Konten dari Pengguna

Gita Noerwardhani: Dari 2 Harta Untuk 200 Desa, Ubah Sampah Jadi Berkah

Epul Saepul
Mahasiswa di Universitas Padjadjaran
2 Juli 2024 18:27 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Epul Saepul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gita Noerwardhani dan Sampah. Foto: WomenEarthAlliance/Youtube (persetujuan Narasumber)
zoom-in-whitePerbesar
Gita Noerwardhani dan Sampah. Foto: WomenEarthAlliance/Youtube (persetujuan Narasumber)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gita bukan sosok yang sedari awal sudah peduli pada lingkungan. Selama 14 tahun ia bekerja, tidak pernah sekalipun terbersit untuk menjadi seseorang yang menaruh perhatian pada isu lingkungan.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menjadi aktivis lingkungan, ia lebih tertarik pada kepentingan pribadinya saja. “Awalnya saya itu orang yang sombong, arogan, dan tidak peduli dengan orang lain,” ujarnya. 
Pada usia 42 tahun, hidupnya mengalami perubahan hampir 180 derajat. Pertemuan dengan aktivis lingkungan bernama Herlina Agustin menjadi titik baliknya.
Melalui pertemuan tersebut, ia seperti menemukan arena kehidupan yang baru—kehidupan yang meminta untuk dijelajahi. Herlina atau akrab disapa Bu Titin itu, memberikan pesan persuasi kepada Gita agar mencoba untuk mengelola sampah.
Selain pertemuan dengan Bu Titin, Gita juga mengalami sebuah kejadian yang akhirnya memantik dirinya untuk berpindah haluan hidup. Tepatnya ketika dia pulang ke tempat kelahirannya yakni kota Garut.
“Saya kembali ke Garut ketika ada Pilkada, terus saya melihat tagline ‘1 sampah, seribu masalah’ alhasil saya tergerak untuk bergerak di bidang lingkungan hingga saat ini,” ujarnya. 
ADVERTISEMENT
Lulusan Teknologi Pertanian itu bekerja sebagai advertising promotion kurang lebih selama 14 tahun. Hidupnya tak ayal seperti jalan tol Jagorawi: lurus, ambisius, dan tak melihat kiri-kanan jalan. Ia hidup di atas menara gading dengan sejumlah pencapaian yang mentereng. Profit oriented menjadi haluan hidupnya dulu. 
“Ketika saya bekerja kantoran, omset saya itu 1,2 M setahun atau 100 juta perbulan dengan mindset kerja keras dulu, doa kesekian,” tutur Gita.
Sebagai seorang single parent, ia dedikasikan hidupnya semata untuk menghidupi anaknya.
“Saya sehari-hari biasanya kaki di kepala, kepala di kaki,” jelas Gita.
Hingga anaknya selesai sarjana, Gita merasakan adanya kehampaan. Dia tidak lagi merasakan ambisi untuk bekerja sebab anaknya sudah dewasa sehingga tidak ada beban untuk menghidupinya lagi (secara finansial).
ADVERTISEMENT
Kosong, hampa, dan bukan apa-apa. Itulah kira-kira yang ia rasakan di akhir-akhir karirnya. 
Ada suatu perasaan yang janggal. Semacam ada sesuatu dalam hidup yang perlu dilakukan. Dua hal esensial yang menjadikan hidup itu mendapatkan maknanya. Bergerak dan bermanfaat.
Setelah berbagai kejadian yang dia alami, Gita akhirnya memutuskan untuk resign dari dunianya yang lama dan memulai perjalanannya yang baru: menjadi seorang aktivis lingkungan, khususnya dalam isu sampah.
Perjalanannya tak selalu mulus, tapi yang pasti selalu berjalan dengan tulus.
Perjuangan Gita Demi Lingkungan yang Lebih Baik
Tahun 2014 menjadi awal mula Gita terjun dalam dunia lingkungan sebagai aktivis. Tak terasa, saat ini ia telah berhasil mengedukasi masyarakat di ratusan desa.
ADVERTISEMENT
Sudah 200 lebih desa yang berhasil ia datangi yaitu 110 desa di Garut, Jawa Barat dan 103 desa di Tulang Bawang Barat (Tubaba), Lampung.
