Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Komunisme, Demokrasi, dan Kapitalisme: Mana yang Benar Benar Membawa Kemajuan?
8 Mei 2025 13:37 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Yoel Edward Hasugian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Komunisme Demokrasi, Kapitalisme seringkali dielu-elukan sebagai solusi mutlak untuk kemajuan bangsa. Namun, benarkah?
ADVERTISEMENT
“The end justifies the means,” tulis Niccolo Machiavelli, menegaskan realita pahit politik bahwa hasil sering kali lebih diagungkan daripada cara yang digunakan untuk mencapainya. Di sisi lain, Jeremy Bentham, melalui prinsip utilitarianismenya, memberi dasar moral bagi setiap kebijakan dan hukum: “The greatest happiness of the greatest number is the foundation of morals and legislation.” Tapi lihatlah dunia hari ini. Negara yang katanya menjunjung demokrasi malah membiarkan kesenjangan menjerat rakyatnya. Negara yang mengaku sosialis justru menindas atas nama kesetaraan. Sementara ideologi kapitalisme, liberalisme, bahkan komunisme yang masing-masing diklaim sebagai kunci kemajuan tak selalu berhasil menjawab kebutuhan paling mendasar umat manusia, yaitu hidup yang layak dan bermartabat. George Orwell menelanjangi kenyataan ini dengan tajam: “Political language is designed to make lies sound truthful and murder respectable.” Kata-kata indah tentang kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan acapkali hanya menjadi jargon kosong yang mengaburkan realitas rakyat yang lapar, tak terdidik, dan tak berdaya. Maka pertanyaannya bukan lagi: ideologi mana yang terbaik, tetapi sejauh mana ideologi mampu dikonkretkan menjadi kebijakan yang berpihak pada manusia. Bukan untuk kejayaan partai. Bukan demi kesetiaan pada doktrin. Tapi demi keselamatan rakyat. Sebab sebagaimana adagium hukum tertua menyatakan salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
ADVERTISEMENT
Rakyat tak makan dari paham!
Di meja makan rakyat, tak pernah terhidang demokrasi, kapitalisme, apalagi sosialisme. Tak ada liberalisme yang bisa direbus, tak ada komunisme yang bisa digoreng dengan minyak yang makin mahal. Yang mereka cari hanyalah beras yang terjangkau, listrik yang menyala tanpa takut tagihan melambung, dan hukum yang berpihak pada kebenaran, bukan kekuasaan. Tapi hari ini, suara mereka nyaris tak terdengar, terbenam dalam riuh debat para elite tentang superioritas paham. Mereka, yang duduk di kursi empuk berpendingin udara, saling serang atas nama ideologi, sambil lupa bahwa di luar sana, rakyat bertahan hidup dengan sisa harapan.
Sementara para penguasa sibuk mengklaim siapa yang paling benar secara teori, jalan tetap berlubang, upah tetap stagnan, dan harga kebutuhan pokok makin tak masuk akal. Di desa-desa yang sunyi, anak-anak belajar dengan cahaya remang, bukan karena mereka tak cinta ilmu, tapi karena negara terlalu sibuk memikirkan hal-hal besar dan lupa pada hal-hal mendasar. Hukum? Masih tajam ke bawah, tumpul ke atas. Janji keadilan? Masih sebatas diksi kampanye.
ADVERTISEMENT
Maka pertanyaannya sederhana namun menusuk: untuk apa ideologi diagung-agungkan, jika perut tetap keroncongan dan keadilan cuma jadi wacana dan teori dalam buku-buku pelajaran? Untuk siapa paham itu dibela mati-matian, jika rakyat tetap hidup dalam ketidakpastian?
Ideologi sejatinya hanya alat, hanya kompas yang diciptakan manusia untuk menavigasi arah bangsa. Tapi di tangan elite, ia berubah jadi berhala. Disucikan, diperdebatkan, bahkan dipertaruhkan, seolah dialah penentu surga atau neraka sebuah negara. Padahal, sehebat apapun suatu paham, ia tak akan pernah menggantikan pentingnya nurani, keberanian, dan akal sehat dalam memerintah.
Kita terlalu sering menyaksikan sejarah dikotori oleh perang ideologi. Bangsa-bangsa hancur bukan karena kekurangan sumber daya, tapi karena pemimpinnya memaksa satu paham atas nama kebenaran mutlak. Di negeri ini pun, rakyat sudah terlalu kenyang dijejali jargon: “Kapitalis menjamin pembangunan!”, “Sosialis menjamin kesejahteraan!”, “Demokrasi menjamin kebebasan!”. Semua terdengar megah, tapi kosong di perut yang lapar dan hati yang kecewa.
ADVERTISEMENT
Celakanya, ideologi hari ini lebih sering dijadikan tameng untuk menutupi kegagalan kebijakan. Saat ekonomi lesu, salahkan sistem; saat hukum tumpul, salahkan oposisi; saat rakyat marah, tuduh mereka tak paham ideologi; saat masyarakat kecewa dengan kondisi negara, muncul narasi “saya malah meragukan nasionalisme anda” oleh pejabat publik. Padahal yang tak paham bukan rakyat, tapi mereka yang lupa bahwa ideologi bukan kitab suci. Ia bukan untuk disembah, tapi untuk diukur, dikritik, dan jika perlu ditinggalkan, demi rakyat yang lebih penting dari segala paham.
Satu ideologi, dua nasib.
Komunisme: Antara Tiongkok dan Korea Utara
Begitulah kenyataannya di dunia ini. Tidak ada satu pun paham yang menjamin kesuksesan tanpa pelaksanaan yang tepat. Komunisme yang digembar-gemborkan sebagai solusi rakyat miskin, misalnya, justru menjebak sebagian negara dalam keterpurukan dan isolasi. Sementara itu, reformasi pragmatis yang dilakukan Tiongkok di bawah Deng Xiaoping, dengan mengadaptasi kapitalisme dalam kerangka sosialisme, membawa negara itu menjadi kekuatan ekonomi dunia. Tiongkok tidak memaksakan ideologi secara dogmatis, namun menyesuaikan paham dengan kenyataan ekonomi dan kebutuhan rakyat. Hasilnya? Mereka menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia. Sebuah bukti bahwa ideologi bisa diterima secara realistis, jika tidak disembah sebagai kebenaran mutlak.
ADVERTISEMENT
Namun, di belahan dunia lain, kita melihat wajah lain dari ideologi yang sama. Korea Utara, yang terperangkap dalam doktrin komunisme dogmatis, terisolasi dari dunia dan jatuh dalam kemiskinan serta ketidakstabilan. Di bawah kekuasaan Kim Jong-un, negara ini memaksakan kontrol total terhadap rakyatnya, tanpa memberikan ruang untuk perbaikan ekonomi atau kebebasan individu. Hasilnya? Ekonomi stagnan, kemiskinan merajalela, dan rakyat hidup dalam bayang-bayang kediktatoran ideologis yang membelenggu. Ini adalah contoh bagaimana satu ideologi yang sama bisa menghasilkan dua nasib yang sangat berbeda, sukses di satu negara, kehancuran di negara lain, tergantung bagaimana ia diterapkan.
Sosialisme: Antara Swedia dan Venezuela
Contoh lain datang dari sosialisme. Swedia, dengan model sosial-demokrasi yang adaptif, membuktikan bahwa kesejahteraan rakyat dapat tercapai melalui pengelolaan sumber daya yang efisien dan pembagian yang adil. Melalui kebijakan pajak progresif, negara ini mampu menyediakan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan yang tinggi untuk warganya, sementara tetap mempertahankan daya saing global. Sebaliknya, Venezuela, yang juga mengadopsi sosialisme, terperosok dalam kehancuran ekonomi dan keruntuhan institusi karena kebijakan populis yang tidak berbasis data dan pengelolaan ekonomi yang buruk. Krisis ekonomi di Venezuela menjadi bukti jelas bahwa sebuah paham sosialisme yang diterapkan tanpa perhatian pada keberlanjutan ekonomi dan manajemen yang bijaksana, bisa berbalik menghancurkan negara itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Demokrasi: Antara Jerman, Haiti, dan Indonesia
Demokrasi, yang dianggap sebagai pilar utama kebebasan, juga menunjukkan dua wajah yang kontras. Di Jerman, demokrasi berjalan dengan stabil, inklusif, dan memperkuat hukum. Negara ini memiliki institusi yang kuat yang menjamin kesejahteraan rakyat dan stabilitas politik. Sebaliknya, Haiti, yang mengadopsi sistem demokrasi, gagal membangun institusi yang solid dan malah terperangkap dalam ketidakstabilan politik dan ekonomi. Demokrasi di Haiti menjadi formalitas tanpa substansi, dan rakyatnya terjebak dalam kemiskinan akibat ketidakmampuan negara dalam mengelola sistem politik yang ada.
