Konten dari Pengguna

Uang Jajan Bukan Sekadar Bekal Serta Pentingnya Literasi Keuangan di SD

Ni Komang Widianiti
Saya Seorang Mahasiswa
25 April 2025 18:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ni Komang Widianiti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Siswa Sekolah Dasar (Sumber: https://pixabay.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Siswa Sekolah Dasar (Sumber: https://pixabay.com/id/)
ADVERTISEMENT
Pernah nggak sih kepikiran kalau uang jajan yang kelihatannya sepele itu? Di tengah gempuran gaya hidup konsumtif, bahkan di zaman sekarang banyak iklan makanan kekinian, tren mainan baru, bahkan sekarang semuanya bisa dibeli lewat handphone, sehingga hal itu membuat anak-anak tumbuh dalam kehidupan ekonomi yang tidak lagi sederhana. Jika mereka tidak tidak dibekali dengan fondasi literasi keuangan yang kuat, bisa-bisa mereka berisiko tumbuh menjadi generasi yang rentan terhadap godaan konsumsi impulsif, utang, dan gaya hidup tak berkelanjutan. Tapi sangat disayangkan, pendidikan formal kita belum sepenuhnya menyadari pentingnya hal ini, terutama di tingkat paling dasar: sekolah dasar. Padahal, dari hal sederhana seperti mengelola uang jajan, anak-anak bisa belajar banyak hal tentang pentingnya ekonomi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya uang jajan sering kali hanya dianggap remeh atau sekadar bekal harian anak untuk membeli makanan ringan di sekolah. Tapi, jika dilihat lebih dalam, mengelola uang jajan merupakan interaksi paling awal anak dengan konsep ekonomi. Dari situ ini lah, anak-anak bisa belajar membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan, sehingga anak-anak bisa membuat keputusan pembelian, menabung, hingga mengelola risiko (seperti kehabisan uang di tengah hari karena tidak mengatur dengan baik). Masalahnya, tidak semua anak-anak mendapatkan pendampingan untuk memahami masalah ini. Sehingga sebagian besar hanya tahu: diberi uang lalu dihabiskan.
Sehingga peran orang tua, tentu sangat penting terkait hal ini. Namun tak semua keluarga memiliki pemahaman, waktu, atau kesadaran yang sama tentang pentingnya mendidik anak mengelola uang. Di sinilah sekolah seharusnya hadir sebagai penyeimbang, sebagai ruang pendidikan yang memberi kesempatan yang adil bagi semua anak untuk memahami dasar-dasar ekonomi yang relevan dengan kehidupan mereka. Sayangnya, hingga kini, literasi keuangan masih belum mendapatkan tempat utama dalam kurikulum sekolah dasar. Pelajaran IPS memang menyentuh soal ekonomi, namun umumnya masih bersifat teoritis dan jauh dari keseharian anak. Kurikulum Merdeka memang memberi ruang fleksibel melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), namun tidak semua sekolah mampu mengarahkan proyek itu ke ranah ekonomi yang aplikatif. Akibatnya, anak-anak kehilangan peluang belajar dari pengalaman langsung.
ADVERTISEMENT
Padahal, banyak hal sederhana bisa dilakukan sekolah untuk mulai memperkenalkan konsep ekonomi dasar, terutama lewat konteks uang jajan. Contonnya, anak-anak bisa diajak bikin membuat anggaran mingguan untuk uang jajannya. Misalnya, mereka bisa diminta mencatat pengeluaran harian, terus diajak diskusi seperti: “pembelian ini penting nggak sih?” atau “coba kalau kamu simpan uangnya, minggu depan bisa beli barang yang lebih kamu inginkan.” Serta bisa juga dibuat simulasi pasar mini di kelas, di mana mereka belajar menjadi pedagang dan pembeli. Kegiatan seperti ini menyenangkan, kontekstual, dan sangat membekas di ingatan anak.
Kegiatan menabung juga bisa sangat bermanfaat buat dilakukan dengan pendekatan yang benar. Bukan cuma sekadar mengumpulkan uang ke kotak tabungan, tapi dipadukan dengan edukasi seperti: “apa tujuan menabung” atau “Apa manfaat menunda kepuasan untuk hal yang lebih penting di masa depan?” dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut, bisa membuka ruang berpikir kritis anak sejak usia dini.
ADVERTISEMENT
Supaya program seperti itu bisa berjalan dengan maksimal. tentu, guru harus memiliki pemahaman dan alat bantu yang cukup. Sebenarnya banyak guru yang antusias memperkenalkan literasi ekonomi, namun tidak semua punya pelatihan atau modul yang sesuai. Namun pendekatan literasi keuangan di sekolah harus inklusif. Jangan sampai kegiatan pengelolaan uang ini bikin memperlihatkan kesenjangan sosial antarsiswa di kelas semakin terlihat. Misalnya, waktu berlangsungnya kegiatan simulasi pasar atau proyek wirausaha, sekolah harus memastikan semua siswa bisa ikut serta tanpa harus membawa modal besar dari rumah. Tujuan utamanya adalah belajar, bukan berlomba-lomba menunjukkan daya beli.
Pada akhirnya, mengajarkan anak mengelola uang jajan bukan sekadar mendidik mereka menjadi hemat. Ini tentang membentuk karakter—membangun kesadaran untuk berpikir sebelum bertindak, memahami nilai dari setiap keputusan, dan bertanggung jawab terhadap pilihan yang mereka ambil. Semua ini adalah bekal penting untuk hidup di dunia yang semakin kompleks dan penuh godaan konsumtif.
ADVERTISEMENT
Maka, sudah saatnya sekolah dasar tak hanya menjadi tempat belajar berhitung dan membaca, tetapi juga tempat anak-anak belajar hidup secara bijak termasuk dalam hal mengelola uang. Karena masa depan bangsa tidak hanya ditentukan oleh skor ujian, tetapi juga oleh kemampuan generasinya dalam mengelola hidup secara cerdas dan beretika.
Ni Komang Widianiti, Mahasiswa
Universita Pendidikan Ganesha