Preferensi Konsumen Terhadap Tren Belanja Pakaian Bekas

Shofia Rossya Millah
Mahasiswa PKN STAN dan ASN Kementerian Keuangan
Konten dari Pengguna
9 Februari 2022 15:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shofia Rossya Millah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pasar Senen Jakarta Pusat. Sumber: Fransiska
zoom-in-whitePerbesar
Pasar Senen Jakarta Pusat. Sumber: Fransiska
ADVERTISEMENT
Fenomena fast-fashion memunculkan beberapa isu mulai dari isu sosial hingga isu lingkungan. Masalah sosial meliputi eksploitasi tenaga kerja dalam hal: upah, jaminan kesehatan, jaminan keselamatan, waktu, kekerasan fisik, dan pembentukan serikat pekerja di industri garmen (Apriliani.T, 2016). Fast Fashion adalah istilah yang digunakan oleh industri tekstil yang memiliki berbagai model fashion yang silih berganti dalam waktu yang sangat singkat, serta menggunakan bahan baku yang berkualitas buruk, sehingga tidak tahan lama.
ADVERTISEMENT
Thrift shop merupakan salah satu solusi yang hadir untuk menjadi antitesis dari fast fashion. Memakai pakaian bekas bisa dikatakan sebagai upaya untuk memperpanjang umur pakai dari pakaian tersebut (hal ini berbanding terbalik dengan fast fashion). Menurut Urban Dictionary, thrifting adalah kegiatan berburu dan membeli pakaian bekas di toko pakaian bekas atau toko barang antik. Thrifting kini tengah menjadi tren yang digemari dan digandrungi oleh anak-anak muda jaman sekarang. Kegiatan berbelanja pakaian bekas ini kembali menjadi populer setelah banyaknya influencer yang melakukan kegiatan ini serta membagikan pengalaman dan keseruan mereka saat berbelanja pakaian bekas.
Dalam laporan tahunan yang dibuat dan dipublikasi oleh ThredUp, thrift shop di Amerika Serikat diprediksi akan bernilai 3 (tiga) kali lipat dari $28 di tahun 2019 menjadi $80 juta di tahun 2029. Thrift shopping sendiri pada dasarnya bukanlah hal baru di Indonesia, mengingat di Indonesia sendiri, sudah ada pusat-pusat pasar barang bekas seperti Pasar Cimol di Gedebage, Bandung (Jawa Barat), Pasar Kodok di Tabanan (Bali), dan lain sebagainya. Beberapa hal yang membuat pakaian bekas ini begitu diminati masyarakat adalah karena harganya yang murah, model pakaian yang unik, ramah lingkungan, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menggambarkan bahwa pembelian seseorang dapat dikatakan sesuatu yang unik, karena preferensi dan sikap terhadap obyek setiap orang berbeda. Secara umum, preferensi diartikan sebagai pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang terhadap suatu produk barang atau jasa yang digunakan. Menurut Kotler (2000:154) preferensi konsumen menunjukkan kesukaan konsumen dari berbagai pilihan produk jasa yang ada. Lebih lanjut Kotler (2000:154) mengemukakan bahwa Preferensi digambarkan sebagai sikap konsumen terhadap produk dan jasa sebagai evaluasi dari sifat kognitif seseorang, perasaan emosional dan kecenderungan bertindak melalui obyek atau ide.
Persepsi dan preferensi konsumen berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian pakaian. Semakin baik persepsi konsumen terhadap pakaian tersebut, maka konsumen akan semakin tertarik untuk membeli produk pakaian tersebut. Preferensi konsumen dapat mempengaruhi seberapa besar perhatian seseorang terhadap barang atau jasa yang diperjualbelikan oleh pedagang. Aktivitas yang dilakukan oleh seorang konsumen sangat bergantung pada kuat atau tidaknya minat yang ada pada diri seorang konsumen. Munculnya tren belanja pakaian bekas secara tidak langsung menjadi stimulan naiknya preferensi konsumen terhadap pakaian bekas. Kenaikan preferensi ini berbanding lurus dengan kenaikan permintaan pada pasar pakaian bekas.
ADVERTISEMENT
Deskripsi di atas menunjukkan adanya tren berbelanja pakaian bekas berdampak positif bagi berbagai pihak, baik dari sisi pembeli (konsumen), penjual (produsen), dan bahkan bagi lingkungan.