Konten dari Pengguna

Tawuran dan Peluru: Ketegasan dan Keadilan

Yoel Edward Hasugian
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
9 Mei 2025 13:35 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yoel Edward Hasugian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Antara Tegas dan Nyawa. Sumber: Canva Design
zoom-in-whitePerbesar
Antara Tegas dan Nyawa. Sumber: Canva Design
ADVERTISEMENT
“Fiat Justitia Ruat Caelum.”
Hendaklah keadilan ditegakkan, sekalipun langit runtuh. Tetapi apa jadinya bila langit yang runtuh itu justru disebabkan oleh cara negara menegakkan keadilan? Bila kekuasaan bersenjata mulai menggantikan hukum yang seharusnya mengatur setiap nyawa?
ADVERTISEMENT
Belawan, pesisir utara Medan, tidak pernah benar-benar tidur. Ketika malam datang, yang terdengar bukan lagi suara ombak atau kidung malam hari, melainkan deru sepeda motor tanpa pelat, teriakan antar-kelompok, dan denting logam saling beradu dalam benturan yang terus berulang. Tawuran bukan lagi kenakalan remaja, tapi telah menjelma menjadi ekosistem kekerasan yang hidup, terorganisir, dan kadang dibiarkan. Di kota ini, masyarakat hidup dengan ketakutan yang tidak bisa dihapus oleh sekadar himbauan moral atau jargon keamanan.
Dalam keadaan itulah, suatu malam yang mencekam berubah jadi titik balik. Seorang aparat, dalam patroli malamnya, melepaskan tembakan yang menewaskan seorang remaja 15 tahun yang diduga pelaku tawuran. Tidak ada proses pengadilan, tidak ada ruang pembelaan. Hanya satu letusan dan satu tubuh yang rebah tanpa perlawanan. Publik tersentak. Sebagian menjerit: ini pelanggaran HAM, ini pembunuhan di luar hukum, ini bentuk impunitas yang mengkhianati konstitusi. Tapi sebagian lain justru berbisik: mungkin inilah satu-satunya cara untuk membuat para pelaku takut, untuk menyelamatkan ribuan warga tak bersalah yang setiap malam cemas dengan nasib anak dan rumahnya.
ADVERTISEMENT
Lalu, kita sampai pada pertanyaan yang tidak nyaman. Apakah negara boleh membalas kekerasan warganya dengan kekerasan yang lebih mematikan? Apakah ketertiban publik dapat ditebus dengan satu nyawa yang "diduga" bersalah? Ataukah kita sedang menyaksikan negara perlahan berubah wujud dari penjamin hukum menjadi eksekutor moral, yang menilai mana hidup yang layak dipertahankan dan mana yang boleh dihapus tanpa proses?
Tulisan ini tidak akan menyodorkan jawaban yang sederhana. Sebaliknya, ia akan mengurai simpul kompleks dari tragedi itu: sisi kontra, yang menganggap peristiwa ini sebagai bentuk pembiaran terhadap extrajudicial killing dan pergeseran negara hukum menuju negara kekuasaan; serta sisi pro, yang melihatnya sebagai manifestasi terakhir dari kewajiban negara melindungi rakyat dari kejahatan jalanan yang tak kunjung padam. Pada akhirnya, kita akan menguji: masihkah hukum menjadi jangkar, atau justru kini mulai tenggelam oleh narasi “ketegasan” yang tak kenal batas?
ADVERTISEMENT

