Konten dari Pengguna

Mobilitas Terbatas di Kota Kecil: Ketika Transportasi Umum Tak Menyapa

Syafara Brilian Azzahro
Mahasiswa Universitas Jember
28 Mei 2025 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Mobilitas Terbatas di Kota Kecil: Ketika Transportasi Umum Tak Menyapa
Keterbatasan transportasi umum di Ngawi menghambat mobilitas sosial dan memperlebar kesenjangan akses antarwilayah.
Syafara Brilian Azzahro
Tulisan dari Syafara Brilian Azzahro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Transportasi umum merupakan elemen penting dalam mendukung mobilitas sosial masyarakat modern. Lebih dari sekadar alat perpindahan, transportasi publik membuka akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan dasar. Di kota-kota besar seperti Jakarta, sistem transportasi publik yang terintegrasi seperti TransJakarta dan angkutan kota memudahkan mobilitas warga sehari-hari. Namun, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, realitasnya berbeda. Transportasi umum dalam kota nyaris tidak tersedia, sehingga warga, khususnya yang tinggal di wilayah perdesaan, sangat bergantung pada kendaraan pribadi.
Suasana di dalam bus TransJakarta saat perjalanan malam hari. (Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di dalam bus TransJakarta saat perjalanan malam hari. (Dok. Pribadi)
Meski Ngawi memiliki Terminal Kertonegoro yang melayani rute antarkota dan antarkabupaten, layanan transportasi publik untuk mobilitas harian dalam kota maupun antar desa sangat terbatas, sehingga masyarakat harus bergantung pada kendaraan pribadi. Layanan ojek online (ojol) seperti Grab dan Gojek yang selama ini menjadi alternatif transportasi modern hanya tersedia di wilayah perkotaan dan belum menjangkau pedesaan. Kondisi ini jelas berbeda dengan Jakarta, di mana program seperti JakLingko telah mengintegrasikan berbagai moda transportasi untuk menjangkau hampir seluruh wilayah kota dengan tarif terjangkau (Dishub DKI Jakarta, 2023).
ADVERTISEMENT
Ketimpangan akses transportasi seperti ini berdampak signifikan pada mobilitas sosial masyarakat. Mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi menghadapi kesulitan untuk mengakses sekolah, kampus, tempat kerja, maupun layanan kesehatan. Sebagaimana dijelaskan Litman (2021), keterbatasan aksesibilitas transportasi publik secara langsung menghambat mobilitas sosial, terutama bagi kelompok rentan yang tidak mampu memiliki kendaraan pribadi. Hal ini berujung pada stagnasi ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.
Dari sisi keadilan sosial, kondisi ketimpangan ini menimbulkan persoalan serius yang perlu mendapat perhatian. Rawls (1971) menegaskan bahwa keadilan harus menjamin kesetaraan kesempatan bagi seluruh anggota masyarakat. Ketika infrastruktur transportasi hanya hadir di kota besar, sedangkan daerah kecil dan perdesaan tertinggal, maka terjadi pelanggaran terhadap prinsip ini. Kondisi ketidakmerataan ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama sila kedua yang mengedepankan kemanusiaan yang adil dan beradab, serta sila kelima tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, menurut Lucas (2012), fenomena “transport poverty” atau kemiskinan transportasi terjadi ketika individu atau komunitas tidak memiliki akses memadai terhadap moda transportasi layak. Di daerah seperti Ngawi, eksklusi transportasi ini bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga geografis dan infrastruktur yang belum memadai. Misalnya, jaringan internet dan infrastruktur jalan yang buruk menghambat perluasan layanan ojek online ke wilayah pedesaan. Dengan demikian, masyarakat desa terisolasi dan kesulitan berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan sosial dan ekonomi.