Namun, tak hanya Haiti yang dapat dijadikan contoh buruk dari demokrasi. Indonesia, dengan sistem demokrasi yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade, masih belum berhasil mengatasi ketimpangan sosial dan kemiskinan yang mendalam. Yang selalu digaung gaungkan adalah pemlu yang 'katanya' bebas dan adil. 'Katakanlah' hal itu benar, masalah-masalah fundamental seperti korupsi yang merajalela, kemiskinan, serta ketidakmerataan pembangunan terus menghantui. Demokrasi di Indonesia tidak cukup untuk menanggulangi ketidakadilan yang terjadi. Partai politik yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, parpol, dan ketum parpol daripada konstituennya-rakyat, dan birokrasi yang kerap kali mengabaikan kesejahteraan rakyat, telah menciptakan jurang pemisah antara teori demokrasi dengan kenyataan hidup rakyat. Ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia mengusung demokrasi, implementasinya sering kali terhambat oleh elite yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Liberalisme: Antara Amerika Serikat dan Liberia
Liberalisme, yang sering dikaitkan dengan kebebasan ekonomi dan inovasi, memberikan dampak yang sangat berbeda tergantung pada konteks negara. Di Amerika Serikat, liberalisme membawa inovasi yang tak terhitung, kekuatan global, dan standar hidup yang tinggi. Namun, di Liberia, liberalisme diterapkan tanpa fondasi negara yang kuat, menghasilkan ketidakstabilan dan ketimpangan sosial yang ekstrem. Kebebasan pasar tanpa pengawasan yang memadai membawa eksploitasi dan keruntuhan institusi yang vital bagi kesejahteraan rakyat.
Kapitalisme: Antara Singapura dan Bangladesh
Begitu juga dengan kapitalisme. Singapura menunjukkan bagaimana kapitalisme negara yang terkontrol bisa sangat efisien dan berhasil membangun negara yang kuat, dengan kualitas hidup tinggi dan daya saing global yang luar biasa. Di sisi lain, Bangladesh, sebelum reformasi besar, mengalami eksploitasi pasar yang sangat besar, dengan sedikit perlindungan sosial bagi kelas pekerja dan kondisi kehidupan yang buruk bagi mayoritas rakyat. Kapitalisme tanpa pengaturan yang adil bisa menjadi pemicu ketimpangan sosial yang semakin melebar, memiskinkan sebagian besar rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Dari contoh-contoh ini, satu hal yang jelas adalah ideologi hanya berfungsi bila diterjemahkan dengan cermat dan bijaksana. Pelaksanaan yang buruk, ketidakmampuan institusi, atau bahkan kepentingan politik sempit dapat mengubah potensi sebuah ideologi menjadi bumerang. Jika satu paham bisa menciptakan dua realitas yang bertolak belakang, lalu apa arti kesetiaan pada nama ideologi? Karena ideologi, pada akhirnya, bukanlah kunci tunggal keberhasilan, melainkan cara kita mengelolanya yang menentukan nasib bangsa.
Ketika kita berbicara tentang ideologi, kita sering terjebak dalam perang kata dan klaim yang tak kunjung usai. Namun, ada satu ideologi yang membuktikan betapa fatalnya bila kita terlalu fanatik pada satu paham tanpa memperhitungkan akibatnya, fasisme. Fasisme, yang menjanjikan kekuatan dan persatuan, membawa Jerman Nazi ke puncak kejayaan dalam waktu singkat, namun dengan harga yang tak terbayangkan. Ratusan juta nyawa melayang dalam Perang Dunia II dan genosida yang membekas dalam sejarah. Nasionalisme buta, yang dibangun atas fondasi fasisme, menghancurkan bangsa itu sendiri. Apa gunanya 'kemajuan' jika yang kita capai hanya tumpukan mayat dan kehancuran dunia?
