secara materil, isi UU dinilai mengandung banyak kontradiksi dan berpotensi merugikan masyarakat. Poin merugikan itu ialah penghapusan alokasi anggaran minimal untuk kesehatan yang berpotensi mengikis dukungan finansial bagi sektor kesehatan. Hal ini mampu menjadi ancaman bagi pemerataan pelayanan kesehatan, terutama di wilayah terpencil yang beresiko menerima pendanaan yang lebih sedikit. Kemudian, sentralisasi tata kelola kesehatan yang dapat menghambat inovasi yang berpotensi menghambat pengembangan program kesehatan yang membaharukan dan berbasis kebutuhan masyarakat yang berbeda setiap daerahnya, serta mengancam independensi pengetahuan di sektor kesehatan akibat terbatasnya riset dan pengembangan kesehatan yang harus disesuaikan dengan kebijakan pemerintah.
Disisi lain, Pasal 311 UU ini seolah berkehendak untuk menyatakan semua organisasi profesi kesehatan dalam satu badan (single bar system). Ketentuan ini bertentangan dengan hak berserikat yang dijamin oleh konstitusi, serta berpotensi menciptakan standar etika yang beragam dan tidak konsisten. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melanggar etika profesi, sehingga mengancam profesionalitas tenaga medis yang berdampak pada keselamatan pasien. Pada akhirnya, produk hukum ini menunjukkan kecenderungan yang kuat menuju liberalisasi sistem kesehatan. Regulasi ini membuka pintu lebar bagi sektor swasta untuk masuk dan mendominasi layanan kesehatan. Akibatnya, terjadi perluasan privatisasi dan komersialisasi yang signifikan dalam sektor ini. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, terutama bagi kelompok yang berada dibawah garis kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Efek Domino
Meskipun pengesahan UU Kesehatan yang baru diharapkan membawa perbaikan dalam sistem kesehatan nasional, nyatanya agak sulit untuk direalisasikan. Proses pengundangan yang kurang transparan dan partisipatif telah mengundang berbagai kritik, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang mendominasi dalam pembentukan undang-undang ini. Akibatnya, terdapat sejumlah pasal dalam UU yang dinilai merugikan masyarakat, seperti kenaikan biaya layanan kesehatan yang dapat membebani masyarakat miskin dan mengurangi akses mereka terhadap layanan kesehatan, serta pembatasan akses obat-obatan tertentu yang dapat mengancam nyawa pasien. Dampak dari kebijakan-kebijakan yang kurang berpihak pada masyarakat ini dapat memicu ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan, meningkatkan beban finansial masyarakat, dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang perlu diperhatikan pula ialah terkait penghilangan pasal yang memuat aturan terkait mandatory spending (persenan belanja minimum yang diamanatkan UU) dalam bidang kesehatan dalam UU ini. Konsekuensinya, hal ini melanggar ketentuan konvensi internasional Abuja Declaration World Health Organization (WHO), dimana penghapusan mandatory spending merupakan langkah mundur yang berpotensi membahayakan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Jika melihat bentangan alam Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan, maka sangatlah bijak apabila seharusnya mandatory spending tersebut di adakan untuk menunjang pembangunan fasilitas dan aksesibilitas kesehatan antar pulau dan daerah terpencil, serta mempersiapkan mitigasi pada wilayah rawan bencana. Ditambah dengan iklim tropis yang menjadi tempat paling ideal berkembangnya penyakit dan bencana alam. Alangkah baiknya pemerintah mempertimbangkan resiko seperti ini.
ADVERTISEMENT
Konklusi
Secara keseluruhan, Undang-Undang Kesehatan yang baru ini sarat akan kontradiksi dan permasalahan yang dapat menghambat upaya mewujudkan layanan kesehatan yang berkualitas dan merata bagi seluruh masyarakat Indonesia. Substansi undang-undang yang tidak konsisten dan berpotensi merugikan masyarakat ini perlu segera dievaluasi dan diperbaiki. Kegagalan dalam mengatasi permasalahan dalam Undang-Undang Kesehatan ini akan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat Indonesia, terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan dan berada di bawah garis kemiskinan. Undang-undang Kesehatan seharusnya menjadi payung hukum yang kuat bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memperoleh akses layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau.
Sebagai sebuah regulasi yang mengatur hajat hidup orang banyak, UU Kesehatan semestinya berpihak pada kepentingan masyarakat. Sayangnya, dalam praktiknya produk hukum ini menuai banyak kritik karena dinilai lebih menguntungkan pihak tertentu, seperti industri farmasi atau perusahaan asuransi dibandingkan kebutuhan dan pemenuhan hak masyarakat luas. Dalam konteks Indonesia yang memiliki keragaman budaya dan kondisi geografis yang unik, UU Kesehatan seharusnya mampu mengakomodasi sifat inklusif dan kebutuhan masyarakat di berbagai daerah yang tentunya memiliki kebutuhan dan tantangannya tersendiri. UU Kesehatan tidak boleh hanya berfokus pada kepentingan pusat, tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan masyarakat di daerah pedesaan dan terpencil. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia dapat memperoleh akses yang sama terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau lokasi geografis. Produk hukum yang mengatur persoalan kesehatan yang baik adalah regulasi yang tidak hanya mengatur tentang pelayanan kesehatan, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya, sehingga mampu menjawab tantangan kesehatan yang kompleks dan dinamis. Harapannya, pemerintah tidak menutup mata dengan kondisi dan ancaman yang terpampang jelas di depan mata. Demi Indonesia sejahtera, melalui hak masyarakat akan kesehatan yang terpenuhi secara maksimal.
ADVERTISEMENT