Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Land Value Tax: Solusi Cerdas Atasi Krisis Rumah dan Pembaruan PBB-P2
5 Februari 2025 12:34 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Panji Edwinanda Hutama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kepemilikan rumah adalah kebutuhan mendasar yang penting bagi setiap orang. Namun, kenyataannya, generasi muda di Indonesia, khususnya generasi milenial dan generasi Z, menghadapi tantangan besar untuk memiliki rumah. Di tengah kenaikan harga rumah yang pesat dan keterbatasan pendapatan, mereka merasa kesulitan untuk mewujudkan impian tersebut. Menurut data dari Rumah123, harga rumah di Jakarta pada 2024 terus mengalami kenaikan antara 0,8% hingga 1,4% per bulan. Hal ini semakin memperburuk ketidakmampuan mereka untuk membeli rumah yang harganya semakin tidak terjangkau. Misalnya, berdasarkan laporan dari Pinhome Home Value Index (PHVI) pada Kuartal III 2024, harga rumah tipe 54 di DKI Jakarta berada dalam rentang harga Rp350 juta hingga Rp1,2 miliar. Sementara itu, generasi Z hanya memiliki pendapatan rata-rata sekitar Rp 2,5 juta per bulan, yang tentunya sangat jauh dari cukup untuk membeli rumah dengan harga yang semakin tinggi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, angka backlog perumahan Indonesia terus meningkat. Data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) BPS tahun 2024 menunjukkan bahwa pada tahun 2023, Indonesia memiliki backlog perumahan sebesar 12,7 juta unit rumah. Kondisi ini terjadi karena ketidakseimbangan antara laju pertumbuhan penduduk yang mencapai 2,85 juta orang setiap tahunnya dengan terbatasnya jumlah rumah yang tersedia. Dalam hal ini, hampir 93% dari total backlog disumbangkan oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dengan 60% di antaranya bekerja di sektor informal. Keterbatasan jumlah tanah yang dapat digunakan untuk membangun rumah menjadi masalah utama, karena jumlah lahan untuk pembangunan bersifat terbatas, sedangkan permintaan terhadap rumah semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini semakin menambah kesulitan generasi muda dalam memiliki rumah, yang seharusnya menjadi kebutuhan pokok mereka.
ADVERTISEMENT
Dengan latar belakang tersebut, pembaruan model Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang ada saat ini menjadi sebuah langkah penting. Sistem PBB-P2 yang berlaku di Indonesia selama ini mengenakan pajak pada tanah dan bangunan yang ada di atasnya. Namun, sistem ini memiliki kelemahan karena hanya mengenakan pajak pada bangunan, sementara nilai tanah itu sendiri kurang mendapatkan perhatian. Tanah yang tidak dimanfaatkan dengan maksimal tidak dikenakan pajak yang cukup tinggi, sehingga pemilik tanah tidak memiliki insentif untuk memanfaatkan lahan mereka dengan optimal. Dalam banyak kasus, pemilik tanah lebih memilih untuk menahan tanah mereka dan menunggu harga tanah yang semakin meningkat, tanpa ada dorongan untuk membangun rumah atau properti. Kondisi ini menyebabkan pasokan rumah menjadi terbatas, harga rumah terus meningkat, dan backlog perumahan semakin tinggi.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi tantangan tersebut, Land Value Tax (LVT) menjadi solusi yang tepat untuk memperbarui sistem PBB-P2 dan mengatasi masalah keterbatasan kepemilikan rumah. LVT adalah pajak yang hanya mengenakan pajak pada nilai tanah tanpa memperhitungkan bangunan atau properti yang ada di atasnya. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Henry George, yang berpendapat bahwa tanah adalah sumber daya terbatas yang seharusnya dikenakan pajak. Tanah, menurut George, tidak sepenuhnya dimiliki oleh individu, melainkan merupakan hasil dari aktivitas masyarakat dan pembangunan infrastruktur publik. Oleh karena itu, pajak yang dikenakan pada tanah yang nilainya meningkat akibat pembangunan fasilitas publik harus dibayar oleh pemilik tanah, bukan oleh orang lain.