Kondisi jalan di wilayah pedesaan yang menanjak dan licin saat hujan menjadi tantangan bagi layanan transportasi online untuk beroperasi. Infrastruktur seperti ini memperkuat alasan mengapa layanan seperti Grab dan Gojek belum menjangkau banyak daerah terpencil. (Dok. pribadi)
Selain itu, sejumlah rumah tangga di pedesaan Ngawi belum memiliki kendaraan pribadi, mencerminkan kondisi di banyak wilayah rural Indonesia yang akses transportasi publiknya masih terbatas. Situasi ini menimbulkan tantangan dalam mobilitas dan akses ke berbagai kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Permasalahan ini tidak hanya soal transportasi, tetapi juga berkaitan dengan pembangunan infrastruktur yang tidak merata. Infrastruktur yang memadai telah lama diakui sebagai fondasi utama dalam meningkatkan aksesibilitas, konektivitas, dan kesejahteraan masyarakat, terutama di daerah pedesaan yang sering tertinggal dalam pembangunan.
Dalam konteks sosial, keterbatasan transportasi ini juga memperkuat kesenjangan sosial-ekonomi antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Putnam (2000) menunjukkan bahwa keterbatasan akses transportasi dapat mengikis modal sosial masyarakat desa, yang berdampak pada keterbatasan partisipasi mereka dalam jaringan sosial dan ekonomi lebih luas. Ini mengakibatkan terhambatnya pengembangan potensi lokal dan berkontribusi pada migrasi urban yang tidak terkendali.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan pendekatan multisektoral dan partisipatif. Pemerintah daerah perlu berkolaborasi dengan masyarakat lokal untuk merancang transportasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Program Buy The Service (BTS) yang sudah diterapkan di beberapa daerah bisa menjadi contoh keberhasilan dalam menjembatani akses transportasi bagi masyarakat pedesaan. Pendekatan ini melibatkan subsidi pemerintah kepada operator transportasi agar dapat menyediakan layanan dengan tarif terjangkau dan rute yang sesuai kebutuhan masyarakat (Kementerian Perhubungan RI, 2021).
ADVERTISEMENT
Selain itu, perlu dukungan inovasi teknologi yang disesuaikan dengan kondisi lokal. Misalnya, pengembangan aplikasi transportasi berbasis komunitas yang mengintegrasikan layanan ojol dan angkutan tradisional di desa bisa memperluas jangkauan transportasi modern. Di Kabupaten Ngawi, misalnya, telah hadir aplikasi lokal bernama AGP Food, yang menyediakan layanan pesan antar makanan, ojek online, pengiriman barang, dan belanja kebutuhan harian. Meskipun demikian, pemanfaatan aplikasi ini masih terbatas karena kurangnya popularitas dan belum meratanya akses infrastruktur digital.
Transformasi digital di daerah pedesaan juga memiliki potensi besar untuk membuka peluang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pemberdayaan komunitas. Penerapan teknologi informasi seperti aplikasi pemesanan transportasi, sistem informasi rute, dan pembayaran digital dapat meningkatkan aksesibilitas serta efisiensi mobilitas masyarakat desa.
ADVERTISEMENT
Namun, keberhasilan implementasi teknologi ini sangat bergantung pada kesesuaian inovasi dengan kondisi lokal serta tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunaan transportasi umum demi keberlanjutan lingkungan dan efisiensi sosial. Edukasi dan sosialisasi dari pemerintah serta dukungan aktif masyarakat menjadi kunci utama agar layanan transportasi publik dapat berkembang lebih baik dan berkelanjutan.
Yang tidak kalah penting adalah peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menggunakan transportasi umum demi keberlanjutan lingkungan dan efisiensi sosial. Kesadaran ini dapat ditumbuhkan melalui edukasi dan sosialisasi yang gencar oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Dengan partisipasi aktif masyarakat, layanan transportasi umum bisa berkembang lebih baik dan berkelanjutan.
Tantangan budaya juga perlu diperhatikan. Dalam masyarakat, status sosial ekonomi sering kali memengaruhi pilihan moda transportasi. Umumnya, individu dengan status ekonomi yang lebih tinggi cenderung memilih kendaraan pribadi karena dinilai lebih nyaman dan prestisius, sedangkan mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah lebih mengandalkan transportasi umum atau berjalan kaki karena pertimbangan biaya dan ketersediaan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, ketidakhadiran transportasi umum yang memadai di Ngawi mengungkapkan tantangan serius dalam mewujudkan keadilan sosial dan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk mengembangkan transportasi publik yang inklusif dan berkelanjutan, guna memastikan bahwa hak setiap warga untuk bergerak dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial dapat terpenuhi.