Konten dari Pengguna

Miskonsepsi Publik: PPN dan Pajak Restoran

Andina Tasya Anindita
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
5 Februari 2025 17:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andina Tasya Anindita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Setruk di atas menunjukkan adanya pengenaan "PB1" sebesar 10%, merujuk pada Pajak Restoran yang dikelola oleh Pemerintah Daerah setempat, berbeda dengan PPN yang dikelola oleh Pemerintah Pusat (Sumber: Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Setruk di atas menunjukkan adanya pengenaan "PB1" sebesar 10%, merujuk pada Pajak Restoran yang dikelola oleh Pemerintah Daerah setempat, berbeda dengan PPN yang dikelola oleh Pemerintah Pusat (Sumber: Penulis)
ADVERTISEMENT
Desember lalu, tagar #TolakKenaikanPPN12Persen ramai dipublikasikan di berbagai media sosial seperti X dan Instagram. Tidak hanya di media sosial, unjuk rasa juga dilakukan di kantor-kantor pemerintah di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini merupakan wujud reaksi masyarakat terhadap rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Tagar ini digunakan oleh berbagai kalangan untuk menyuarakan penolakan dan kekhawatiran mereka terkait dampak kenaikan tersebut. Salah satu kekhawatiran masyarakat adalah kenaikan harga barang dan jasa termasuk harga makanan yang disajikan di restoran.
ADVERTISEMENT
Kekeliruan mengenai pemahaman pajak restoran dan PPN sebetulnya bukan hal yang baru. Hal ini telah berlangsung sejak diundangkannya Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Salah satu penyebab timbulnya kesalahpahaman masyarakat mengenai pengenaan PPN atas penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman oleh restoran atau penyedia jasa boga atau katering adalah kesalahan penerapan istilah dalam setruk pembayaran. Hingga saat ini, masih sering kita jumpai adanya PPN dalam setruk pembelian makanan atau minuman di restoran. Padahal keduanya adalah jenis pajak yang berbeda. Pajak yang dicantumkan seharusnya adalah pajak restoran atau dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) dikenal sebagai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
ADVERTISEMENT
PBJT merupakan Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu yang meliputi makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, serta jasa kesenian dan hiburan. PBJT merupakan salah satu jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota dan daerah yang setingkat dengan daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, seperti DKI Jakarta. Tarif PBJT sendiri ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) melalui Peraturan Daerah (Perda) masing-masing kabupaten/kota. UU HKPD juga secara detail menjelaskan perbedaan restoran yang dikenakan PBJT dan restoran yang dikenakan PBJT. Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman oleh restoran yang menjadi objek PBJT harus memenuhi ketentuan berupa penyediaan layanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum. Sedangkan penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman oleh restoran yang tidak memenuhi ketentuan tersebut merupakan objek PPN.
ADVERTISEMENT
Dampak dari Miskonsepsi yang Timbul di Masyarakat
Lalu, bagaimana dampak dari kekeliruan pemahaman masyarakat mengenai PPN dan PBJT terhadap penerimaan pajak pusat maupun daerah? Kesalahpahaman yang berkembang di masyarakat menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat mengenai perbedaan pajak pusat dan pajak daerah. Rendahnya kesadaran wajib pajak mengarah pada rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak yang secara langsung berpengaruh terhadap rasio pajak baik pajak pusat maupun pajak daerah.
Lebih lanjut, kesalahpahaman pihak restoran dalam mengenakan jenis pajak dapat menimbulkan kekeliruan administratif dalam penyetoran maupun pelaporan pajak. PBJT yang seharusnya disetorkan ke kas daerah justru disetorkan ke kas pemerintah pusat sebagai PPN. Hal ini tentu sangat merugikan pemerintah daerah karena kehilangan potensi Penerimaan Asli Daerah (PAD). Begitu pula sebaliknya, restoran yang seharusnya menyetorkan PPN ke kas pemerintah pusat justru menyetorkannya ke kas daerah. Akibatnya, potensi penerimaan negara khususnya dari PPN berkurang. Selain itu, kesalahpahaman ini juga menimbulkan dampak yang dapat merugikan konsumen. Saat momen kenaikan tarif PPN 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 lalu, tidak sedikit restoran yang ikut menaikkan tarif pajak yang mereka pungut dari konsumen menjadi 11%. Hal ini bisa disebabkan oleh dua hal yaitu kesalahpahaman pihak restoran atau kesengajaan beberapa oknum untuk memanfaatkan momen kenaikan tarif PPN demi memperoleh keuntungan lebih banyak bagi dirinya sendiri. Padahal jumlah yang disetorkan ke kas daerah tetap senilai 10% dari total penjualan. Hal ini tentu saja merugikan masyarakat sebagai konsumen. Hal ini pula yang menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat ketika isu kenaikan PPN 12% masih hangat. Masyarakat masih beranggapan bahwa pajak atas pembelian makanan dan/atau minuman di restoran juga akan ikut naik.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kesalahpahaman pihak konsumen mengenai PPN dan PBJT dapat menimbulkan fenomena penurunan daya beli masyarakat. Ketika masyarakat beranggapan bahwa pembelian makanan dan/atau minuman di restoran akan dikenakan pajak sebesar 12% seiring dengan kenaikan tarif PPN, masyarakat akan mengurangi konsumsi makanan dan/atau minuman yang dijual di restoran. Lagi-lagi, pemerintah daerah kehilangan potensi PAD karena nilai penjualan restoran menurun.
