Konten dari Pengguna

Bali sebagai Teladan Kehidupan Multikultural yang Harmonis

Made Stela Anjani
Made Stela Anjani merupakan Mahasiswi semester 1 Prodi PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
16 Desember 2024 14:39 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Made Stela Anjani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sanggah banjar Tegehe ( Sumber: Dokumentasi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Sanggah banjar Tegehe ( Sumber: Dokumentasi Pribadi)
ADVERTISEMENT
Bali, yang dikenal sebagai "Pulau Dewata," telah lama menjadi simbol keindahan spiritual dan kebudayaan. Identitas ini tidak hanya ditopang oleh pemandangan alamnya yang memukau tetapi juga oleh kehidupan masyarakat yang mengintegrasikan ajaran agama Hindu Dharma dengan tradisi lokal. Di balik ritual keagamaan, tarian tradisional, seni ukir, dan arsitektur pura yang ikonis, Bali juga merupakan contoh nyata harmoni multikulturalisme. Meskipun mayoritas penduduk Bali mempraktikkan Hindu, komunitas Islam, Kristen, dan Buddha hidup berdampingan secara damai, mencerminkan nilai-nilai toleransi yang mendalam. Kisah di Banjar Tegehe, Desa Menyali, menjadi salah satu cermin nyata dari bagaimana masyarakat Bali mempraktikkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, terdapat sistem kolektif berupa paruman (musyawarah) yang diadakan rutin setiap bulan. Salah satu aturan dalam paruman adalah iuran sebesar Rp25.000 dari anggota dadia untuk kebutuhan upacara besar (odalan gede). Dana tersebut dikelola bersama, bahkan bisa dipinjamkan kepada anggota yang membutuhkan dengan kesepakatan cicilan. Namun, dalam realitas masyarakat, konflik tak dapat dihindari. Ketika salah satu anggota dadia—seorang pemangku yang memiliki peran penting dalam upacara keagamaan—mengalami kesulitan mengembalikan pinjaman, situasi menjadi rumit. Pada satu sisi, aturan menuntut agar anggota tersebut dikeluarkan (kepaing). Namun, keputusan ini dapat membawa dampak besar, karena peran pemangku sangat krusial dalam pelaksanaan ritual-ritual keagamaan. Dalam paruman tersebut, masyarakat memilih jalan tengah yang mencerminkan nilai-nilai toleransi. Anggota dadia sepakat untuk memberikan keringanan kepada pemangku tersebut, membiarkannya mencicil pinjaman daripada mengeluarkannya dari keanggotaan. Keputusan ini menunjukkan kebijaksanaan kolektif dan pemahaman mendalam terhadap pentingnya menjaga harmoni sosial. Solusi ini tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga menegaskan pentingnya saling pengertian dan empati dalam komunitas. Kisah ini menggambarkan esensi multikulturalisme dan toleransi, yang menjadi fondasi keberlangsungan masyarakat Bali. Dalam organisasi seperti dadia, keputusan tidak hanya berlandaskan aturan tertulis tetapi juga mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan dampak sosial. Sikap seperti ini perlu dijadikan teladan, terutama di dunia yang semakin individualistis. Bali, dengan kekayaan budaya dan nilai-nilainya, tetap menjadi inspirasi bagi kehidupan yang harmonis. Toleransi bukan sekadar konsep, tetapi praktik nyata yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Banjar Tegehe mengajarkan kita bahwa dalam menghadapi konflik, musyawarah yang adil, empati, dan pengertian adalah kunci untuk menjaga keseimbangan sosial. Semoga nilai-nilai ini terus hidup dan menjadi pelita bagi generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Made Stela Anjani Mahasiswi Semester 1 Prodi PGSD Universitas Pendidikan Ganesha.