Konten dari Pengguna

Mendalami Isu Gender dari Sudut Pandang Internasional Hingga Aktor Non-negara

Landy Zamahsyarie Alit
Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Udayana
24 Oktober 2024 15:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Landy Zamahsyarie Alit tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Artikel Gender dalam Hubungan Internasional

liberty of america. sunber deep ai
zoom-in-whitePerbesar
liberty of america. sunber deep ai
ADVERTISEMENT
Dari gender menjadi kajian lingkup internasional yang kini sudah melibatkan aktor non negara. Melalui artikel berita ini mari kita menguak fakta-fakta sosial soal kajian gender dari perspektif ahli, buku, hingga kalangan influencer. Banyak yang mengungkapkan bahwa gender ini berkaitan dengan kebebasan individu yang diagungkan oleh orang yang berpandangan liberal. Sebagian kajian hubungan internasional masa kini memasukkan topik gender sebagai kajian keamanan. Inti dari kajian gender adalah untuk mengejar kesetaraan antara pria dan perempuan. Dimana, perempuan lebih dikesampingkan oleh institusi dan pemerintahan. Tidak jarang muncul pro-kontra dalam kajian kesetaraan gender ini, karena identik dengan gerakan feminisme. Semoga artikel ini bisa membantu anda dalam memahami persoalan kajian gender yang semestinya kita renungi bersama.
ADVERTISEMENT
Saya dapat katakan, manusia makhluk egois nan dinamis yang selalu mempermasalahkan segala hal yang bisa jadi masalah. Jauh dimasa lampau, manusia seringkali mengadakan peperangan demi memperebutkan hak kuasa atas suatu hal, berakar dari egoisme yang dimiliki. Rasa ingin mendominasi pihak lainnya selalu dimiliki oleh manusia. Tak luput dari persaingan dan peperangan, kini manusia lebih memiliki kompleksitas yang lebih bercabang ketimbang peperangan saja. Tentunya, saat ini perang opini sudah melibatkan aktor non negara. Beberapa diantaranya adalah para influencer yang memiliki pengikut media sosial.

Gender dan Pasca Perang Dingin

Gender menjadi persoalan yang muncul kepermukaan semenjak wanita merasa kurang memiliki hak untuk berpartisipasi sebagaimana pria, tentunya semenjak isu peperangan mulai redup. Meskipun, hal berkaitan dengan kajian gender ini bisa saja cukup sensitif di beberapa kalangan. Mari kita simak lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Gender dalam Hubungan Internasional menjadi kajian kontemporer yang mulai muncul pasca berakhirnya perang dingin. Ideologi liberal yang mementingkan kebebasan telah mememangkan peperangan melawan komunis, tapi bukan ini yang akan kita dalami.
Ungkapan tersebut dikeluarkan oleh salah satu buku berjudul "" yang menguak bahwa terdapat hubungan yang berkolerasi antara liberalis dan gerakan feminis, keduanya mengutamakan hak individu.

Indeks Pendidikan Perempuan

Tahukah anda, perempuan masa kini jauh lebih memiliki akses pendidikan ketimbang masa lampau. Berbeda dengan dahulu yang lebih memandang urusan wanita hanya di dapur. Tak luput dari perjuangan para feminis gelombang pertama, termasuk ibu Raden Ajeng Kartinu yang dahulu hadir sebagai penggerak hak pendidikan bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Syukurnya, perempuan saat ini mendapatkan hak untuk menempuh pendidikan jenjang lanjutan (mulai dari SMA hingga perguruan tinggi). Bahkan, rasio perempuan yang saat ini menempuh pendidikan tinggi (kuliah) lebih dominan ketimbang pria.
perbandingan jumlah mahasiswa perempuan dan pria di Indonesia (5.518.015 mahasiswa perempuan; 4.553.738 mahasiswa pria). dikutip dari https://pddikti.kemdikbud.go.id/statistik
Lebih dari setengah bagian (54 persen) jumlah mahasiswa di Indonesia adalah perempuan. Sementara pria 46 persen dari jumlah keseluruhan mahasiswa. Hal ini perlu kita pertimbangkan bahwa jumlah wanita yang menempuh perkuliahan jauh lebih banyak ketimbang pria.
Terdapat sumber yang mengatakan bahwa perempuan lebih menempati capaian prestasi tertinggi ketimbang pria. Hal ini disebabkan otak bagian depan (prefrontal cortex) milik perempuan lebih cepat berkembang ketimbang pria pada usia muda.
Gambarsn bagian otak yang mengatur penentuan keputusan. sumber : deep ai
Terlebih lagi, kebanyakan perempuan yang menduduki bangku sekolah biasanya lebih termotivasi untuk belajar. Sementara siswa laki laki cenderung menyalurkan keaktifan dalam membuat onar di kelas (Utami & Yonanda, 2020). Tanpa ada maksud untuk mendegradasi salah satu pihak, tetapi sudah selayaknya kita renungi hal ini bersama. Sehingga, entah kita sendiri ataupun sanak saudara dapat lebih bijak dalam melaksanakan tanggung jawabnya di masyarakat.
ADVERTISEMENT