Sebelumnya, Gita merupakan pebisnis yang sangat berorientasi pada profit. Ia menganggap bahwa kehidupannya habis untuk bekerja dan menghasilkan uang, hal tersebut juga dilatarbelakangi oleh fokusnya untuk memenuhi biaya pendidikan anaknya. 
“Tapi, pada saat anak saya selesai kuliah, saya merasa kok merasa tidak ada kerjaan, saya merasa saya kosong, saya nothing saya merasa bukan apa-apa,” ungkapnya. 
Dari rasa hampa itulah, Gita mulai berpikir untuk berani hidup tanpa menjadi seseorang yang profit oriented. Pada akhirnya, ia memberanikan diri untuk melepas karir dan sebagian besar kekayaannya.
ADVERTISEMENT
Bukan nominal yang sedikit, bahkan dari karirnya tersebut, ia memiliki income miliaran per tahunnya. Tak hanya income besar yang dilepas, tetapi ia juga memberanikan diri untuk menjual sebagian besar aset dan propertinya.
“Untuk biaya, saya jual rumah, saya jual mobil. Tapi, jangan diikuti, itu nekat. Saya berani nekat jual sesuatu karena selama ini saya tidak pernah hidup dan mencari makan dari pemerintah klien-klien saya bukan orang pemerintah jadi pada saat saya bergerak di bidang sosial pemerintah saya mau tidak mau harus mengeluarkan dana sendiri,” ujarnya.
Gita mengungkapkan bahwa karena ia merupakan orang yang idealis maka ia tidak ingin langkahnya sebagai aktivis disangkutpautkan dengan pemerintah, ia ingin segalanya dapat dikerjakan dan dituntaskan secara pribadi.
ADVERTISEMENT
Alhasil, dengan tekadnya untuk menjadi seorang aktivis, ia pun mengesampingkan karir dan menjual aset serta properti yang dimilikinya.
“Karena saya tidak ingin, karena saya ini orangnya idealis, jadi harus tuntas ya, jadi harus saya selesaikan. Saya menjual properti saya,” jelasnya.
Kiblatnya sekarang sudah berubah. Dulu ia sangat berkiblat pada hal-hal duniawi, sekarang berkiblat pada keridhaan Ilahi. Dulu prinsipnya bekerja nomor satu, doa tidak perlu.
Sekarang sebaliknya, doa itu keharusan, bekerja itu kapan-kapan. Perubahan kiblat tersebut sangat berdampak pada hidupnya. Meskipun perjalanannya sangat terjal, tapi keajaiban dari langit selalu mengiringinya.
Misalnya, kejadian ketika Gita tidak memiliki uang sama sekali, tapi Tuhan mendatangkan uluran tangan-Nya.
“Pernah kejadian ketika saya sama sekali tidak punya uang, teman saya dari Srilanka datang dan memberikan uang $2500USD. Itu yang membuktikan bahwa doa itu nomor satu, Tuhan itu nomor satu, hasilnya itu bonus di belakang,” ujarnya penuh keyakinan.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, Gita tetap dengan pendiriannya yaitu menjadi seorang aktivis lingkungan yang berdiri sendiri tanpa sangkut paut pihak manapun.
Saat ini, sudah genap tujuh tahun Gita melakukan aksi sosialisasinya sebagai aktivis kepada berbagai masyarakat desa di Indonesia. Tidak ada lagi kepentingan profit yang diharapkan, saat ini ia hanya berfokus pada tindakan.
Baginya, reward yang didapatkan secara materil dan nonmateril hanyalah bonus semata.
Mindset Baru dalam Mengelola Sampah
Bagi Gita, jika biasanya kita melihat sampah sebagai benda bekas yang menjijikkan dan harus dibuang, artinya mindset kitalah yang harus dibuang. “Mindset” menjadi fokus utama Gita dalam perjalanan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Selama menjadi aktivis lingkungan dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat di ratusan desa, fokus utama Gita adalah untuk mengubah pola pikir masyarakat di tiap desa. 
“Kalau yang tadinya masyarakat mikirinya sampah itu tinggal buang aja, maka saya mencoba untuk mengubah mindset-nya supaya mereka bisa sadar kalau sampah itu juga bisa diolah, didaur ulang, dan menghasilkan,” jelasnya.
