Konten dari Pengguna

Wanita Independen dan Pria Mapan: di Balik Kontroversi Media Sosial

Nalah Naurah Adyanto
Mahasiswa Diploma III Statistika Politeknik Statistika STIS
11 Januari 2025 12:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nalah Naurah Adyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dibuat menggunakan teknologi AI melalui ChatGPT (OpenAI)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dibuat menggunakan teknologi AI melalui ChatGPT (OpenAI)
ADVERTISEMENT
Kehidupan seorang tokoh masyarakat selalu menjadi perbincangan di media sosial. Prilly Latuconsina, seseorang yang dikenal sebagai aktivis yang menyuarakan hak perempuan, tuai kritikan keras usai viralnya potongan video ketika dirinya menyuarakan pendapat di sebuah transportasi umum. Prilly menyatakan bahwa wanita independen banyak, tetapi pria mapan sedikit. Sontak warganet memberikan respon mereka terhadap potongan video tersebut.Ada yang mendukung pernyataan Prilly, tetapi tidak sedikit yang mengkritik bahkan menghujat perkataan Prilly. Di balik kontroversi ini, ada isu yang lebih besar yang patut kita renungkan yaitu bagaimana media sosial, persepsi gender, dan realitas sosial saling memengaruhi.
ADVERTISEMENT
Media Sosial dan Persepsi Gender
Pada era modern, informasi sangat mudah diakses, salah satunya melalui media sosial. Dampak dari media sosial yaitu cenderung memperkuat bias konfirmasi, di mana orang lebih percaya pada informasi yang mendukung keyakinan mereka serta membuat netizen sering kali lebih percaya pada sebuah potongan video yang belum diketahui kebenarannya. Contoh kasus seperti ini lah yang dialami oleh Prilly. Dalam potongan video kurang lebih 30 detik itu, Prilly menyatakan bahwa wanita independen banyak, tetapi pria mapan sedikit. pernyataan tersebut memicu berbagai reaksi khususnya kaum pria yang merasa direndahkan. Namun, jika ditonton hingga usai, Prilly dalam sebuah video yang diunggah oleh akun TikTok @bloommedia.id, menekankan bahwa menurutnya, yang dikatakan independen adalah pola pikir dan kemampuan untuk mengatasi masalah sendiri serta berdiri di atas kaki sendiri, terlepas dari profesi atau aktivitas sehari-hari. Dalam kesempatan lainnya, terkait dengan pria mapan, menurutnya, pria mapan yang diinginkannya lebih berorientasi pada tanggung jawab dan bukan hanya sekedar materi.
ADVERTISEMENT
Wanita Independen: Tren atau Fakta?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023, pada jenjang Perguruan Tinggi (PT), persentase penduduk perempuan yang berumur 15 tahun ke atas dan memiliki ijazah PT (13,66% di perkotaan dan 6,32% di pedesaan) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (12,76% di perkotaan dan 5,35% di pedesaan), data tersebut menunjukkan bahwa persentase perempuan yang memiliki ijazah perguruan tinggi lebih tinggi dibandingkan laki-laki, baik di perkotaan maupun pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa banyak perempuan mengejar pendidikan dan karir yang merupakan indikator penting dari independensi. Selain itu, hal ini juga sejalan dengan tren banyaknya perempuan menunda pernikahan untuk fokus pada karir dan pengembangan diri yang menunjukkan perubahan paradigma dalam peran gender.
ADVERTISEMENT
Tantangan Menjadi Pria Mapan
Di sisi lain, pria menghadapi tekanan sosial yang besar untuk memenuhi standar “mapan” yang ditetapkan oleh masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik(BPS), pada tahun 2023, TPT laki-laki sebesar 5,42% lebih besar dibandingkan perempuan yang berada di angka 5,15%, yang berarti tingkat pengangguran laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Banyaknya jumlah pengangguran laki-laki berkaitan dengan ekspetasi sosial tentang pria mapan yang sering kali dikaitkan dengan stabilitas finansial dan pekerjaan konvensional. Pekerjaan yang non konvensional seperti freelancer kerap dianggap belum mapan dibandingkan pekerjaan yang bersifat konvensional. Selain itu, stigma bahwa tugas seorang laki-laki adalah pencari nafkah utama menjadi beban bagi mereka, terutama di era sekarang, perempuan juga berkontribusi besar terhadap pendapatan keluarga. Tekanan sosial ini mencerminkan bagaimana norma gender tradisional masih mendikte peran pria dan wanita di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pelajaran dari Kontroversi
kasus Prilly memberi pelajaran bagi kita bahwa sejatinya, independensi dan kemapanan bukan tentang kompetisi antara pria dan wanita, sebaliknya, keduanya adalah kualitas yang perlu diraih bersama untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri dan bersama-sama menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan setara.
Selain itu, Kasus Prilly ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana informasi di media sosial dapat dengan cepat tersebar dan seringkali menyebabkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih bijak dalam menyikapi informasi dan mencoba memahami konteks secara keseluruhan sebelum menarik kesimpulan. Daripada memicu perdebatan tanpa ujung, lebih baik kita menggunakan media sosial untuk berbagi pengetahuan dan membangun empati, bukan tempat untuk menjatuhkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT