Konten dari Pengguna

Hak Asasi Anak dalam Bahaya: Menyoroti Isu Eksploitasi Ekonomi pada Pekerja Anak

Mhd Arif Aziz
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6 Oktober 2024 9:17 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mhd Arif Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
@canvacreativestudio
zoom-in-whitePerbesar
@canvacreativestudio
ADVERTISEMENT
Konstitusi Negara Republik Indonesia, UUD Tahun 1945 telah menjamin hak dan kewajiban asasi warga negara sebagai konsekuensi dari negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Kewajiban ini tertuang di dalam ketentuan Pasal 28 UUD 1945, yang menentukan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Salah satu hak asasi yang harus diakui, dipenuhi, dan dijamin perlindungannya oleh negara adalah hak asasi di bidang ketenagakerjaan, yakni hak untuk bekerja dan memperoleh pekerjaan, hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menentukan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Upaya untuk mewujudkan pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan bekerja diimplementasikan dengan diterbitkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satu aspek yang diatur oleh UU Ketenagakerjaan ini adalah menyangkut perlindungan hukum terhadap kesejahteraan pekerja anak yang dicantumkan di dalam ketentuan Pasal 68 sampai dengan ketentuan Pasal 75. Dalam Pasal 68 UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menentukan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Oleh karena itu, larangan mempekerjakan anak ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak demi pengembangan harkat dan martabatnya dalam rangka mempersiapkan masa depannya.
ADVERTISEMENT
Meski telah terdapat pengaturan mengenai perlindungan hak-hak anak, pelanggaran terhadap hak asasi manusia pada anak tidak dapat terelakkan. Salah satu masalah yang perlu diberikan perhatian khusus adalah mengenai isu pekerja anak. Pekerja anak adalah istilah yang merujuk pada anak-anak yang dipekerjakan di bawah umur, seringkali dalam kondisi yang tidak layak dan mengeksploitasi mereka. Isu ini tidak hanya terbatas pada satu daerah, melainkan merupakan masalah global yang mempengaruhi jutaan anak di seluruh dunia (Tahamata, 2018: 41). Banyak anak terpaksa bekerja untuk membantu keluarga, padahal mereka seharusnya fokus pada pendidikan dan perkembangan diri. Pekerjaan yang mereka lakukan seringkali berbahaya dan dapat merugikan kesehatan fisik dan mental mereka.
Hal ini didukung dengan data pekerja anak pada tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik bahwa pekerja anak Indonesia dari kelompok usia 5-12 tahun mencapai 539.224 orang, proporsinya 1,52% dari total penduduk seusianya. Kemudian jumlah pekerja anak usia 13-14 tahun ada 162.276 orang (1,87% dari total penduduk seusianya), dan pekerja anak usia 15-17 tahun ada 305.593 orang (2,13% dari total penduduk seusianya). BPS mendefinisikan pekerja anak berdasarkan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan ketentuan sebagai berikut: Anak berumur 5-12 tahun yang bekerja tanpa mempertimbangkan jam kerja mereka; Anak berumur 13-14 tahun yang bekerja lebih dari 15 jam per minggu; dan Anak berumur 15-17 tahun yang bekerja lebih dari 40 jam per minggu. BPS juga mencatat, pada 2023 mayoritas atau 676.156 orang pekerja anak usia 5-17 tahun masih bersekolah. Kemudian yang tidak bersekolah lagi 318.948 orang, dan tidak/belum pernah sekolah 11.989 orang.
ADVERTISEMENT
Salah satu kasus pekerja anak yang mengalami eksploitasi terjadi pada seorang anak bernama Ayu berumur 13 (tiga belas) tahun berasal dari daerah desa yang terletak di Garut pegunungan Jawa Barat. Ia sering membantu orang tuanya menanam tembakau. Ayu merupakan siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia pergi ke ladang saat pagi hari sebelum sekolah, sore hari, akhir pekan dan hari libur. Ia mengatakan kepada pihak Human Rights Watch, bahwa alasan ia tidak masuk sekolah untuk bekerja di ladang tembakau. Sejak memulai bekerja di ladang tembakau, Ia mengalami gejala keracunan nikotin seperti muntah, mual, dan sakit kepala. Hal itu terjadi karena Ayu bersentuhan dengan tanaman tembakau terlalu sering dan tidak menggunakan pelindung yang aman pada saat menanam maupun memanen tembakau. Laporan ini menggambarkan bahwa pekerja anak berpotensi tinggi mengalami risiko buruk akan kesehatan dan keselamatan saat bekerja di ladang tembakau. Termasuk risiko keracunan nikotin akut karena bersentuhan langsung dengan tanaman dan daun tembakau, racun pestisida, dan bahan kimia lain. (Felicia, 2021).