ADVERTISEMENT
Fasisme mengajarkan kita bahwa ideologi yang dihembuskan tanpa empati, tanpa ruang untuk keragaman dan keadilan, akan berakhir dengan bencana. Dalam klaim untuk 'kemajuan' dan 'kekuatan negara', ia melupakan esensi dasar dari sebuah negara yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan rakyat, bukan hanya ambisi besar yang mengorbankan jiwa manusia. Sebuah ideologi yang hanya mengedepankan kepentingan kelompok tanpa memperhatikan hak asasi manusia akan membawa kita ke jalan yang penuh penderitaan, bukan keadilan.
Di sisi lain, kita dapat menimbang pragmatisme yang diterapkan oleh Singapura. Negara ini tidak terikat pada satu ideologi dogmatis. Singapura memilih untuk mengutamakan hasil, bukan sekedar ideologi. Ia tidak terjebak dalam fanatisme yang hanya menambah perpecahan, melainkan memilih untuk menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan dan realitas sosial-ekonomi yang ada. Singapura sukses membangun negara yang kuat dan sejahtera, tanpa mengorbankan kebebasan rakyatnya atau mengabaikan kesejahteraan sosial. Negara ini menunjukkan bahwa ketika pragmatisme lebih diutamakan daripada kesetiaan buta terhadap ideologi tertentu, kemajuan dapat tercapai dengan lebih cepat dan lebih merata
ADVERTISEMENT
Namun, pertanyaannya tetap sama: mana yang lebih penting, nama paham, atau nyawa rakyat? Apakah kita akan terus menyembah ideologi sebagai kebenaran yang tak terbantahkan, ataukah kita akan memilih untuk melihat apa yang benar-benar terjadi di lapangan? Apa yang dapat mengangkat kualitas hidup rakyat, bukan hanya ego politik yang diwakili oleh satu paham? Fasisme, sosialisme ekstrem, maupun ideologi apapun yang tak memberi ruang untuk manusia sebagai subjek, hanya akan menjerumuskan bangsa pada kehancuran.
Ideologi boleh beda
Selama ini terlalu lama, kita lebih sibuk mempertahankan label ideologi daripada memastikan apakah ia bekerja. Negara ini terus memuja istilah besar. Demokrasi, nasionalisme, sosialisme. Seolah itu jaminan kemajuan. Padahal, paham apa pun tak akan berarti jika rakyat tetap miskin, anak putus sekolah, dan hukum tajam ke bawah. Di hadapan kelaparan dan ketimpangan, ideologi bukan jawaban final, melainkan alat yang harus diuji, apakah ia benar-benar membawa kesejahteraan?
ADVERTISEMENT
Negara yang berhasil bukanlah yang setia buta pada satu paham, tapi yang mampu menyesuaikannya dengan kebutuhan nyata. Lihatlah Tiongkok dan Vietnam, keduanya tetap menyebut diri sosialis, tapi tak ragu membuka pasar demi mengentaskan kemiskinan. Di sisi lain, negara seperti Venezuela runtuh karena terlalu dogmatis terhadap ideologi sambil mengabaikan tata kelola. Dunia telah menunjukkan fanatisme pada ideologi tak menjamin kemajuan, justru seringkali menjerumuskan.
Kuncinya bukan hanya pada arah, tapi pada kendaraan, yaitu kepemimpinan yang rasional, institusi yang kuat, dan kebijakan berbasis data. Kita butuh pemimpin yang tak silau oleh rating, tapi setia pada fakta. Negara tidak boleh hanya bergantung pada figur, karena tokoh bisa berlalu. Tapi sistem yang kokoh, birokrasi yang bersih, dan pengambilan keputusan yang transparan akan bertahan lintas rezim. Kebijakan publik yang lahir dari integritas akan jauh lebih berdampak daripada propaganda manis yang penuh simbolisme kosong.