Salah satu keuntungan utama dari penerapan LVT adalah memberikan insentif bagi pemilik tanah untuk mengembangkan tanah mereka. Jika tanah yang tidak digunakan dikenakan pajak yang lebih tinggi, pemilik tanah akan terdorong untuk membangun properti atau rumah di atas tanah tersebut untuk menghindari beban pajak yang tinggi. Dengan demikian, pasokan rumah di pasar akan meningkat, yang pada gilirannya dapat menurunkan harga rumah dan mengurangi backlog perumahan yang semakin tinggi. Sebagai contoh, di negara-negara yang telah mengadopsi LVT, seperti Denmark dan Estonia, LVT telah berhasil mendorong pembangunan rumah yang lebih terjangkau dan mengurangi spekulasi tanah. Di Denmark, misalnya, LVT dikenakan pada nilai tanah dengan tarif progresif antara 1,6% hingga 3,4%. Penerapan LVT di Estonia juga telah berhasil meningkatkan tingkat kepemilikan rumah yang mencapai sekitar 90%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain yang hanya memiliki tingkat kepemilikan rumah sekitar 67%.
ADVERTISEMENT
LVT juga dapat mengurangi spekulasi tanah. Dalam sistem PBB-P2 yang ada saat ini, pemilik tanah yang memiliki tanah kosong atau tidak produktif cenderung menahan tanah mereka dan menunggu harga tanah meningkat untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi di masa depan. Dengan LVT, pemilik tanah yang tidak membangun atau mengembangkan tanah mereka akan dikenakan pajak yang lebih tinggi, yang akan membuat mereka berpikir dua kali sebelum menahan tanah mereka. Hal ini akan mengurangi praktik spekulasi tanah yang selama ini memperburuk krisis perumahan dan membuat harga rumah semakin melambung.
Selain itu, LVT juga memiliki potensi untuk mengurangi ketimpangan sosial. Seperti yang disebutkan oleh Henry George, pajak nilai tanah adalah pajak yang adil karena tanah bukan sepenuhnya milik individu, melainkan hasil dari aktivitas masyarakat dan investasi publik. Infrastruktur publik seperti jalan, jembatan, dan fasilitas transportasi meningkatkan nilai tanah, dan karena itu, pemilik tanah yang mendapatkan manfaat dari peningkatan nilai tersebut harus turut berkontribusi pada pembiayaan kebutuhan publik, termasuk pembangunan rumah dan fasilitas umum. Dengan demikian, LVT dapat menciptakan keadilan sosial karena memastikan bahwa pemilik tanah yang kaya turut berkontribusi pada pembangunan sosial dan infrastruktur yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Penerapan LVT di beberapa negara juga menunjukkan keberhasilan dalam mengatasi masalah perumahan. Di Singapura, misalnya, pemerintah mengenakan pajak pada peningkatan nilai tanah yang terjadi akibat pembangunan infrastruktur publik. Dengan cara ini, pemerintah Singapura dapat mengatur penggunaan tanah secara lebih efisien dan mengurangi ketergantungan pada investasi properti yang tidak produktif. Selain itu, LVT juga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Indonesia. Sebagai contoh, penerimaan BPHTB DKI Jakarta pada 2023 mencapai Rp 5,394 triliun, dan dengan pengenaan LVT, PAD DKI Jakarta bisa meningkat signifikan karena pajak yang dikenakan pada tanah yang memiliki nilai tinggi. Penerimaan pajak yang lebih tinggi ini dapat digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan perumahan yang lebih terjangkau bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Mengombinasikan LVT dengan PBB-P2 di Indonesia dapat menjadi solusi yang efektif untuk meningkatkan pasokan rumah yang terjangkau. Penerapan LVT akan mendorong pemilik tanah untuk memanfaatkan tanah mereka dengan maksimal, mengurangi spekulasi tanah, dan meningkatkan ketersediaan rumah di pasar. Dengan demikian, harga rumah bisa turun, dan generasi muda yang kesulitan membeli rumah dapat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mewujudkan impian mereka. Pembaruan sistem pajak ini juga dapat memperkuat PAD di tingkat daerah, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik lainnya. Dengan sistem yang lebih progresif dan adil, LVT dapat menciptakan pasar properti yang lebih efisien, adil, dan stabil.
Penerapan LVT bukanlah hal yang mudah, namun dengan pendekatan yang tepat, sistem ini dapat diimplementasikan secara bertahap di Indonesia. Sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan krisis perumahan yang semakin mendalam, Indonesia perlu mencari solusi yang inovatif untuk mengatasi masalah ini. LVT menawarkan solusi yang dapat mengurangi ketimpangan sosial, meningkatkan pasokan rumah, dan menciptakan pasar properti yang lebih adil dan stabil. Dengan dukungan sistem yang kuat, kebijakan yang tepat, dan partisipasi masyarakat, LVT dapat menjadi langkah besar dalam mewujudkan perumahan yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, khususnya bagi generasi muda yang sedang berjuang untuk memiliki rumah.
ADVERTISEMENT