Gita berpendapat bahwa dengan pola pikir yang demikian maka nantinya akan tertanam tanggung jawab di masyarakat bahwa kita harus bisa me-recycle dan upcycle juga. Tidak memandang sekecil apapun sampah yang kita hasilkan, kita tetap harus memanfaatkan sampah tersebut.
Salah satu solusi yang diberikan oleh Gita adalah membuat ecobrick yaitu dengan mengumpulkan sampah-sampah kecil seperti bungkus permen dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kemudian sampah tersebut dimasukkan ke dalam botol hingga terisi penuh, hingga akhirnya botol tersebut dapat digunakan sebagai pengganti batu-bata.
“Even sekecil sampah permen yang bisa kita jadikan sebagai ecobrick walaupun memang harus memerlukan waktu yang lama. Untuk memenuhi satu botol saja kita harus menunggu sekitar 3-5 bulan,” jelas Gita.
Ya, satu botol ecobrick memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, tidak ada salahnya bagi kita untuk melakukan usulan tindakan dari Gita, tak lain demi upaya menjaga dan melestarikan lingkungan kita dari sampah.
Buah dari upaya merubah mindset masyarakat tersebut yaitu program Bank Sampah yang disosialisasikan oleh Gita masih berjalan di beberapa desa hingga saat ini. Salah satunya yaitu di desa Tulang Bawang Barat (Tubaba), Lampung.
ADVERTISEMENT
Memanfaatkan Kearifan Lokal untuk Gerakan Lingkungan
Dalam upayanya untuk menyadarkan dan mempersuasi masyarakat agar peduli pada lingkungan dan mampu mengelola sampah, banyak cara yang dicoba oleh Gita.
Biasanya dia datang ke sebuah desa, lalu melakukan sosialisasi terkait pengelolaan sampah. Berbagai respon dari warga yang didatangi juga cenderung antusias.
Namun, tidak berarti semuanya ikut, ada saja beberapa yang memilih tidak ikut. Selama Gita berada di lokasi, masyarakat ikut mengelola sampah mereka.
Kesadaran akan pentingnya kebersihan lingkungan dan mengelola sampah menyebar di wilayah tersebut. Namun, setelah Gita meninggalkan desa tersebut, masyarakat tidak semuanya terus melakukan kegiatan mengelola sampah seperti yang disosialisasikan oleh Gita.
Terlebih ketika pemerintah mengambil alih program Bank Sampah. Masyarakat menjadi tidak seantusias dulu.
ADVERTISEMENT
Gita mengatakan jika dirinya telah melakukan berbagai cara untuk menggerakan masyarakat untuk sadar akan pentingnya membuang sampah secara tepat.
Salah satu cara yang cukup efisien dan menarik adalah dengan mengintegrasikan kesadaran untuk mengelola sampah dengan nilai-nilai budaya luhur di tempat masyarakat berada.
“Saya juga masih mencari bagaimana caranya bisa menggerakkan masyarakat untuk sadar tidak membuang sampah sembarangan melalui kearifan lokal yang ada,” ungkap Gita.
Misalnya, budaya luhur yang ada di Lampung, tepatnya di Desa Tulang Bawang Barat (Tubaba). Di desa tersebut terkenal ada sebuah kearifan lokal yang berbunyi: Nenemo,  Nedes, Nerimo.
Secara harfiah, Nenemo artinya bekerja keras, Nedes artinya tak kenal menyerah dan Nerimo artinya ikhlas menerima hasilnya. Adanya kearifan lokal tersebut, kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah menjadi lebih mudah diterima dan dijalankan.
ADVERTISEMENT
Dengan bekerja keras, tak kenal menyerah, dan menerima apapun hasilnya, masyarakat bisa memiliki kesadaran untuk mengelola sampah secara berkelanjutan.
“Dengan adanya kearifan lokal itu harusnya yang dapat mempermudah masyarakat untuk sadar dan mengikuti aturan yang berurat berakar,” ujar Gita.
Ketika ditanyai perihal mimpinya secara personal, Gita tertegun dan berfikir selama beberapa saat. Akhirnya ia jawab dengan mantap.
Mimpinya sederhana yakni masyarakat dapat memilah sampah yang organik dan non-organik. Hanya sesimpel itu saja masyarakat memang belum sepenuhnya dapat mengaplikasikannya dengan konsisten.
Selain itu, dia juga menyampaikan harapan dan pesan yang membuatnya terus bergerak. 
ADVERTISEMENT