Konten dari Pengguna

Gundala: Teknologi CGI dan Dolby Atmos dalam Perfilman Indonesia

Stefani Vaneisya Maharani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
18 Oktober 2024 13:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Stefani Vaneisya Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi CGI dalam scene film Gundala (Sumber: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi CGI dalam scene film Gundala (Sumber: Pribadi)
ADVERTISEMENT
Industri film tidak terpisahkan dari pelibatan teknologi digital dalam proses produksinya. Teknologi baru turut menentukan atmosfer yang ingin dibangun pada penonton dalam menikmati film dari sisi visual dan audionya. Industri perfilman Indonesia mulai mengikuti jejak perfilman Hollywood memproduksi film-film superhero, dengan kearifan lokal. Film Gundala (2019) produksi Bumilangit Studios ini menjadi film pertama Indonesia yang menggunakan teknologi tata suara, Dolby Atmos. Penggunaan CGI yang identik dengan film-film action superhero tidak terlepas dari produksi film ini.
ADVERTISEMENT
Sinopsis Film Gundala (2019)
Film Gundala (2019) dengan genre action-superhero ini mengadaptasi cerita berdasarkan karakter pahlawan super Indonesia tahun 1969. Film berdurasi 2 jam 3 menit ini berkisah tentang seorang anak biasa yang hidup di jalanan seketika memiliki kekuatan. Sancaka, anak itu mulai memiliki kekuatan sejak tersambar petir. Sancaka dihadapkan pada situasi yang memaksa dia bertahan hidup tanpa memedulikan orang lain. Kondisi kota saat itu sedang kacau dan ketidakadilan merajalela di seluruh kota. Kondisi itu mendorong Sancaka pada dua pilihan, menjadi Gundala atau hidup tenang. Sancaka memilih memerangi ketidakadilan dan menjadi Gundala untuk masyarakat tertindas.
Teknologi Baru Dolby Atmos dan CGI
Penggunaan teknologi Dolby Atmos dan CGI dalam film ini mencoba menghadirkan pengalaman nyata aksi superhero Indonesia layaknya film superhero internasional. Penggunaan Dolby Atmos memberikan pengalaman maksimal yang hadir lewat efek audio. Joko Anwar, sang sutradara dalam wawancara bersama liputan6 menjelaskan, Dolby Atmos digunakan untuk menciptakan atmosfer dari dunia Gundala. Penggunaan Dolby Atmos membuat proses produksi menyita waktu lebih lama.
ADVERTISEMENT
Scene dengan latar tempat yang berbeda dari dunia nyata, kerusakan bangunan, dan kemunculan kekuatan petir direalisasikan dengan teknologi CGI. Dikutip dari liputan6.com, Joko Anwar mengaku penggunaan CGI sebanyak 680 shot dan berkolaborasi dengan 11 vendor. Tujuannya agar efek dari CGI tidak terlalu terasa penonton.
Faktanya, menggunakan kedua teknologi dalam produksi film Gundala (2019) tidak mengeluarkan biaya yang fantastis seperti produksi Hollywood. Joko Anwar membantah rumor tersebut dan menjelaskan biaya yang dihabiskan tergolong medium. Film Gundala (2019) berhasil membangun dunia Gundala dengan visual yang berkualitas dan mengatur biaya produksi dengan optimal.
Kesuksesan film Gundala (2019) menjadi penanda perubahan perfilman Indonesia. Teknologi baru mendorong produsen film untuk memproduksi film dengan genre baru yang jarang ditemukan dalam film lokal. Setelah rilisnya film ini, beragam film Indonesia mulai mengikuti jejak melibatkan teknologi CGI maupun Dolby Atmos.
ADVERTISEMENT
Funfact, film ini melibatkan sekitar 1800 pemain dalam proses syuting. Syuting film ini, dilakukan selama 53 hari dan mendatangi sebanyak 70 lokasi tanpa menggunakan greenscreen. Hampir satu tahun proses produksi film Gundala (2019) karena faktor teknologi baru yang menghabiskan banyak waktu.