Sistem Sensor Mirip Hidung, Sudah Kenal dengan Teknologi E-Nose?

Shabrina Rahmi Noviyanti
S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Maju (2019)
Konten dari Pengguna
22 Juli 2022 16:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shabrina Rahmi Noviyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi E-Nose (Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi E-Nose (Dok. Pribadi)

Bagaimana E-Nose terwujud?

ADVERTISEMENT
Hidung manusia sudah diciptakan dengan begitu sempurna oleh Allah S.W.T, tentu sempurna karena hidung kita dianugerahi dapat mencium hingga 10.000 jenis bau! Tidak heran mengapa kita bisa mencium dan membedakan aroma bau yang kita temui setiap harinya. Kemampuan tersebut tentu memiliki alasan, karena hidung kita mempunyai reseptor yang merespon pencampuran gas di udara, selanjutnya otak kita lah yang bekerja untuk mengenali bau-bau tersebut.
ADVERTISEMENT
Selama hidup di dunia, dari berbagai macam partikel bau yang kita temui, atau istilah kerennya Volatile Organic Compounds (VOGs), yaitu senyawa organik yang mudah menguap. Belum semua jenis bau itu mampu dimanfaatkan dengan baik. Hal inilah yang menarik perhatian para ilmuwan untuk terus mengeksplorasi beragam jenis bau untuk bisa dimanfaatkan dengan semestinya.
Berbekal inspirasi dari anjing pelacak yang kerap dibawa untuk membantu mendeteksi bom melalui indera penciumannya, para ilmuwan mulai berpikir, apakah hidung manusia bisa digunakan untuk hal serupa? seperti halnya mendeteksi penyakit yang ada di dalam tubuh.
E-Nose hadir sebagai wujud dari hasil diskusi para ilmuwan. Merupakan gabungan susunan sensor gas & algoritma pembelajaran mesin yang mampu mengidentifikasi 'pola' sebagai respons terhadap bau tertentu. Hadirnya E-Nose berlandasan pada keterbatasan hidung manusia untuk mencium bau tertentu, karena memang indera penciuman kita tidak setajam makhluk ciptaan-Nya yang lain, semua sudah diciptakan dengan adil.
ADVERTISEMENT
Rencana perkembangan E-Nose sebetulnya sudah ada sejak lama, namun ada berbagai hal yang masih perlu dipertimbangkan sebelum benar-benar dikenalkan pada masyarakat. Seperti faktor risiko, kelemahan, dan kendala dari E-Nose tersebut, sebab kembali lagi pada kemampuan manusia yang terbatas.
E-Nose (electronic nose) seolah kian gencar dikembangkan sejak adanya Covid-19 yang menurunkan kemampuan indera penciuman manusia, bau, dan rasa yang biasanya peka menjadi kehilangan kemampuannya akibat virus tersebut. Melihat keadaan dunia yang seperti itu, ilmuwan menggandakan kemampuannya untuk terus berupaya mengoptimalkan E-Nose supaya dapat digunakan layaknya kamera, yakni mampu mendeteksi bau dan penyakit yang kemungkinan menjangkit manusia.
Dari adanya fenomena dalam kehidupan manusia sehari-hari, yang sulit untuk membedakan berbagai jenis aroma bau makanan, E-Nose menawarkan solusi kemampuan yang lebih peka dalam memahami aroma makanan yang berbeda, khususnya makanan yang begitu menggugah selera.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, E-Nose juga menawarkan solusi untuk dapat mencium aroma makanan yang akan basi atau terkontaminasi, sehingga menurunkan risiko seseorang keracunan. Selain itu, teknologi ini dapat membantu pihak industri makanan dalam proses pengontrolan untuk konsistensi & kualitas produk, dengan sensor bau yang lebih luas milik teknologi E-Nose ini.

Cara Kerja E-Nose dalam mendeteksi penyakit

Dari berbagai penawaran yang E-Nose miliki inilah, beberapa ilmuwan ingin melihat apakah E-Nose mampu mendeteksi penyakit yang sering disebut sebagai silent killer yaitu Kanker.
Umumnya seseorang baru sadar dirinya terjangkit Kanker setelah memasuki stadium menengah atau akhir, karena sifatnya yang 'diam-diam membunuh' inilah, dibutuhkan alat yang mampu mendeteksi adanya beragam penyakit pada tubuh manusia sebelum seseorang terjangkit penyakit yang lebih parah.
ADVERTISEMENT
Kanker memiliki beberapa jenis, namun yang paling banyak menjangkit & membunuh manusia adalah Kanker Paru. Setiap tahunnya, lebih dari 1,8 juta jiwa meninggal akibat Kanker Paru. Kebanyakan dari pasien kanker jenis ini baru mengetahui dan terdeteksi setelah memasuki stadium lanjut.
E-Nose bekerja dengan cara pengukuran komponen hembusan napas manusia, yang kini umum dikenal seperti metode swab untuk mendeteksi Covid-19, dengan sensitivitas mulai dari 17% - 96% dan spesifitas 33% - 100%. Dalam beberapa rangkaian kasus, hasil tersebut telah divalidasi, tetapi sebagian besar masih menggunakan validasi internal. Adapun metode pengambilan sampel dan analisis standar masih kurang yang membuat perbandingan antara studi dan implementasi klinis terhambat.
Teknologi keren ini sayangnya masih memiliki keterbatasan, jika E-Nose ingin disebarkan ke seluruh masyarakat di dunia, beberapa hal seperti pemantauan seberapa sering alat ini diganti, tidak akan terkontrol dengan baik. Sebab sistem E-Nose ini menggunakan sel hidup, yang artinya alat harus diganti untuk tetap menjaga kebersihannya.
ADVERTISEMENT
Ahli kimia dan pengembang sensor penciuman di California Institute of Technology, Nathan Lewis, mengatakan ide ini sangat bagus dan menarik, namun implementasinya itulah yang menjadi masalah. Para ilmuwan dan pakar hak data mengatakan munculnya pengawasan molekuler yang canggih—misalnya. Mengubah ponsel menjadi apa yang oleh beberapa pakar disebut "smell phone" yang mampu mendeteksi kondisi medis—menimbulkan pertanyaan pelik tentang privasi.
Lagi pula, bau yang terus-menerus dikeluarkan tubuh kita mengandung petunjuk tentang kesehatan dan pilihan pribadi kita, termasuk produk yang kita gunakan dan makanan yang kita makan serta kebiasaan minum.
Ternyata masih banyak yang perlu dikembangkan sebelum E-Nose siap dipasarkan ke seluruh penduduk di dunia, semoga semakin banyak teknologi yang mampu diciptakan untuk mendeteksi berbagai penyakit yang ada pada tubuh manusia, agar kita, Indonesia khususnya mampu mencapai derajat kesehatan yang diharapkan.
ADVERTISEMENT