Pengalaman Lintas Budaya, Remaja Singapura di Indonesia

Epul Saepul
Mahasiswa di Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
16 Juni 2023 17:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Epul Saepul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Marina Bay. Foto: Kamil Tatol/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Potret Marina Bay. Foto: Kamil Tatol/Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Narasumber dan Kehidupannya
Seorang warga asli Singapura yang sekarang menjadi mahasiswa di Asia University Taichung, Taiwan yaitu Gabriel Valentino Ito Nara (19) membagikan pengalamannya selama berada di Indonesia. Gabriel tinggal di Indonesia selama 11 tahun dari Tahun 2012 hingga 2023 (sekarang), namun Gabriel setiap bulannya sering pulang ke Singapura. Ketika berada di Indonesia, Gabriel tinggal di Surabaya dan Kalimantan. Ayah Gabriel merupakan warga asli Singapura dan Ibunya adalah seorang Chinese dari Surabaya. Gabriel memberikan alasan dia tinggal di Indonesia karena tuntutan pekerjaan sang ayah yang memiliki sebuah perusahaan di Kalimantan. Selain itu selama Gabriel tinggal di Indonesia, dirinya menjadi pelajar dalam bidang kesehatan. Gabriel adalah seorang polygot, dia dapat berkomunikasi secara lancar dengan menggunakan 6 bahasa yaitu bahasa Inggris, Indonesia, Mandarin, Hokkien, Vietnam, dan Belanda. Karena kefasihan dalam berkomunikasi tersebut, Gabriel memiliki teman dari berbagai negara termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Persepsi, Gegar Budaya (Culture Shock), Intercultural Adjusment, dan Konflik ketika berada di Indonesia
Sebelum Gabriel tinggal di Indonesia, Gabriel berpikir jika orang Indonesia suka ikut campur dengan urusan orang lain. Pemikiran tersebut muncul karena dirinya sempat melihat sebuah sinetron Indonesia di televisi Singapura. Selain pemikiran tersebut, Gabriel berpikir jika orang Indonesia sama rasisnya dengan orang Singapura, sebab orang Singapura yang didominasi oleh warga Tiongkok terkadang menganggap rendah orang asing terutama warga Asia Tenggara. Namun pemikiran tersebut kemudian dibantah oleh fakta bahwa ketika Gabriel sudah tinggal di Indonesia, orang Indonesia lebih ramah dibandingkan dengan orang Singapura. Ketakutannya untuk tidak mendapatkan teman hilang karena teman-temannya menerima dia tanpa melihat latar belakang dan asal negaranya.
ADVERTISEMENT
Selama tinggal di Indonesia Gabriel cukup terkejut bahwa orang Indonesia cenderung lebih santai dalam mengerjakan sebuah pekerjaan, berbeda dengan orang yang ada di negara asalnya. Contoh sederhana ketika sedang berjalan, Gabriel merasa risih dengan cara berjalannya orang Indonesia yang cenderung lambat dan santai. Sama halnya dengan cara berkomunikasi, Gabriel menerangkan jika kebanyakan orang Indonesia lebih suka menyampaikan sebuah informasi secara implisit atau basa-basi (high context culture) oleh karena itu, mereka jarang menggunakan komunikasi non-verbal, Gabriel menambahkan bahwa dia terkadang kesal ketika teman-temannya sering membicarakan sesuatu di luar topik pembahasan, terlebih lagi jika pembicaraanya mengarah pada hal-hal yang privasi. Keterkejutannya