ADVERTISEMENT
Contoh kasus lainnya adalah pekerja anak yang melakukan pekerjaan sebagai artis cilik dengan alasan sebagai pengembangan minat dan bakat. Alasan ini mempunyai ironinya tersendiri, mengapa anak yang "menjalani minat dan bakat" harus dibebani dengan jadwal kerja profesional? Misalnya, artis cilik yang bekerja di produksi sinetron stripping, yakni sinetron yang tayang setiap hari sehingga proses produksinya pun kejar tayang (produksi dilakukan sehari sebelum tayang). Pada produksi sinetron stripping berbintang artis cilik itu, anak-anak dipekerjakan lebih dari tiga jam dalam sehari bahkan hingga larut malam, sehingga artis cilik mengalami kelalahan (Rinaldi, dkk, 2018: 359). Jam kerja ini jelas sudah melanggar amanat UU Perlindungan Anak dan UU Ketenagakerjaan. Jika pekerja dewasa pulang pagi dan bisa beristirahat, anak-anak ini masih harus bersekolah di pagi harinya. Hal inilah yang memicu kebutuhan homeschooling bagi pekerja anak. Bahkan, sebagian pekerja anak pun akhirnya putus sekolah.
ADVERTISEMENT
Menurut pendapat penulis masih banyaknya kasus anak yang dieksploitasi hak-haknya ini karena masih terdapat ketidakharmonisan perlindungan terhadap hak-hak anak dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ketentuan dalam Pasal 69 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang memberikan pengecualian bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Hadirnya Pasal 69 ini justru melemahkan tujuan perlindungan kepada anak yang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 68, karena semua peraturan yang tercantum dalam Pasal 69 ini pada kenyataannya dapat disalahgunakan oleh oknum pengusaha dan orang tua seperti pada contoh kasus eksploitasi anak di atas. Oleh karena itu, menurut pendapat penulis, perlu dilakukan reformasi terhadap regulasi yang ada pada Pasal 69 UU Ketenagakerjaan yang memberikan pengecualian bagi anak berusia 13 hingga 15 tahun sebaiknya direvisi agar tidak ada celah yang dapat disalahgunakan. Perlindungan hak anak harus menjadi prioritas utama, dan semua regulasi harus sejalan dengan tujuan tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu juga, dalam UU Perlindungan Anak tidak menempatkan tindak pidana eksploitasi ekonomi anak dalam bab khusus, bahkan yang lebih tragis, masalah eksploitasi ekonomi anak tidak didefinisikan sehingga sulit memidanakan pelaku tindak pidana ini. Dalam kepustakaan hukum nasional, tindak pidana eksploitasi ekonomi anak merupakan konsep yang belum banyak dibahas khususnya dalam lingkup hukum pidana (Rudy, 2022: 45). UU Perlindungan Anak hanya menyebut dua pasal tentang larangan melakukan eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual pada anak yaitu Pasal 76 huruf I dan Pasal 88 dengan ancaman hukuman penjara maksimum 10 tahun dan/atau denda paling banyak 200 juta rupiah. Penulis berharap bahwa pengaturan mengenai perlindungan hak-hak anak dari eksploitasi ekonomi ini dapat diatur lebih lengkap dan jelas, sehingga dapat memberikan fokus yang lebih besar terhadap isu ini agar penegakan hukum dapat berjalan lebih efektif dan meminimalisasi terjadinya tindakan-tindakan eksploitasi terhadap anak di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Referensi
Muhamad, Nabilah. “Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Berdasarkan Kelompok Usia (2023)”. Diakses pada Minggu 29 September 2024. https://databoks.katadata.co.id/ketenagakerjaan/statistik/170cc8b05b1146e/ada-1-juta-pekerja-anak-di-indonesia-pada-2023-ini-rentang-usianya
Rinaldi, Gerbra Gelica dan Deddy Effendy. “Mempekerjakan Anak di Bawah Umur Sebagai Artis Cilik Ditinjau daru Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan JO Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”. Jurnal Prosiding Ilmu Hukum Vol. 4 No. 1 (2018): 359
Suryanto, Felicia Natashya. “Eksploitasi Pekerja Anak di Lahan Tembakau di Indonesia”. Diakses pada Minggu 29 September 2024. https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/eksploitasi-pekerja-anak-di-lahan-tembakau-di-indonesia/
Tahamata, Lucia Charlotta Octovina. “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak, Kajian Ketentuan United Nations Convention On The Right Of The Child”. Jurnal SASI Vol. 24 No. 1 (2018): 41
ADVERTISEMENT
Tarigan, Rudy, dkk. “Perlindungan Hukum terhadap Anak yang jadi Korban Prostitusi Demi Mewujudkan Nilai Keadilan (Legal Protection for Children who are Victims of Prostitution in order to Realize the Value of Justice)”. Jurnal Kajian Ilmiah Hukum dan Kenegaraan (KIHAN) Vol. 1 No. 1 (2022): 45