Negara Tak Boleh Mati Rasa di Tangan Kekuasaan

Negara dan Nyawa

Dalam teori negara klasik, negara didirikan bukan semata untuk mengatur, tetapi untuk menahan diri dari watak kekuasaan yang membabi buta. Ia adalah entitas etis, bukan alat kekuasaan yang bekerja atas dasar impuls. Karena itulah, bahkan terhadap warganya yang paling “berdosa”, negara tidak diberi hak untuk berlaku brutal. Ketika negara menanggapi kekerasan dengan kekerasan yang lebih mematikan tanpa proses hukum, tanpa peradilan, tanpa kesempatan untuk pembelaan, ia telah melintasi batas moral yang paling mendasar: bahwa kekuasaan negara dibatasi oleh kemanusiaan.
Hak hidup bukan sekadar norma hukum; ia adalah filsafat keberadaan. Dalam arsitektur moral konstitusi, hak ini ditempatkan sebagai lex suprema, hukum tertinggi yang tidak bisa direduksi, dikurangi, apalagi dicabut hanya karena seseorang “diduga” melakukan pelanggaran. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 jelas menyatakan hak hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Bahkan dalam situasi darurat, nyawa tetap tidak boleh ditukar dengan retorika “keamanan”.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan yang tanpa batas, pada akhirnya, akan menjadi banal. Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem, melalui konsep banality of evil ia menunjukkan bagaimana kekuasaan birokratis yang dijalankan tanpa refleksi moral dapat melahirkan kekejaman yang tak terbayangkan. Ketika aparat negara mulai merasa sah untuk memutuskan siapa yang boleh hidup dan siapa yang boleh mati di jalanan yang gelap, maka negara sudah berada di jalur bahaya. Yakni banalitas kekerasan yang dibungkus sebagai tindakan hukum. Di titik inilah, garis antara penegakan hukum dan pelanggaran hak asasi menjadi kabur, dan masyarakat mulai hidup dalam ketakutan yang berasal bukan dari preman, tetapi dari pelindung resminya.
Mahfud MD dalam diskursusnya soal kekuasaan negara menegaskan bahwa negara hukum tidak boleh berubah menjadi negara kekuasaan. Ketika hukum digunakan sebagai kedok untuk menjustifikasi tindakan instan, maka hukum itu sendiri telah dikhianati. Ia menjadi kosmetik yang menutupi luka, bukan instrumen penyembuh keadilan.
ADVERTISEMENT
Dari sudut ini, tindakan aparat yang menembak mati seorang pelaku tawuran tanpa peringatan dan proses hukum yang sah tidak bisa tidak dianggap sebagai extrajudicial killing. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum formal, tapi juga pengkhianatan terhadap filsafat dasar negara hukum, bahwa hukum adalah batas dari kekuasaan, bukan justifikasi atas pelampauannya.
Kita tidak bisa memilih diam hanya karena korban adalah “anak jalanan”, pelaku “kriminal”, atau bagian dari kelompok yang dianggap “perusuh”. Hukum yang baik justru diuji dari caranya memperlakukan yang paling lemah, yang paling dibenci, dan yang paling bersalah. Jika terhadap mereka negara berlaku brutal, maka sesungguhnya tidak ada jaminan negara tak akan berlaku sama terhadap siapa pun.

Negara Hukum atau Negara Peluru?

Negara kita, setidaknya secara konstitusional bukanlah negara kekuasaan (machtstaat), melainkan negara hukum (rechtstaat). Dalam negara hukum, tidak ada satu pun entitas, bahkan aparat bersenjata sekalipun, yang boleh bertindak di luar kerangka prosedur hukum yang sah. Prinsip ini bukan sekadar formalitas legal, tapi adalah pondasi dari keadilan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya, segala tindakan negara, termasuk aparatnya, harus tunduk pada prinsip due process of law. Ini adalah prinsip universal yang juga termuat dalam KUHAP, yang mewajibkan setiap individu, betapapun jahat perbuatannya, untuk diadili secara sah, adil, dan terbuka. Tidak ada satu pun pasal yang memberi legitimasi pada eksekusi jalanan.
Penembakan terhadap seseorang yang belum pernah diadili dan belum dijatuhi vonis, sebagaimana yang terjadi baru-baru ini dalam kasus seorang pemuda yang dituduh ikut tawuran, bisa dikategorikan sebagai extrajudicial killing (pembunuhan di luar proses hukum). Ini bukan tuduhan sembarangan, ini adalah istilah hukum internasional yang menandai kegagalan negara melindungi hak warganya, khususnya hak hidup yang dijamin oleh Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, hukum internasional dan prinsip-prinsip hak asasi manusia mengatur penggunaan kekuatan mematikan secara ketat berdasarkan dua kriteria: necessity (keharusan) dan proportionality (kesebandingan). Artinya, kekuatan yang mematikan hanya bisa digunakan jika benar-benar tak ada alternatif lain dan ancaman terhadap aparat atau publik sudah berada pada level yang tak tertanggulangi.
Dalam sejumlah pernyataan yang beredar, organisasi bantuan hukum menyuarakan bahwa tindakan ini adalah penyalahgunaan kewenangan. Bukan hanya karena tidak proporsional, tetapi juga karena menyalahi mandat hukum yang seharusnya menjadi batas, bukan pembebas kekuasaan. Ketika aparat diberi ruang untuk mengeksekusi atas dasar “situasi mendesak” tanpa mekanisme kontrol, maka kita sedang menormalisasi impunitas: kekuasaan tanpa pertanggungjawaban.
Jika hukum bisa dilangkahi dengan alasan menjaga ketertiban, maka hukum itu tidak lagi melindungi warga, melainkan menakut-nakuti mereka. Kita harus bertanya dengan jujur: hari ini mungkin yang tertembak adalah pelaku tawuran. Tapi besok siapa yang tahu? bisa jadi mahasiswa yang berdemo, buruh yang mogok kerja, atau siapa saja yang dianggap mengganggu “ketertiban” versi penguasa.
ADVERTISEMENT