ditambah dengan harga barang-barang yang ada di Indonesia, menurutnya ketika dia ingin berbelanja tetapi uang yang dimilikinya sedikit, dia akan pergi ke Batam (Indonesia) atau Johor (Malaysia) karena barang-barang di kedua negara tersebut jauh lebih murah dibandingkan Singapura. Dibalik itu, Gabriel menyayangkan bahwa pasar malam yang ada di Indonesia merupakan tempat yang kumuh. Karena ketika dirinya berada di Singapura, pasar malam merupakan tempat berbelanja yang paling enak sebab selain kebersihannya terjaga, harga barang yang ada di pasar malam Singapura cukup sama dengan harga barang di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selama berada di Indonesia, Gabriel cukup mudah untuk beradaptasi. Gabriel mengatakan jika gaya hidup yang ada di Indonesia dan gaya hidup yang ada di Singapura terbilang mirip. Sebab fasilitas-fasilitas yang cukup lengkap di Indonesia dapat membantu dia untuk hidup seperti di Singapura, selain itu karena warga Indonesia yang ramah terhadap orang asing maka Gabriel dapat cepat menyesuaikan diri untuk mendapatkan teman. Adapun teman- teman yang dia dapatkan di Indonesia, membantu Gabriel dalam berkomunikasi dengan warga lokal. Tentunya, sekarang dia lancar berbahasa Indonesia karena ibu dan teman- temannya membiasakan Gabriel untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia bukan bahasa Inggris. Bahkan aksen yang diucapkan ketika Gabriel berbicara menggunakan bahasa Indonesia merupakan aksen Jawa (medhok). Selain itu karena Gabriel tinggal di Indonesia cukup lama, dia juga mulai percaya terhadap mitos-mitos yang beredar di lingkungannya, menurut dia mitos di Indonesia terbilang unik yang jarang dia dengar di Singapura, seperti mitos jangan duduk di pintu, bersiul tengah malam, dan mitos-mitos lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun sangat disayangkan, ketika Gabriel tinggal di Indonesia dirinya mendapatkan pengalaman yang buruk dengan warga Indonesia lain. Gabriel bercerita ketika dia masih menjadi mahasiswa kesehatan di Indonesia, Gabriel memakai pakaian yang biasa dikenakannya di Singapura, tetapi teman kampusnya menganggap bahwa pakaian yang Gabriel pakai terlalu berlebihan, bahkan ada yang menganggap dirinya pamer. Selain konflik secara pribadi, ayah Gabriel yang memiliki perusahaan di Kalimantan sering di demontrasi oleh sekelompok orang. Demonstrasi tersebut dilakukan dengan tuntutan masyarakat yang berada di sekitar perusahaan diperbolehkan untuk melewati akses jalan perusahaan, ayah Gabriel membantah tuntutan tersebut karena menurutnya jika masyarakat tersebut diperbolehkan untuk melewati jalanan perusahaan, bisa saja terjadi kecelakaan, karena akses jalan tersebut merupakan akses keluar masuknya truk. Akhirnya ayah Gabriel memberikan uang kepada masyarakat tersebut sebagai ganti rugi. Setelah tuntutan tersebut mereda, demonstrasi ternyata dilakukan kembali oleh kelompok yang sama untuk meminta ganti rugi kembali. Kemudian Gabriel menambahkan jika teman-temannya yang pernah ke Indonesia tidak suka dengan Indonesia, karena mereka juga mendapatkan pengalaman yang kurang menyenangkan terutama pemungutan liar (pungli) di kawasan pariwisata.
