Konten dari Pengguna

Nyanyian Hutan yang Memudar, Elegi untuk Puspa dan Satwa yang Terpinggirkan

I Kadek Veri Sudiartana
Seorang Mahasiswa Aktif Jurusan Ekonomi dan Akuntansi di Universitas Pendidikan Ganesha
28 Desember 2024 18:50 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Kadek Veri Sudiartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia, negeri yang terhampar indah dari Sabang hingga Merauke, bagaikan surga bagi keberagaman hayati. Hutan tropis yang menari-nari di bawah guyuran hujan, padang rumput yang berdesir oleh angin, hingga laut yang memeluk pulau-pulau dengan riak lembutnya, semuanya menyatu dalam simfoni kehidupan. Indonesia, negeri yang dijuluki sebagai kawasan megabiodiversitas, namun, di balik semua keindahan itu, ada sesuatu yang mendalam dan memilukan: ancaman terhadap kehidupan yang begitu rapuh, yang pernah begitu subur, kini semakin tergerus. Prof. Satyawan Pudyatmoko, dengan suara yang penuh kecemasan, mengingatkan kita bahwa tangan manusia telah menggores luka mendalam pada jantung alam, merobek-robek keindahan yang seharusnya kita pelihara. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, penebangan liar, dan perburuan yang tak kenal ampun telah meruntuhkan keseimbangan yang pernah menyatu dalam harmoni, sementara iklim pun semakin tak terkendali, seolah berteriak dalam diam. Spesies-spesies yang pernah menari bebas di tanah air ini kini terancam punah, menyisakan jejak-jejak kesedihan yang kita abaikan. Dalam kekosongan ini, kita berada di ambang pilihan: terus melangkah dengan mata tertutup atau membuka hati untuk mendengar jeritan bumi yang merindukan sentuhan kasih sayang kita. Sudahkah kita sadar bahwa alam yang kita rusak ini tak akan kembali seperti semula, kecuali jika kita, yang telah menodainya, juga memiliki kekuatan untuk merawatnya kembali? Puspa dan satwa Indonesia yang menjadi kebanggaan dunia kini berjuang dalam sunyi, menghadapi sebuah kenyataan pahit yang semakin mendekat.
Gambar Orangutan Borneo (sumber: https://pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar Orangutan Borneo (sumber: https://pixabay.com)
Saat sinar mentari pertama menyentuh ujung Hutan Borneo, di sanalah orangutan-orangutan yang memesona mengayunkan tubuh mereka dari pohon ke pohon. Populasi orangutan kini yang hanya mencapai kurang lebih 104.700, telah mengalami penurunan mencapai 55,1%. Namun, hutan yang dulu menjadi rumah mereka kian meredup, tergerus oleh gergaji tajam dan api yang melahap tanpa ampun. Pohon-pohon yang dulunya tinggi dan lebat, kini hanya tinggal kenangan. Orangutan Borneo, si "manusia hutan," yang pernah bebas bercengkerama dengan alam, kini terjepit oleh dinding-dinding kebisingan perkotaan dan perambahan liar. Tak ada lagi ranting tempat mereka berteduh, tak ada lagi suara hutan yang bersahut-sahutan. Hanya ada kesunyian yang menunggu.
ADVERTISEMENT
Pemandangan yang tak jauh berbeda menyelimuti Pulau Sumatera. Di balik lebatnya rimbun hutan, Harimau Sumatera yang gagah berani kini berjuang keras untuk bertahan hidup. Dengan jejak langkah yang semakin jarang, harimau-harimau ini bergerak hati-hati, menyusuri jalan-jalan yang kian sempit. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, hanya tersisa 603 ekor Harimau Sumatera yang masih bertahan di alam liar, sebuah angka yang semakin menipis, seperti kisah yang
hampir terlupakan oleh zaman. Hutan-hutan tempat mereka berburu kini hilang begitu saja, digantikan oleh ladang sawit yang tak pernah merasa cukup. Ada ironi yang teramat dalam: satwa yang dulu menjadi simbol kekuatan ini kini terancam punah. Begitu banyak nyawa yang berjuang, namun tak ada yang mendengar.