Spiral Ketidakpercayaan

Di masyarakat yang terfragmentasi oleh kemiskinan, stigma, dan keterbatasan akses terhadap keadilan, setiap letusan senjata dari aparat bukan hanya menyasar individu, tetapi menyentak rasa aman sosial yang rapuh. Peristiwa penembakan seorang remaja pelaku tawuran, meski dalam konteks pembelaan diri aparat, tidak bisa dilepaskan dari respons sosial yang lebih luas, terutama di kalangan masyarakat urban-miskin yang selama ini hidup berdampingan (kadang dalam ketegangan) dengan struktur kekuasaan bersenjata.
Jika tindakan semacam itu dianggap "sah secara sosial" semata-mata karena pelaku memang "nakal", maka kita sedang menarik garis halus yang berbahaya: batas antara hukum dan kekuasaan menjadi kabur, dan rasa keadilan tak lagi berpijak pada proses, melainkan pada hasil yang cepat dan menenangkan emosi massa. Padahal, negara tidak boleh dikendalikan oleh amarah publik, sebagaimana keadilan tidak boleh ditentukan oleh persepsi mayoritas.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber, negara merupakan entitas yang berhasil mengklaim monopoli atas penggunaan kekerasan yang sah dalam wilayah tertentu. Tetapi monopoli itu hanya sah selama masyarakat masih percaya bahwa kekerasan tersebut dijalankan untuk melindungi, bukan menaklukkan. Ketika kekerasan aparat mulai tampil sebagai intimidasi, bukan perlindungan, kepercayaan sosial mulai runtuh. Dan kehancuran kepercayaan jauh lebih sulit dipulihkan daripada luka fisik.
Di kawasan-kawasan pesisir dan permukiman padat seperti lokasi peristiwa ini, anak-anak muda tumbuh dalam realitas keras: ekonomi terbatas, pendidikan minim, dan rasa keberhargaan diri yang rapuh. Ketika aparat datang bukan sebagai figur pengayom, tetapi sebagai pemegang senjata yang bisa menembak mati di tengah jalan, apa yang mereka pelajari tentang hukum dan keadilan? Yang terbentuk justru generasi yang melihat kekerasan sebagai bahasa kekuasaan. Hukum tak lagi menjadi sistem yang melindungi, tetapi semacam tembok yang memisahkan: antara yang berhak hidup dan yang pantas dibungkam.
ADVERTISEMENT
Risiko jangka panjang dari peristiwa semacam ini tidak bisa diremehkan. Alienasi sosial meningkat, dan yang lebih fatal, kekerasan dilegitimasi secara kultural. Ketika kekerasan dibalas kekerasan, maka spiralnya tak akan berhenti. Besok mungkin bukan lagi aparat yang melepaskan tembakan, tapi warga yang merasa boleh main hakim sendiri, dengan keyakinan bahwa sistem telah gagal melindungi mereka.
Jika hukum mulai dikaburkan oleh rasa puas karena satu "pelaku kejahatan" tumbang, maka sesungguhnya kita telah kehilangan satu hal paling dasar dalam masyarakat yang beradab: bahwa nyawa, siapa pun pemiliknya, tak boleh ditentukan oleh siapa yang lebih cepat menembak.

