Konten dari Pengguna

Ironi Hutan di Negeri Pertiwi: Paru-paru Dunia yang Terus Tergerus

Epul Saepul
Mahasiswa di Universitas Padjadjaran
30 Juni 2024 12:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Epul Saepul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Raja Ampat Papua. Foro: Danang Himawan/Unsplash.
zoom-in-whitePerbesar
Raja Ampat Papua. Foro: Danang Himawan/Unsplash.
ADVERTISEMENT
Seorang asli Suku Awyu Papua yang mewakili komunitas adatnya melakukan aksi di Jakarta Pusat, mengaduh. Katanya, tanah adalah nomor rekening abadi bagi kami, tanah adalah mama, tanpa tambang, tanpa sawit, kami masyarakat adat masih bisa hidup.
ADVERTISEMENT
Sementara perusahaan-perusahaan besar dapat dengan mudah mengantongi izin dari pemerintah untuk menggunduli hutan. Padahal dulunya, hutan Indonesia sering disebut sebagai paru-paru dunia. Ironis memang.
Deforestasi hutan sudah lama menjadi permasalahan lingkungan yang serius di negeri ini. Perjanjian politik untuk melarang penggundulan hutan sudah disepakati di COP26 pada 2021, akan tetapi masih banyak para petinggi dan pengusaha yang keluar jalur.
Akibatnya, fungsi hutan sebagai penyerapan karbon dioksida dari atmosfer berkurang. Dampak langsung yang dirasakan sekarang seperti perubahan iklim dan kerusakan ekosistem di alam.
Oleh sebab itu, sangat masuk akal jika penurunan kualitas udara, peningkatan suhu, dan cuaca ekstrem semakin nyata. Ditambah lagi masyarakat adat yang hidup bergantung pada hutan untuk mata pencaharian, akan kehilangan sumber daya penting yang mereka andalkan.
ADVERTISEMENT
Pada 2021 merujuk data Greenpeace, deforestasi di Provinsi Papua meluas hingga 16.000 hektare. Adapun, empat provinsi yang baru dibentuk pada 2022 berpotensi kehilangan hutan, masing-masing sebanyak 4.000 hektar dalam waktu yang dekat.
Harus berapa banyak lagi hutan yang ditebang? Sampai kapan lahan negeri ini, berubah menjadi pertambangan dan perkebunan sawit?
Kita sering mendengar dalam pemberitaan, bahwa pemerintah menggaungkan pelestarian alam. Salah satu upaya yang dilakukan adalah peninjauan kembali perusahaan yang akan membangun perusahaannya di atas tanah Indonesia.
Namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Pemerintah masih memberikan izin perusahaan dengan mudah, tanpa melihat alam dan masyarakatnya.
Berdasarkan riset Yayasan Pusaka Bentala Rakyat pada 2023, sepanjang 2001 hingga 2019 tutupan hutan alam di seluruh Tanah Papua menyusut 663.000 hektare.
ADVERTISEMENT
Selain itu, alternatif lain pemerintah akan berupaya untuk mendorong pembangunan ekonomi industri yang tidak merusak hutan, termasuk mencegah konservasi hutan adat dan hutan lindung ke perkebunan kelapa sawit. Beberapa memang berhasil, namun alasannya bukan karena itu.
Pemerintah menjelaskan jika pencabutan izin tersebut lebih menitikberatkan pada faktor produktivitas atau pemanfaatan lahan, daripada pertimbangan perlindungan lingkungan.
Keberpihakan pemerintah terhadap rakyat seharusnya ditunjukan dengan itikad baik, mengembalikan area bekas izin tersebut dengan mengakui wilayah adat dan masyarakat lokal.
Meskipun, hal ini sulit dilakukan. Kendati komunitas peduli alam saja, tidak akan cukup tanpa bantuan dari pihak lain, terutama pemerintah.
Jika belajar dari tahun-tahun sebelumnya, mungkin sudah saatnya untuk berupaya dengan sungguh-sungguh, menemukan solusi sehingga masalah deforestasi hutan dapat diatasi. Hutan- hutan telah terbentuk dalam jangka waktu yang lama, sehingga tidak akan bisa digantikan sebagai jasa ekosistem.
ADVERTISEMENT
Peraturan tentang penebangan hutan dan deforestasi lahan mesti ditegaskan. Alangkah baiknya, jika hal ini diterapkan oleh pemerintah, untuk melarang semua perusahaan yang akan menggusur alam.
Perusahaan yang sudah diberi izin, mesti secepatnya dilakukan pencabutan izin guna memperbaiki tata kelola sumber daya alam serta memutus rantai bisnis yang melibatkan kepentingan oligarki.
Mungkin pencabutan perizinan terhadap perusahaan tersebut akan sulit dilakukan oleh pemerintah, sebab berkaitan dengan perkembangan ekonomi.
Tapi tidak ada salahnya, jika pembangunan pertambangan dan sawit dapat melalui pemanfaatan lahan yang sudah tidak aktif dan ditelantarkan, bukan merusak alam maupun hutan yang baru. Jika hal ini menjadi pilihan, ironi hutan yang disebut di awal tulisan, bisa dipastikan tidak akan terjadi lagi.
ADVERTISEMENT