Konten dari Pengguna

Rencana Deforestasi Untuk Lahan Pangan dan Energi : Harapan atau Tantangan?

Muhammad Restu Ilahi
Mahasiswa D-IV Komputasi Statistik di Politeknik Statistika STIS
7 Januari 2025 9:55 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Restu Ilahi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hutan di Indonesia (Sumber : https://www.pexels.com/id-id/foto/alam-hutan-lingkungan-hidup-pohon-hijau-15075318/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hutan di Indonesia (Sumber : https://www.pexels.com/id-id/foto/alam-hutan-lingkungan-hidup-pohon-hijau-15075318/)
ADVERTISEMENT
Hutan merupakan salah satu tutupan lahan yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Hutan adalah salah satu penyerap karbon terbesar di dunia yang memiliki berbagai macam keanekaragaman hayati yang luar biasa. Hutan berkontribusi besar terhadap stabilitas iklim, ketersediaan air, dan mampu menciptakan ekonomi yang berbasis kehutanan.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam perkembangannya hutan terus mengalami perubahan dan tekanan baik secara alami maupun dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Selama beberapa dekade terakhir, deforestasi telah menjadi isu serius yang mengancam kelestarian hutan baik secara nasional maupun global. Sejak tahun 2013 hingga tahun 2022, jumlah lahan di Indonesia yang mengalami deforestasi mencapai 3,84 juta hektar lahan hutan (BPS, 2022), melebihi luas Provinsi Jawa Barat. Perubahan penggunaan lahan, baik untuk pertanian, pemukiman, maupun industri, menyebabkan hilangnya jutaan hektar hutan. Kebijakan pembangunan sering kali menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi dinamika ini, karena pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi sering kali berbenturan dengan kelestarian hutan
Ditengah masalah hutan yang tak kunjung selesai, pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan untuk membuat kebijakan yang ambisius yaitu melakukan konversi 20 juta hektar hutan atau hampir 20% dari total luas hutan Indonesia yang mencapai 125,8 juta hektar pada tahun 2023 (KLHK, 2023) menjadi lahan pangan dan energi dianggap sebagai solusi untuk ketahanan pangan dan energi. Luas hutan tersebut mendekati dua kali luas dari Pulau Jawa. Kebijakan ini menuai beragam reaksi, mulai dari dukungan karena potensi ekonominya hingga kekhawatiran terhadap dampaknya pada lingkungan. Isu ini menjadi sangat relevan, terutama mengingat deforestasi yang telah terjadi selama ini.
ADVERTISEMENT

Pengertian Deforestasi dan Implikasinya

Deforestasi adalah penggundulan hutan yang dilakukan untuk berbagai tujuan, termasuk pengembangan perkebunan dan kawasan industri. Menurut Rolett (2019), deforestasi adalah penggundulan hutan yang utamanya dilakukan untuk tujuan pertanian. Sementara itu, Maryam (2021) mendefinisikan deforestasi sebagai penebangan hutan dan pengalihfungsian lahan menjadi lahan non-hutan untuk berbagai keperluan seperti kawasan perkotaan, lahan pertanian, dan lahan peternakan.
Indonesia sendiri mengalami laju deforestasi yang signifikan, mencapai rata-rata 257.384 hektar per tahun pada periode 2022–2023 (KLHK). Kehilangan hutan ini mempengaruhi fungsi ekologis yang vital, seperti penyimpanan karbon, regulasi siklus air, dan habitat bagi keanekaragaman hayati. Dalam konteks rencana konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, pengertian deforestasi menjadi semakin relevan karena dampaknya akan dirasakan dalam berbagai aspek kehidupan. Fakta ini menunjukkan urgensi untuk mencari alternatif lain yang lebih berkelanjutan.
ADVERTISEMENT

Mengganti Hutan dengan Kelapa Sawit: Dampak yang Tidak Bisa Diabaikan

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit memiliki berbagai dampak negatif:

Perubahan Iklim

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit mengurangi jumlah pohon yang dapat menyerap karbon dioksida (CO₂) (Bhatt, 2021; Sukanta, 2014; Ellwanger et al., 2020; Bhatt, 2021; Oladipo, 2015). Data BMKG menunjukkan bahwa sektor kehutanan menyumbang emisi karbon (CO₂) sebesar 413,5 ppm pada 2022. Ketika emisi ini tidak diimbangi oleh langkah mitigasi yang memadai, dampaknya terasa secara global dengan peningkatan suhu dan bencana iklim. Hal ini menjadi perhatian besar karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi penyimpanan karbon yang tinggi.

Kehilangan Keanekaragaman Hayati

Hutan alami adalah rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna, namun perkebunan kelapa sawit hanya mendukung sebagian kecil keanekaragaman hayati ini sehingga hal ini dapat menyebabkan hilangnya habitat bagi banyak spesies (Fitzherbert et al., 2008; Danielsen et al., 2009; McBeath, 2003; Ansari, 2018; Ellwanger et al., 2020; Sanchez et al., 2024). Menurut data BPS, kawasan konservasi di Indonesia mencapai 27,4 juta hektar pada 2022, tetapi luas ini belum mampu mengimbangi dampak hilangnya habitat akibat deforestasi. Kehilangan ini tidak hanya mengancam spesies langka, tetapi juga keseimbangan ekosistem yang menjadi fondasi kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT

Degradasi Tanah dan Air

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berdampak signifikan pada kualitas tanah dan air (Ansari, 2018; Singh, 2021; Qu et al., 2024; Veldkamp et al., 2020). Data statistik KLHK menunjukkan bahwa pada 2022, lahan kritis di Indonesia mencapai 12,7 juta hektar, mencerminkan skala tantangan dalam menjaga kualitas lingkungan. Degradasi ini berkontribusi pada meningkatnya erosi dan berkurangnya kapasitas tanah dalam menyerap air, yang pada akhirnya mempengaruhi siklus hidrologi.