Ketika Ketertiban Tak Lagi Bisa Ditawar

Ketegasan yang Diinginkan Rakyat

Namun, kita juga harus realistis. Ada saatnya idealisme hukum harus bertemu dengan kegentingan sosial di lapangan. Tawuran jalanan yang selama ini diberi label ringan sebagai “kenakalan remaja” sesungguhnya telah menjelma menjadi patologi sosial kolektif, sebuah penyakit masyarakat yang tak lagi bisa disembuhkan dengan pendekatan normatif semata. Di titik-titik rawan kota, terutama wilayah pesisir dan kawasan padat yang termarjinalkan, konvoi bersenjata tajam, teriakan perang antarkelompok, serta luka sayat di tubuh warga sipil bukan lagi cerita musiman. Itu adalah teror harian.
ADVERTISEMENT
Yang luput dari argumen kontra adalah suara masyarakat yang selama ini hidup dalam ketakutan. Mereka yang setiap malam menggembok pintu dua kali lipat. Mereka yang tak berani melewati gang tertentu saat malam menjelang. Mereka yang kehilangan anak, suami, atau saudara karena sabetan senjata tajam dari “anak-anak nakal” yang terus tumbuh dengan impunitas. Lalu, ketika negara hadir secara cepat dan tegas mengintervensi sebelum warga kembali jadi korban, mengapa kehadiran itu justru dikutuk?
Mereka yang mengangkat bendera HAM dengan lantang terkadang melupakan bahwa rasa aman bagi orang lain adalah hak asasi juga. Sosiologi mengajarkan bahwa hukum bukan hanya menjawab pelanggaran, tapi juga menstabilkan struktur sosial. Dalam konteks masyarakat yang sudah terlalu lama dicekam oleh kekerasan horizontal, pendekatan yang kaku dan prosedural justru memelihara frustrasi. Di mata sebagian warga, penegakan hukum yang terlalu “prosesual” justru tampak seperti ketidakmampuan negara untuk bertindak.
ADVERTISEMENT
Apakah tindakan aparat itu ideal dalam semua dimensi? Tentu tidak. Tetapi menuntut kesempurnaan prosedur dalam situasi kekacauan brutal adalah kemewahan yang kadang tidak dimiliki di lapangan. Apalagi jika dalam kronologi yang saat ini terkonfirmasi, aparat telah memberi tiga kali tembakan peringatan dan justru tetap diserang oleh pelaku. Lalu apa yang harus dilakukan negara? Menunggu korban berikutnya?
Di sinilah perbedaan tafsir muncul: sebagian memandang tindakan tegas sebagai bentuk kekerasan, sementara sebagian lain melihatnya sebagai peringatan keras bahwa hukum masih hidup. Bahwa negara belum sepenuhnya mati rasa terhadap jeritan warga yang tak tahan lagi hidup dalam suasana perang sipil yang tak diberi nama.
Tentu saja, tindakan keras selalu menyisakan pertanyaan. Tapi dalam ruang sosial yang sudah terlalu bising oleh derak senjata tajam dan raungan ambulans, ada saatnya ketegasan bukan sekadar pembalasan, tetapi terapi. Ketika kekerasan merajalela, dan hukum dianggap lemah, maka tindakan yang membalik peta ketakutan bisa menjadi pemulihan legitimasi.
ADVERTISEMENT
Jangan lupa, masyarakat juga punya batas sabar. Dan ketika warga mulai berpikir untuk bertindak sendiri karena negara terlalu lamban, maka tindakan cepat aparat sekalipun kontroversial, bisa menjadi penahan terakhir agar kita tidak runtuh ke dalam hukum rimba yang sesungguhnya.

Ketegasan dalam Koridor Hukum

Negara hukum tidak memberi ruang bagi kekerasan yang sewenang-wenang. Namun, ia juga tak bisa mengabaikan hak aparat untuk melindungi diri saat ancaman nyata membayang. Dalam koridor hukum positif, tindakan aparat, bahkan yang paling drastis sekalipun, harus dibaca melalui bingkai legalitas, nesesitas (keharusan), proporsionalitas, dan akuntabilitas, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Aturan ini tegas: penggunaan kekuatan mematikan hanya diperbolehkan saat terdapat ancaman nyata terhadap nyawa, dan semua upaya non-mematikan telah gagal. Dalam peristiwa yang baru-baru ini terjadi, aparat diketahui telah memberikan tiga kali tembakan peringatan. Namun, ketika pelaku tetap melakukan penyerangan menggunakan senjata tajam, hukum memandang situasi tersebut sebagai resiko yang mengancam keselamatan jiwa aparat dan, sangat mungkin, masyarakat di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Dalam kerangka ini, tindakan aparat bukan bentuk “penghukuman di tempat,” melainkan respon yang secara hukum dapat dibenarkan. Bukan tindakan impulsif, melainkan bentuk penggunaan kekuatan yang telah melewati batas-batas prosedural awal dan bersandar pada prinsip kehati-hatian.
KUHP juga mengatur pembelaan terpaksa (noodweer) dalam Pasal 48, yang membenarkan tindakan seseorang saat menghadapi serangan yang mengancam nyawa. Bahkan, bila pembelaan itu dilakukan dalam keadaan psikis yang terguncang hebat, Pasal 49 (2) memungkinkan pertimbangan noodweer excess, ketika tekanan situasi membuat seseorang bertindak di luar kendali, namun tetap dalam batas-batas pembelaan diri.
Jika tindakan tersebut tidak dilakukan, bisa jadi akan ada korban tambahan dari pihak aparat atau warga sipil. Dalam kerangka ini, aparat bukan sekadar penegak hukum, tetapi juga penjaga keberlangsungan tatanan sosial dalam situasi krisis. Menyalahkan tindakan tersebut secara mutlak tanpa memahami kondisi faktual di lapangan justru bisa membunuh nalar hukum itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kita tidak sedang melegitimasi peluru sebagai solusi. Tapi hukum tidak pernah membatasi dirinya hanya pada prosedur; ia juga mengenali keadaan memaksa (overmacht), ketika hidup dan mati hanya berjarak milidetik. Dalam konteks itu, tindakan tersebut dapat dibaca sebagai reaksi proporsional dari sistem hukum terhadap kekacauan yang menolak tunduk.
Karena pada akhirnya, hukum bukan hanya soal prosedur yang tertulis di atas kertas, tapi juga bagaimana negara mempertahankan kewibawaannya tanpa kehilangan akal sehat dan keberpihakan terhadap hidup

Ketika Satu Peluru Mencegah Seribu Kekacauan

Dalam setiap masyarakat yang disusun berdasarkan hukum, ada saat-saat luar biasa di mana dilema moral terbesar bukan terletak pada apa yang dilakukan negara, tetapi pada apa yang dibiarkannya terjadi. Ketika seorang aparat memutuskan menarik pelatuk, ia tidak hanya mengambil risiko hukum, ia juga menanggung beban moral yang berat: apakah yang dilakukannya menyelamatkan lebih banyak nyawa, atau justru menyeretnya dalam lingkaran kejahatan?
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan utilitarianisme, sebagaimana dikemukakan John Stuart Mill, moralitas sebuah tindakan dinilai dari seberapa besar manfaat yang dihasilkan bagi sebanyak mungkin orang. Maka, bila satu tindakan yang keras dapat mencegah korban yang lebih besar, menahan teror yang menyebar, dan menegakkan rasa aman di tengah publik yang dicekam ketakutan, tidakkah itu justru menjadi tindakan yang paling etis dalam kondisi ekstrem?
Para pengkritik mungkin berdiri pada dalil moral bahwa negara tidak boleh membalas kekerasan dengan kekerasan. Namun mereka melupakan satu hal penting: ketika hukum kehilangan wujudnya di jalanan, maka negara harus hadir dengan bentuk ketegasan yang nyata. Hak hidup bukan hanya milik pelaku kekerasan. Ia juga milik masyarakat yang setiap malam mengunci pagar rumahnya lebih awal, yang tak berani membiarkan anak-anak remajanya keluar saat malam, karena takut menjadi korban berikutnya dari kekacauan yang terus dibiarkan.
ADVERTISEMENT
Memang benar, negara idealnya tidak boleh mereproduksi kekerasan. Tapi apa makna etika bila ia membuat aparat tak berdaya di hadapan ancaman yang brutal? Ketika pelaku menyerang dengan senjata tajam setelah diberi peringatan berkali-kali, dan ketika publik berada di ambang kehilangan harapan pada hukum yang terlalu panjang jalurnya, tindakan tegas bisa menjadi satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh kekacauan.
Negara bukan sekadar entitas hukum yang membacakan pasal. Ia juga pelindung yang harus bertindak cepat sebelum nyawa hilang sia-sia. Dalam situasi seperti itu, diamnya negara atau sikap menundanya justru bisa menjadi kekeliruan moral yang lebih berat. Karena ada titik di mana membiarkan kekerasan terjadi, demi menjaga "kemurnian prosedur", justru menciptakan kejahatan yang lebih luas, kejahatan terhadap rasa aman publik.
ADVERTISEMENT
Filsafat tidak boleh buta terhadap realitas. Ketika situasi mendesak menuntut respons tegas, maka tidak semua tindakan keras adalah bentuk kediktatoran. Kadang, ia adalah cerminan terakhir dari keberanian moral negara untuk berdiri di garis depan melawan kekacauan, dan menyelamatkan lebih banyak kehidupan yang tidak bersalah.

Negara Tak Boleh Kehilangan Hati. Menimbang Tegas Tanpa Harus Menindas

Hukum tidak pernah dimaksudkan untuk membuat negara lumpuh. Namun ia juga tidak pernah dirancang untuk menjadi peluru yang dilegalkan. Di antara dua kutub ini, kita berdiri: satu kaki di realitas jalanan yang brutal, kaki lain di atas fondasi konstitusi yang luhur. Maka, ketegasan tidak boleh menjadi dalih untuk membunuh tanpa proses, tapi hukum pun tidak boleh menjadi alasan untuk membiarkan kekacauan berlangsung terus menerus.
Polisi dihadapkan pada dilema eksistensial: ketika tindakan lamban dianggap lemah, dan tindakan cepat dikutuk sewenang-wenang. Di titik inilah negara sering kali tersesat, mendambakan ketertiban, namun tersandung oleh ketidakjelasan batas kekuasaannya sendiri. Di kawasan urban yang rawan, publik tidak lagi menunggu prosedur; mereka mendambakan perlindungan yang terasa, sekarang juga.
ADVERTISEMENT
Namun dalam pelarian mengejar ketertiban, kita jangan sampai kehilangan prinsip. Karena jika hukum dipaksa tunduk pada rasa takut, maka apa bedanya kita dengan kerumunan yang kita sebut ‘massa’?
Kita bisa menulis ribuan pasal. Kita bisa mendirikan institusi, membangun kantor megah, bahkan memproduksi narasi keamanan yang agung. Tapi pada akhirnya, negara akan dihakimi bukan dari seberapa kuat tangannya, melainkan seberapa halus ia menahan amarahnya ketika digoda oleh kekuasaan.
Negara harus tegas, tetapi juga adil. Ia harus kuat, tetapi tidak brutal. Karena jika tidak, maka luka dari satu tembakan tidak hanya merobek tubuh korban.Ia akan menembus ke jantung konstitusi kita, dan membuat publik bertanya: siapa yang sebenarnya harus mereka takuti? Penjahat, atau penegak hukum?
ADVERTISEMENT
Dan di situlah kehancuran dimulai. Bukan dari suara peluru, tapi dari hancurnya kepercayaan rakyat kepada hukum yang seharusnya melindungi mereka.