Langkah Taktis sebagai Upaya Optimalisasi PBJT
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini? Tidak dapat dipungkiri bahwa solusi utama atas rendahnya pemahaman masyarakat mengenai pajak adalah edukasi. Pemerintah daerah perlu melakukan edukasi kepada dua pihak yaitu restoran sebagai pemungut pajak dan masyarakat sebagai pembayar pajak. Edukasi dapat dilakukan secara satu arah maupun dua arah. Metode edukasi satu arah dapat dilakukan melalui publikasi di media sosial resmi pemerintah daerah maupun melalui media cetak seperti poster, banner atau baliho. Masifnya penggunaan media sosial saat ini bisa menjadi media edukasi yang efektif. Metode ini telah dijalankan oleh akun-akun resmi media sosial pemerintah pusat seperti media sosial X dan Instagram Direktorat Jenderal Pajak (@DitjenPajakRI). Pemerintah daerah dapat meniru gaya publikasi DJP dalam membuat konten edukatif terkait pajak. Bahkan, sangat memungkinkan bagi pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan DJP dalam membuat konten edukasi mengenai perbedaan dan jenis pajak pusat dan pajak daerah. Kemudian, edukasi melalui media cetak dapat disebarkan atau diletakkan di titik-titik yang dapat dijangkau oleh masyarakat umum seperti di alun-alun atau di titik lampu lalu lintas yang ramai. Pemerintah daerah juga dapat bekerja sama dengan pihak restoran untuk memasang media cetak di lokasi usaha.
ADVERTISEMENT
Pemerintah daerah juga perlu melakukan edukasi dengan komunikasi dua arah kepada pihak restoran. Edukasi ini dapat dilakukan secara bertahap mulai berdasarkan restoran yang merupakan wajib pajak strategis atau berdasarkan wilayah dan jenis makanan dan/atau minuman yang dijual. Di sisi lain, komunikasi dua arah kepada masyarakat umum mungkin akan sangat sulit untuk dilakukan mengingat banyaknya jumlah penduduk tidak sebanding dengan anggaran dana dan tenaga penyuluh pajak yang ada di pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu membangun hubungan kerjasama yang baik dengan pihak restoran supaya pihak restoran secara sukarela bersedia untuk ikut mengedukasi masyarakat. Edukasi yang dapat dilakukan oleh pihak restoran dapat berupa penjelasan singkat oleh kasir atau pramusaji ketika konsumen melakukan pembayaran bahwa pembelian konsumen dikenakan pajak daerah atas PBJT atau pajak restoran sebesar 10%.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemerintah daerah perlu memaksimalkan kegiatan pengawasan dan penegakan regulasi kepada pihak restoran. Pertama, perlu adanya aturan baku yang mengikat mengenai penulisan jenis pungutan. Pemerintah daerah dapat menerbitkan aturan turunan yang mewajibkan penulisan pajak restoran dalam setruk pembelian menjadi PBJT sebagaimana diatur dalam UU HKPD. Hal ini bertujuan untuk menyeragamkan penggunaan istilah dan menghindari kesalahpahaman masyarakat. UU HKPD juga menjelaskan bahwa reklasifikasi lima jenis pajak berbasis konsumsi menjadi satu jenis pajak yaitu PBJT adalah untuk menyelaraskan objek pajak pusat dan daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak. Kedua, pemerintah daerah harus memastikan kebenaran penerapan tarif PBJT. Hal ini bertujuan untuk menghindari pengenaan tarif melebihi atau kurang dari ketentuan yang telah ditetapkan. Pelaporan PBJT harus dilengkapi dengan dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak sudah sesuai, misalnya dengan melampirkan sample salinan setruk pembelian. Pemerintah daerah juga dapat memanfaatkan sistem whistle blowing apabila masyarakat hendak melaporkan oknum restoran yang menetapkan tarif PBJT tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat menghilangkan kekeliruan yang berkembang di masyarakat mengenai pajak restoran dan PPN sehingga kepatuhan wajib pajak dapat meningkat dan PAD dapat dioptimalkan. Dengan demikian, kemandirian fiskal daerah yang sedang digencarkan oleh pemerintah perlahan dapat terus ditingkatkan.