ADVERTISEMENT
Kini saatnya kita berhenti bertanya "kita ini negara apa?" dan mulai bertanya "kita mau jadi negara seperti apa?". Harapan tidak terletak pada paham mana yang kita usung, melainkan pada seberapa besar keberanian kita untuk berubah, membenahi sistem, dan berpihak pada rakyat. Sebab tujuan akhir negara seharusnya satu: menghadirkan kehidupan yang layak, adil, dan bermartabat bagi semua.
Di tengah gemuruh wacana ideologi yang terus diperdagangkan, rakyat hanya bisa berdiri di pinggir panggung, menjadi penonton dalam lakon yang tak pernah mereka pilih. Saban tahun kita disuguhi retorika tentang arah bangsa, tentang kejayaan masa lalu, tentang ideologi warisan yang harus dilestarikan. Tapi di balik semua itu, satu pertanyaan sederhana yang menggantung adalah, untuk siapa semua ini sebenarnya? Untuk rakyat yang hidupnya semakin sulit, atau untuk elite yang menjadikannya alat legitimasi kekuasaan?
ADVERTISEMENT
Apakah ideologi kita sungguh bekerja untuk rakyat, atau justru menjadi panggung pertarungan antar elite yang saling menuding dan mengklaim kebenaran? Apakah kita sungguh sedang membangun masa depan, atau hanya menjaga kebanggaan masa lalu yang tak lagi relevan? Saat jalan-jalan berlubang, harga melambung, dan keadilan hanya milik yang punya kuasa, kita harus bertanya dengan getir, apakah ini negara, atau sekadar museum ideologi?
Kita terlalu lama memelihara simbol, sementara substansi diabaikan. Kita terlalu larut dalam nostalgia tentang "jati diri bangsa" "warisan leluhur", tapi enggan mengakui bahwa rakyat hari ini lapar, miskin, dan muak dengan teater politik. Ironisnya, semakin banyak jargon dibunyikan, semakin sedikit keadilan yang dirasakan. Jika ideologi tak lagi bisa menjawab kebutuhan zaman, mengapa kita masih setia padanya seolah ia sakral dan tak boleh digugat?
ADVERTISEMENT
Mungkin sudah waktunya kita berhenti mengagungkan paham, dan mulai menagih tanggung jawab. Sebab ideologi tak pernah salah, yang salah adalah ketika ia dijadikan tameng untuk menunda perubahan, menolak kritik, dan membungkam suara rakyat. Maka jika ideologi masih ingin hidup, biarlah ia hidup untuk satu hal. Kesejahteraan rakyat. Jika tidak, biarkan ia mati dan digantikan oleh sesuatu yang lebih jujur, lebih adil, dan lebih nyata.
Ideologi, sejatinya, bukanlah musuh. Ia lahir dari semangat zaman, dari pergulatan manusia memahami dunia dan mencari jalan terbaik untuk hidup bersama. Tapi ideologi bukanlah kitab suci. Ia tak kebal dari kritik, tak suci dari revisi. Kita tak bisa terus memeluknya dengan fanatisme buta, seolah dunia tak berubah dan rakyat tak menderita.
ADVERTISEMENT
Di tengah kompleksitas zaman, kita butuh lebih dari sekadar kompas. Kita butuh peta yang terus diperbarui oleh data dan kenyataan di lapangan. Kita butuh kendaraan negara yang layak jalan dengan institusi yang bersih, kebijakan yang efektif, dan pemimpin yang mengerti kapan harus tancap gas, kapan harus ngerem, dan kapan harus belok. Dan yang terpenting, kita butuh arah yang jelas, bukan demi ideologi itu sendiri, tapi demi kehidupan yang lebih layak bagi semua warga.
Karena pada akhirnya, tak penting kita ini “negara apa” dalam terminologi ideologis. Yang lebih penting adalah "kita mau jadi negara seperti apa?" Negara yang membanggakan simbol dan jargon, atau negara yang benar-benar bekerja, membangun sekolah, memperbaiki rumah sakit, menurunkan harga kebutuhan pokok, dan menegakkan keadilan untuk semua?
ADVERTISEMENT
Seperti adagium tua yang seharusnya terus jadi kompas moral pemimpin mana pun: Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Dan jika suatu ideologi tak lagi bisa menyelamatkan mereka, maka ia tak layak diagungkan. Ia harus ditinggalkan, atau diperbaiki.
Salus Populi Suprema Lex Exto!!!