Konten dari Pengguna
Muslim Sebagai Etnis Minoritas dalam Konflik Kashmir
7 Juli 2025 12:14 WIB
·
waktu baca 5 menitKiriman Pengguna
Muslim Sebagai Etnis Minoritas dalam Konflik Kashmir
Mengulik lebih dalam interaksi konfliktual berkepanjangan antara India dan Pakistan. Sekaligus bagaimana HAM kelompok muslim Kasmir dicederai.Eiunike Aurora Shafia Putri

Tulisan dari Eiunike Aurora Shafia Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak Partition 1947 yang membagi wilayah India menjadi dua negara, Kashmir telah menjadi titik pusat interaksi konfliktual berkepanjangan antara India dan Pakistan. Konflik berkepanjangan tersebut disebabkan oleh perebutan wilayah Kashmir yang merupakan “side effect” dari peristiwa Partition 1947 atas sikap Kashmir yang saat itu mengambil posisi netral untuk tetap independen. India mendasari argumennya pada penandatanganan Instrument of Accession (IoA) oleh Maharaja Hari Singh sebagai deklarasi bergabung ke India. Di sisi lainnya, Pakistan mendasari argumennya pada kesamaan identitas budaya dan agama dengan penduduk Jammu dan Kashmir yang mayoritas Muslim.
ADVERTISEMENT
Terlepas posisinya sebagai mayoritas di wilayah Jammu dan Kashmir, dalam konteks nasional, masyarakat Muslim Kashmir tetap menempati posisi minoritas dan termarjinalkan. Utamanya, dalam konteks India yang secara prinsip mendasarkan identitasnya sebagai negara sekuler—yang kini konstelasi politiknya semakin didominasi oleh nasionalisme Hindu. Mereka seringkali menjadi subjek sasaran dari kebijakan dan regulasi keamanan serta nasionalisme India yang eksklusif. Selain itu, tindakan represif juga dilakukan secara intens dilakukan oleh pemerintah India, terkhusus di era pemerintahan Bharatiya Janata Party (BJP) selaku partai nasionalis Hindu sehingga meningkatkan tuntutan untuk melepaskan diri dari India melalui kelompok-kelompok separatis, seperti The Jammu and Kashmir Liberation Front (JKLF), Moslem Janbaz Force (MJF), Jaish-e-Mohammad, dan Laskar-e-Tayyaba.
Dengan demikian, konflik yang mulanya hanya sebatas sengketa perebutan wilayah, perlahan bergeser menjadi perseteruan identitas agama dan etnis, —India dengan nasionalisme Hindu dan Pakistan dengan nasionalisme Islam— yang mengarahkan pada pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM yang terjadi di daerah perbatasan Kashmir disebabkan oleh eskalasi konflik yang juga menyebabkan persekusi terhadap muslim Kashmir muncul dalam berbagai bentuk. Protes dan demonstrasi banyak dilakukan oleh kelompok muslim Kasmir sebagai bentuk protes atas banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah India terhadap masyarakat muslim Kashmir. Pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang konflik ini mencakup pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, pemerkosaan atau pun pelecehan seksual. Tak jarang penindasan politik dan pembatasan kebebasan berbicara masih terus berlangsung.
Situasi semakin memburuk pada dekade 1990-an, ketika India dan Pakistan melakukan uji coba senjata nuklir pada tahun 1998, kekhawatiran akan pecahnya perang nuklir menjadi nyata. Konflik ini mencapai titik kritis pada Perang Kargil tahun 1999, ketika militan yang didukung Pakistan menduduki posisi strategis di distrik Kargil, wilayah Kashmir yang dikuasai India. India merespons dengan operasi militer skala penuh dan berhasil merebut kembali wilayah tersebut, mempertegas kontrol militer India di kawasan yang disengketakan. Meskipun pada tahun 2003 India dan Pakistan menyepakati gencatan senjata di sepanjang LoC dan melakukan beberapa putaran dialog, hasil yang dicapai sangat terbatas. Ketegangan kembali memuncak pada tahun 2008 dan 2010 saat protes besar meletus sebagai respons terhadap dugaan pelanggaran HAM dan tindakan represif pemerintah. Penindakan keras oleh aparat keamanan justru memperburuk persepsi terhadap otoritas India di Kashmir. Pemerintahan koalisi antara Bharatiya Janata Party (BJP) dan People's Democratic Party (PDP) pada tahun 2015 sempat dianggap sebagai eksperimen politik baru di tingkat lokal, namun tidak mampu menyelesaikan akar masalah konflik.