Penurunan Hasil Pertanian dan Pendapatan

Deforestasi dapat mengurangi curah hujan di wilayah tertentu sehingga berdampak negatif pada produktivitas pertanian yang dapat berimplikasi pada menurunnya pendapatan dari sektor pertanian (Filho et al., 2021). Sebagai contoh, data BPS menunjukkan bahwa produktivitas padi nasional mencapai 52,38 ton per hektar pada 2023, tetapi secara keseluruhan wilayah panen padi mengalami penurunan dari 10,4 juta hektar menjadi 10,2 juta hektar. Ini tidak hanya mempengaruhi ketahanan pangan tetapi juga kesejahteraan masyarakat lokal yang bergantung pada pertanian.
ADVERTISEMENT

Penyebaran Penyakit

Perubahan iklim akibat deforestasi dapat memicu peningkatan penyebaran penyakit tropis (Elwanger et al., 2020; Parween et al., 2024). Dengan suhu yang lebih tinggi dan pola curah hujan yang tidak menentu, vektor penyakit seperti nyamuk menjadi lebih sulit dikendalikan, sebagaimana tercermin dari laporan BPS tentang peningkatan kasus demam berdarah di beberapa wilayah tropis.

Penurunan Fungsi Ekosistem

Hutan tropis memiliki fungsi ekosistem yang jauh lebih kompleks dibandingkan perkebunan kelapa sawit, bahkan 11 dari 14 fungsi ekosistem mengalami penurunan pada kelapa sawit dibandingkan dengan hutan, fungsi yang mengalami penurunan termasuk regulasi gas, penyediaan habitat, hingga sumber daya genetik yang mendukung penelitian medis dan pertanian (Dislich et al., 2017). Hal ini tentu menimbulkan kerugian bersifat jangka panjang dan sulit dipulihkan.
ADVERTISEMENT

Emisi Karbon

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di lahan gambut melepaskan karbon yang tersimpan selama ribuan tahun (Danielsen et al., 2009; Carlson et al. 2012). Data statistik Badan Litbang Pertanian menyebutkan bahwa emisi dari lahan gambut mencapai 112,69 juta ton pada 2022. Dengan kontribusi besar ini, langkah mitigasi menjadi sangat krusial untuk menyeimbangkan kembali emisi karbon.

Perubahan Siklus Air

Perkebunan kelapa sawit memengaruhi siklus air dengan meningkatkan evapotranspirasi dan mengurangi kapasitas tanah untuk menyerap air hujan (Gomez et al., 2023). Akibatnya, terjadi peningkatan risiko banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Data BPS mencatat peningkatan bencana hidrometeorologi sebesar 23% dalam lima tahun terakhir, menyoroti dampak perubahan ini.
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

Alternatif Solusi: Mengatasi Kebutuhan Pangan dan Energi Tanpa Merusak Hutan

Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi, ada beberapa alternatif solusi yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah tanpa mengorbankan hutan:
ADVERTISEMENT

Pemanfaatan Lahan Terdegradasi

Indonesia memiliki lebih dari 12,7 juta hektar lahan terdegradasi (BPS, 2022). Dengan memanfaatkan lahan ini untuk perkebunan kelapa sawit, dampak negatif terhadap lingkungan dapat diminimalkan. Selain itu, pemanfaatan teknik restorasi tanah dapat meningkatkan produktivitas lahan, mengurangi tekanan terhadap hutan yang masih alami (Danielsen et al., 2009; Mutsaers, 2019).

Pengelolaan Agroforestri

Sistem agroforestri yang mengintegrasikan tanaman kelapa sawit dengan pohon lainnya terbukti dapat meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem (Gomez et al., 2023). Data BPS menunjukkan bahwa lahan dengan sistem agroforestri memiliki kapasitas penyimpanan karbon 20% lebih tinggi dibandingkan perkebunan monokultur.

Peningkatan Efisiensi Pertanian

Dengan teknologi modern, produktivitas pertanian dapat ditingkatkan tanpa membuka lahan baru (Pimentel et al., 1986). Sebagai contoh, data BPS mencatat peningkatan hasil pertanian sebesar 8% di daerah yang menerapkan irigasi presisi dan penggunaan varietas unggul. Solusi ini tidak hanya mengurangi tekanan pada hutan tetapi juga meningkatkan ketahanan pangan nasional.
ADVERTISEMENT
Rencana pemerintah untuk mengganti 20 juta hektar hutan menjadi lahan pangan dan energi mampu membawa peluang sekaligus tantangan besar. Di satu sisi, kebijakan ini dapat mendukung ketahanan pangan dan energi, tetapi di sisi lain, dampak negatif terhadap lingkungan tidak bisa diabaikan.
Solusi alternatif, seperti pemanfaatan lahan terdegradasi, pengelolaan agroforestri, dan diversifikasi energi, menawarkan jalan tengah yang lebih berkelanjutan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, Indonesia dapat mencapai tujuan ekonominya tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan. Kebijakan yang berorientasi pada masa depan menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan konservasi.