ADVERTISEMENT
Jauh di ujung barat Pulau Jawa, terdapat cerita yang tak kalah memilukan. Badak Jawa, dengan tubuhnya yang kekar dan perlahan bergerak, kini menjadi salah satu spesies yang nyaris tak terjangkau tangan waktu. Hanya tinggal sedikit yang tersisa, yakni 81 ekor, pohon-pohon tempat mereka berlindung telah hilang, dan dengan setiap langkah, mereka semakin terjepit oleh kenyataan yang tak terhindarkan. Keberadaan mereka yang semakin langka menjadi simbol betapa rentannya kehidupan di bumi ini. Hanya ada harapan kecil yang tersisa untuk mereka yang tinggal di Taman Nasional Ujung Kulon.
Di hutan-hutan yang hijau, di antara rerumputan yang sejuk, ada bunga yang mekar dengan keindahan luar biasa, Rafflesia Arnoldii. Bunga terbesar di dunia ini, dengan kelopak merahnya yang mempesona, kini menjadi saksi bisu dari kerusakan yang terjadi di sekitarnya. Di awal tahun 2024, lima bunga Rafflesia Arnoldii mekar dengan sempurna di Batang Palupuh, Nagari Koto Rantang, sebuah desa yang tersembunyi di kaki perbukitan Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Seolah menjadi saksi bisu dari keajaiban alam, kelopak-kelopak merahnya yang megah menjulang, membuka cerita tentang keindahan yang langka dan penuh misteri, seolah berbisik kepada dunia tentang betapa rapuhnya harmoni yang tercipta dalam kesunyian hutan tropis yang tak ternilai. Hutan yang menjadi tempatnya tumbuh kini kian hilang, tergerus oleh aksi-aksi yang merusak. Dalam semilir angin yang membawa aroma tanah, ada keheningan yang menggetarkan. Bunga yang menjadi kebanggaan alam Indonesia kini semakin langka, hampir tak terlihat lagi di habitat aslinya. Ia menjadi simbol keindahan yang terancam punah.
ADVERTISEMENT
Namun, keindahan bukan hanya milik bunga-bunga langka itu. Pohon-pohon besar seperti cendana dan meranti, yang dulu tumbuh tegak di hutan-hutan kita, kini seolah hanya ada dalam cerita. Keberadaannya terancam oleh tangan-tangan manusia yang rakus akan kayu-kayu langka ini. Tak hanya sebagai sumber kehidupan bagi banyak spesies, pohon-pohon ini juga memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Kini, mereka seakan menjadi saksi dari kehancuran yang terus terjadi di sekitar mereka, tak mampu lagi melawan laju kehancuran yang semakin cepat.
Di lautan luas yang membentang tak terhingga, terumbu karang Indonesia yang menakjubkan pun tak luput dari ancaman. Dulunya, ekosistem terumbu karang ini bagaikan taman bermain bagi berbagai kehidupan laut. Namun, kini terumbu karang itu menderita, pecah dan rusak oleh dampak pemanasan global dan polusi. Ikan-ikan yang dulu bebas berenang di antara batu karang kini kehilangan tempat berlindung mereka. Laut yang biru kini perlahan memudar, meninggalkan jejak-jejak kesepian di kedalaman lautan.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam gelapnya ancaman yang semakin nyata, ada secercah harapan yang memancar. Berbagai organisasi dan individu mulai bergerak untuk melawan kehancuran ini. Dari pemerintah hingga masyarakat lokal, ada mereka yang masih peduli dan berusaha untuk menjaga apa yang tersisa. Di Taman Nasional Ujung Kulon, misalnya, Badak Jawa yang hampir punah kini mendapatkan perhatian penuh. Program konservasi, meskipun penuh tantangan, memberikan harapan. Dengan segala upaya yang dilakukan, masih ada ruang bagi mereka untuk bertahan hidup. Sama halnya dengan orangutan, yang kini semakin diperhatikan dalam upaya penyelamatan habitat mereka. Adopsi teknik rehabilitasi, pengawasan terhadap perburuan ilegal, dan pembentukan kawasan perlindungan adalah beberapa langkah yang mulai menunjukkan hasil. Meski jalannya penuh liku, perjuangan ini adalah langkah awal untuk membawa mereka kembali ke alam bebas, tempat mereka seharusnya berada.