ADVERTISEMENT
ambarPada Agustus 2019, pemerintahan India mengambil langkah kontroversial dengan mencabut Pasal 370, secara resmi menghapus status khusus Jammu & Kashmir dan membaginya menjadi dua wilayah federal. Keputusan ini dikecam oleh Pakistan dan memicu ketegangan diplomatik yang tajam serta gelombang protes di wilayah tersebut. India memberlakukan jam malam, pemblokiran internet, dan penangkapan massal terhadap para tokoh politik dan aktivis.Memasuki dekade 2020-an, wilayah Kashmir tetap menjadi salah satu kawasan paling ter militerisasi di dunia. Bentrokan antara pasukan keamanan India dan militan separatis terus terjadi, begitu pula dengan penindakan keras terhadap aktivisme dan perbedaan pendapat. Puncaknya terjadi pada Mei 2025, ketika serangan teroris di wilayah Kashmir yang dikuasai India memicu serangan balasan India terhadap target-target di Pakistan dan wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan.Beberapa hari pertempuran lintas batas berlangsung sebelum akhirnya gencatan senjata baru berhasil dicapai. Namun, insiden ini kembali menegaskan betapa rapuh dan mudahnya kawasan ini jatuh ke dalam eskalasi militer, memperpanjang siklus konflik yang telah berlangsung lebih dari tujuh dekade.
ADVERTISEMENT
Konflik berkepanjangan ini telah menimbulkan dampak buruk bagi psikologi penduduk khususnya anak dan wanita. Mereka selalu diliputi oleh rasa ketakutan dan khawatir yang luar biasa setiap harinya, karena lingkungan tempat tinggal mereka tidak ada jaminan atas keselamatan mereka. Kematian ribuan masyarakat tak berdosa yang menjadi korban peperangan antara IndiaPakistan terus mewarnai berlangsungnya konflik ini. Berbagai tindakan kekerasan dan pembatasan HAM masyarakat Kashmir akan membentuk trauma sendiri yang berkepanjangan. Ribuan penduduk terluka dan kehilangan pekerjaan setiap tahunnya, kehilangan anak-anak, saudara perempuan, ibu, dan banyak wanita harus kehilangan suaminya yang seharusnya menjadi satu-satunya sumber pertolongan dan perlindungan.
PBB sebagai lambang perdamaian dunia telah berusaha menyelesaikan konflik Kashmir dengan cara damai,akan tetapi baik India maupun Pakistan tidak menjalankan referendum tersebut. Oleh karena itu jalan perdamaian merupakan cara yang tidak terlalu efektif dalam menyelesaikan permasalahan Kashmir antara India dan Pakistan, mengingat jalan damai tidak menghentikan terjadinya dua perang besar lainnya di Kashmir.
ADVERTISEMENT
Organisasi HAM dunia sudah turut serta mengutuk setiap tindakan pelanggaran hak asasi manusia meskipun dalam praktiknya mereka hanya memiliki akses yang terbatas. Sebelumnya, pada tahun 1991, Asia Watch menyatakan bahwa pasukan pemerintah juga sistematis melanggar hukum hak asasi manusia internasional dengan menggunakan kekuatan mematikan terhadap demonstran yang melakukan aksi demonstrasi damai. Kemudian Kashmir menghilang kabarnya untuk beberapa minggu bahkan beberapa bulan lalu muncul kembali ke dunia internasional ketika seorang jurnalis melaporkan suatu peristiwa yang menakutkan. Organisasi militan yang telah beroperasi di wilayah Kashmir turut melakukan tindakan pelanggaran berat terhadap HAM internasional dan hukum humaniter. Banyak serangan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini dengan sengaja ditargetkan kepada warga sipil.
Berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM yang telah disebutkan sebelumnya tak lain adalah representatif sikap India yang benar-benar ingin menguasai semua yang ada pada Kashmir. Hal ini pada akhirnya hanya membuat orang Kashmir semakin teguh pendirian untuk tidak mendukung atau bergabung dengan India dan berhak untuk berusaha menentukan nasib sendiri dan memperjuangkan kebebasan. Jika saja India mau melunak dan merubah sikapnya serta memberikan otonomi yang lebih besar kepada Kashmir agar dapat mengakomodasi kepentingan rakyat Kashmir. Sekaligus menjamin HAM kelompok muslim yang termarjinalkan maka masih terdapat kemungkinan Kashmir bergabung secara sukarela.
ADVERTISEMENT