Penyebab Stigma "Pria = Cabul"

Coba dipikir baik baik, sebenarnya apa yang menyebabkan wanita cenderung takut saat didekat pria. Ada kaitannya dengan pola prilaku yang dipengaruhi oleh bagian otak depan yang disebutkan sebelumnya. Otak Prefrontal berfungsi sebagai penentu keputusan dalam berprilaku ataupun hal hal besar.
Banyak yang mengungkapkanbahwa kecendrungan pria yang menonton tayangan "pornografi" akan lebih merusak otak bagian depannya. Alhasil, dalam keseharian topik yang dibicarakan oleh pria cenderung hal yang berbau seksualitas "negatif". Hal ini membuat rasa tidsak nyama dari para perempuan saat didekat pria. Apalagi, kebanyakan anak muda saat ini menganggap hal tersebut wajar- wajar saja Terdapat kejanggalan disini, dimana hal tabu dinormalisasi oleh pihak tertentu karena alasan sebagai hiburan.
Perlu dipahami, hal tersebut dapat mengantarkan pada kasus kejahatan berbasis gender. Kejahatan berbasis gender (Gender Based Violence) asalah sebuah terminologi yang menjelaskan peranan seksualitas dianggap sebagai pemisah antara gender. Salah satu gender berupaya mendominasi dengan cara yang tidak baik. Misalnya, pelecehan verbal maupun seksual, hingga perusakan nama baik seseorang dengan praktik fitnah.
ADVERTISEMENT

Kontra dari Influencer

Banyak Influencer yang memiliki prinsip maskulinitas garis keras seperti Andrew Tate , Timothy Ronald, dan Joe Rogan cukup menentang keras pergerakan Feminisme ini. Kritikan mereka begitu pedas, namun cukup mendorong pria untuk stand pada kodratnya secara biologis (tidak mengalami penyimpangan prilaku seksual). Tapi, pemikiran maskulin ini cenderung sangat umum dan mudah ditangkap. Mereka cenderung menyarankan pria untuk dapat bekerja keras untuk dapat mencapai tujuan. Namun, pemikiran ekstrim mereka menganggap perempuan hanya sebagai objek seksual. Seoramg Andrew Tate mengungkapkan bahwa tidak apa untuk melakukan poligami.
Setidaknya mereka hanya mendorong bagaimana pria tetap menjadi pria ditengah banyaknya penyimpangan ketertarikan gender menjadi non-binary atau hal beragam lainnya.
Namun yang ingin saya soroti adalah kontradiksi dari influencer dengan channel "Kuliah Kehidupan" dengan pembawaan yang manly. Dalam 2 kontennya dia menunjukkan bahwa laki laki saat ini mengalami degradasi akibat angka pengangguran yang membludak. Pengamat ini mengatakan bahwa sektor pekerjaan dengan melibatkan otot yang biasanya diungguli pria, menjadi jauh lebih minim (tergantikan oleh mesin dan robot). Hal ini yang menyebabkan angka PHK kian melonjak dalam tahun tahun 2020-2024 kini, tepatnya masa covid dan pasca pandemi.
ADVERTISEMENT
Konten berjudul "krisis laki laki" dan "jatuhnya laki laki" menggambarkan kecemasan generasi pria dimasa kini. sumber : tangkapan layar pribadi, channel kuliah kehidupan
Yang saya tangkap dari pemikirannya, penyiar menyadari bahwa keunggulan wanita sudah mencapai target pemikir feminis gelombang satu dan dua, setara dengan pria dalam pendidikan dan memiliki hak yang dama dengan pekerjaan. Dalam artian kasar disebut menggantikan peranan pria dalam mencari nafkah. Lantas kita berpikir, mungkinkah dimasa mendatang akan terjadi ketidaksetaraan gender jika kondisi tetap stagnan, dengan angka pengangguran pria usia produktif yang tinggi?