ADVERTISEMENT
Indonesia Menarik di Mata Orang Asing
Terlepas dari pengalaman yang tidak mengenakan, Gabriel tidak menyesal untuk tinggal di Indonesia. Menurut Gabriel, Indonesia merupakan negara dengan alam yang indah dan budaya yang beragam. Alam Indonesia dapat menghilangkan penat dalam dirinya, kemudian budaya di Indonesia tidak bisa dia temukan di negara lain. Seperti di Kalimantan, Gabriel sangat takjub dengan hutan yang masih lebat dan terjaga, kemudian pulau Bali yang memberikan kenyamanan, dan sejuknya udara taman yang ada di Indonesia memberikan relaksasi bagi tubuh. Sedangkan untuk budayanya sendiri, Gabriel menyukai salah satu karya Indonesia yaitu Batik, ketika mengikuti acara di Indonesia Gabriel juga sempat mengenakan batik, menurutnya batik adalah kain dengan motif yang unik namun tetap fashionable.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, alasan Gabriel tidak menyesal ke Indonesia karena masih banyak orang Indonesia yang ramah kepadanya. Dia menyukai ketika orang Indonesia menyebut dirinya tampan, hal ini tidak pernah dia dapatkan ketika hidup dan tinggal di Singapura. Gabriel juga tidak menyesal untuk kenal dan dekat dengan orang Indonesia. Karena Gabriel bisa banyak belajar tentang hal-hal terkait perbedaan budaya yang ada di Indonesia dengan Singapura dari teman-temannya sendiri. Menurut Gabriel, kehangatan dan keramahan yang dibuat oleh warga Indonesia dapat menarik orang asing untuk pergi ke Indonesia.
Dimensi Budaya Singapura
Sesuai dengan dimensi-dimensi budaya Geert Hofstede, Singapura menurut Gabriel memiliki dimensi budaya berupa kollektivisme, power distance yang rendah, maskulinitas, long term orientation, dan uncertainty avoidance yang tinggi. Dimensi budaya kollektivisme, warga Singapura lebih mengutamakan kepentingan sosial dibandingkan dengan kepentingan individu, contohnya dalam fasilitas umum. Kedua, dimensi budaya Singapura yaitu jarak kekuasaan (power distance) yang rendah, warga Singapura lebih mementingkan kesetaraan dalam hubungan seperti mereka memiliki gaya kepemimpinan yang kolaboratif. Kemudian dimensi budaya Singapura adalah maskulinitas, karena warga Singapura lebih peduli dengan sesuatu yang berhubungan langsung dengan nilai maskulinitas seperti persaingan, ambisi, dan keberhasilan. Selanjutnya dimensi budaya Singapura yaitu long term orientation, warga Singapura lebih mendahulukan keberlanjutan, perencanaan jangka panjang, dan kestabilan, hal ini terlihat dari ekonomi yang maju. Terakhir dimensi budaya Singapura adalah uncertainty avoidance yang tinggi, warga Singapura lebih menyukai sesuatu yang diatur, struktur yang jelas, dan regulasi dalam kehidupannya, seperti pendidikan yang terstruktur.
ADVERTISEMENT
Budaya Singapura dan Perbandingannya dengan Indonesia
Sama halnya dengan Indonesia, warga Singapura percaya terhadap mitos. Mitos yang terkenal adalah penemu negara Singapura sebenarnya bukan melihat singa melainkan macan. Mitos selanjutnya adalah ketika ada seorang nenek yang jualan kerupuk di jam 1 malam ketuk pintu, jangan dibuka karena itu bukan manusia. Adapun cerita yang sekarang menjadi sebuah aturan di Singapura adalah warisan diberikan setelah seseorang sudah meninggal, Gabriel bercerita jika dulu ada seorang ayah yang mewariskan harta ke anaknya, kemudian anak tersebut mengusir ayahnya, cerita atau kasus tersebut terdengar oleh Lee Kuan Yew (LKY) dan akhirnya LKY menjadikan kasus tersebut sebagai peraturan yang berlaku di Singapura.
Menurut Gabriel, beberapa aturan di Singapura tidak ada di Indonesia. Aturan-aturan tersebut diantaranya yaitu dilarang untuk minum dan makan dalam transportasi umum, dilarang untuk meludah sembarangan, dilarang memakan durian di luar, bahkan dilarang untuk membawa rokok elektrik. Selain aturan yang berlaku, hal yang menarik di Singapura adalah warga Singapura tidak semua hafal dengan lagu nasional. Karena Singapura didominasi oleh warga asing, maka ketika menyanyikan lagu nasional Majulah Singapura, kebanyakan dari mereka tidak tahu dan salah dalam pelafalannya sebab lagu nasional tersebut berbahasa Melayu.
ADVERTISEMENT