ADVERTISEMENT
Namun, perjuangan ini bukan hanya soal orangutan atau badak, tetapi tentang seluruh ekosistem Indonesia. Pelestarian alam tidak bisa hanya menjadi pekerjaan segelintir orang. Seluruh bangsa harus turut ambil bagian dalam menjaga hutan, laut, dan pegunungan yang menjadi rumah bagi beragam spesies. Tidak ada lagi waktu untuk berdiam diri. Setiap detik, setiap langkah kecil yang kita ambil untuk melestarikan alam adalah langkah yang berarti bagi kelangsungan hidup puspa dan satwa Indonesia. Kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan harus ditanamkan sejak dini. Pendidikan lingkungan menjadi kunci untuk membangun generasi yang peduli terhadap alam. Melalui kegiatan komunitas kita dapat menciptakan kesadaran kolektif untuk melindungi spesies yang terancam punah. Di banyak sekolah, anak-anak diajarkan untuk mencintai alam dan memahami pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Gerakan-gerakan seperti "Save Our Species" dan "Go Green" turut memperkuat kesadaran ini di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Semangat kolektif ini harus disertai dengan tindakan nyata. Kekhawatiran semakin mendalam ketika kita menyadari bahwa segala bentuk penyimpangan terhadap upaya menjaga puspa dan satwa Indonesia harus segera dihentikan. Di tahun 2024, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat deforestasi terparah kedua di dunia setelah Brasil, sebuah kenyataan pahit yang diungkap oleh World Population Review. Pada periode 2021-2022, deforestasi neto di negeri ini mencapai 104 ribu hektare, menyisakan kehampaan yang semakin meluas. Namun, musibah ini tak hanya berhenti pada hutan yang hilang, Indonesia juga dikenal sebagai negara pengekspor satwa liar terbesar di dunia, dengan data dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) menunjukkan bahwa antara 1998 dan 2018, lebih dari 71 juta satwa liar telah diekspor ke berbagai penjuru dunia. Sebuah kenyataan yang memperlihatkan kontras antara keindahan yang harus dilindungi dan kenyataan yang terus mengancam keberlangsungan hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, tantangan terbesar tetap pada cara kita memandang pembangunan. Dapatkah kita merancang pembangunan yang tidak hanya berfokus pada keuntungan material, tetapi juga pada keberlanjutan alam? Pembangunan yang mengorbankan hutan, laut, dan satwa adalah pembangunan yang menanamkan benih kehancuran di masa depan. Pembangunan yang berkelanjutan, yang seimbang antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam, adalah satu-satunya jalan yang bisa membawa kita menuju masa depan yang lebih baik.
Perubahan ini harus dimulai dari diri kita sendiri. Mengurangi penggunaan plastik, mendukung produk ramah lingkungan, dan mempromosikan pariwisata berkelanjutan adalah langkah-langkah kecil yang bisa berdampak besar. Dalam setiap tindakan kita, tersimpan harapan bagi spesies yang terancam punah. Keberhasilan pelestarian alam tak akan tercapai jika hanya pemerintah yang bekerja. Masyarakat, terutama generasi muda, harus dilibatkan dalam usaha ini. Mereka adalah pewaris masa depan, dan kesadaran yang mereka bangun hari ini akan menjadi kunci untuk merawat bumi di esok hari. Kampanye-kampanye yang mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap satwa liar dan lingkungan sekitar kini semakin berkembang.
ADVERTISEMENT
Mengelola sumber daya alam Indonesia dengan bijak adalah kunci untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati kita. Menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan, memanfaatkan energi terbarukan, dan mengurangi dampak karbon adalah langkah-langkah yang harus diprioritaskan. Dunia yang kita tinggali ini bukan milik kita saja. Kita hanya meminjamnya untuk sementara, dan sudah saatnya kita menjaga apa yang ada untuk anak cucu kita.
Menyelamatkan puspa dan satwa Indonesia adalah panggilan jiwa, sebuah tugas luhur yang memerlukan lebih dari sekadar kebijakan, melainkan kekuatan tekad dan kasih sayang terhadap alam yang telah memberi kita kehidupan. Untuk itu, kekuatan hukum harus berdiri tegak, memastikan bahwa setiap aturan yang ada tidak hanya menjadi tulisan di atas kertas, tetapi menjadi perisai yang melindungi hutan-hutan, sungai-sungai, dan makhluk hidup yang bergantung padanya. Dengan hadirnya UU No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Indonesia membuka lembaran baru dalam perjuangan ini, menjadikan hukum sebagai warisan abadi untuk masa depan yang lebih baik. Sebuah instrumen yang tak hanya melindungi kedaulatan negara, tetapi juga memberikan hak dan kesejahteraan bagi setiap warganya, dengan tetap menjunjung tinggi keberlanjutan alam yang tak ternilai. Kebijakan ini, dengan segala ketegasan dan keberaniannya, menjadi landasan yang kokoh untuk menjaga relevansi prinsip konservasi, sebuah janji untuk selalu hadir menjaga alam di tengah dunia yang kian berubah.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan pelestarian alam tak bisa lagi diukur dengan langkah-langkah tunggal, karena ia adalah perjuangan kolektif yang melampaui batas negara. Indonesia, sebagai rumah bagi hutan-hutan tropis yang menghidupi ribuan spesies, tak boleh berjalan sendiri dalam memelihara kekayaan ini. Di tengah pusaran globalisasi yang semakin cepat, kerja sama internasional menjadi sebuah kebutuhan yang tak terbantahkan, sebuah ikatan yang harus semakin erat untuk menjaga warisan alam yang tak ternilai. Dengan menjadi bagian dari konvensi-konvensi internasional seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) dan Protokol Nagoya, Indonesia tak hanya menegaskan komitmennya, tetapi juga mengukir jejak kebersamaan dalam menjaga keanekaragaman hayati dunia. Kolaborasi antarnegara dalam pengelolaan sumber daya alam, perlindungan spesies, dan pencegahan kerusakan alam harus diperkuat, karena tantangan yang kita hadapi kini jauh lebih besar dan lebih rumit dari yang pernah kita bayangkan. Hanya dengan berbagi pengetahuan, teknologi, dan pengalaman, kita dapat menghadapi ancaman yang semakin nyata, terutama perubahan iklim global yang merantai seluruh kehidupan di bumi ini. Bumi, dalam segala keheningan dan kekuatannya, menunggu kita untuk bersatu, menyatukan hati dan upaya, demi masa depan yang lebih baik untuk semua makhluk yang berbagi langit ini.
ADVERTISEMENT
Di tengah desah napas alam yang terluka, ada seberkas cahaya yang lahir dari upaya gigih yang tak mengenal lelah. Salah satu kisah keberhasilan yang menggetarkan adalah Program Reintroduksi Harimau Sumatera, sebuah perjalanan yang melibatkan tangan-tangan penuh kasih dari pemerintah dan LSM, yang bersama-sama mengembalikan sang raja hutan ke habitat alaminya. Harimau Sumatera, yang dulu terancam punah oleh perburuan liar dan kehancuran rumah mereka, kini kembali menapaki jejak-jejak mereka di hutan yang telah mereka tinggalkan. Sebuah pembangkitan kehidupan, yang memberi bukti bahwa meskipun alam terpuruk, ia masih memiliki kekuatan untuk bangkit, jika kita mau berjuang. Begitu juga dengan nasib orangutan yang mulai ditemukan jalannya menuju keselamatan melalui program pemulihan habitat dan pendidikan untuk masyarakat. Program ini bukan hanya tentang menyelamatkan spesies, tetapi tentang menyelamatkan diri kita sendiri, karena dalam setiap hembusan napas orangutan, ada napas kita bersama, yang saling bergantung pada keberlanjutan bumi yang kita pijak.
ADVERTISEMENT
Saya juga teringat akan sebuah komunitas di Bali yang berhasil menyelamatkan penyu dengan mendirikan pusat penangkaran. Kesuksesan mereka menunjukkan bahwa dengan kerja sama dan dedikasi, kita bisa membuat perbedaan. Akhirnya, kita semua adalah bagian dari kisah ini. Kisah tentang bagaimana kita sebagai bangsa merawat dan menjaga warisan alam yang sangat berharga. Setiap spesies, baik itu yang besar atau kecil, memiliki peran yang tak tergantikan dalam menjaga keseimbangan alam. Mengabaikan satu spesies berarti mengabaikan sebuah bagian dari cerita panjang kehidupan yang seharusnya terus berkembang. Jika kita tidak bertindak sekarang, maka masa depan kita akan menjadi lebih sunyi, lebih sepi, tanpa kehadiran suara-suara alam yang dulu pernah mengisi hari-hari kita.
Puspa dan satwa Indonesia adalah cermin dari kita. Mereka bukan hanya bagian dari alam, tetapi juga bagian dari kita sebagai bangsa. Mereka adalah bagian dari warisan yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Keberhasilan pelestarian alam adalah warisan terbaik yang bisa kita tinggalkan. Sebuah dunia yang tetap hijau, tetap hidup, dan penuh dengan keberagaman yang tak ternilai harganya.
ADVERTISEMENT
#Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia#