Konten dari Pengguna

Tradisi Kalangenan: Hilangnya Kewibawaan Sang Garuda

Epul Saepul
Mahasiswa di Universitas Padjadjaran
1 Juli 2024 15:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Epul Saepul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kaki Elang di Konservasi Elang Kamojang. Foto: Claudio Gracia (sudah ada persetujuan).
zoom-in-whitePerbesar
Kaki Elang di Konservasi Elang Kamojang. Foto: Claudio Gracia (sudah ada persetujuan).
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lagu "Garuda di Dadaku" menggambarkan semangat patriotisme dan kebanggaan terhadap lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Namun saat ini, sang Garuda sebagai satwa liar nan langka, harus menghadapi tantangan yang serius serta tidak lagi “menang”. 
Seorang Lektor Kepala Bahasa Sunda Universitas Pendidikan Indonesia Dede Kosasih bercerita, pemeliharaan satwa liar memang sudah ada sejak masa lampau, bahkan ketika kerajaan-kerajaan di Nusantara masih berjaya.
Menurutnya, tradisi pemeliharaan satwa liar berkaitan dengan kesenangan dan kewibawaan dalam diri manusia (prestise sosial). Tradisi pemeliharaan satwa langka ini disebut sebagai tradisi kalangenan atau klangenan.
Mengutip dalam jurnal yang berjudul 'Mitos Kalangenan: Antara Prestise dan Pelestarian Lingkungan' oleh Dede Kosasih, di masa lampau muncul anggapan bahwa,
ADVERTISEMENT
Hal ini berhubungan dengan nilai-nilai sosiokultural masyarakat di jaman itu yang berbentuk mistis-magis, sebab raja yang berkuasa dituntut untuk mampu mengakumulasikan kekuatan sakti sebanyak mungkin.
Hilangnya Kewibawaan Elang
Tradisi pemeliharaan satwa langka atau kalangenan masih banyak dilakukan hingga saat ini. Hanya saja, tradisi ini tidak dilakukan oleh kalangan bangsawan saja, melainkan masyarakat menengah ke atas juga.
Seorang pelaku kalangenan Dudung (34) mempunyai seekor elang berjenis ular bido beralasan, jika dirinya tidak tahu-menahu tentang tradisi kalangenan, hanya saja dia dipandang berani oleh masyarakat setempat karena dapat memelihara elang.
“Saya pelihara elang itu karena suka, kedua jarang ada yang pelihara juga, ketiga ya gagah aja gitu dipeliharanya” celoteh Dudung.
Dudung memelihara elang sejak tahun 2020, saat itu dia mulai menyukai elang dan satwa liar ketika dirinya dirumahkan karena Covid-19. Bahkan saat ini, jual-beli hewan langka dan liar terutama elang menjadi pekerjaan tambahannya.
ADVERTISEMENT
“Saya tahu bahwa ini (jual-beli hewan langka) ilegal, tapi ya bagaimana lagi, orang masih banyak peminatnya” ujar Dudung.
Pernyataan tersebut mencerminkan realitas dilema di mana permintaan pasar atas hewan langka sering kali bertentangan dengan hukum dan keberlanjutan lingkungan. Elang, yang sering kali diperlakukan seperti ayam, menjadi korban utama dalam skenario ini.
Meninjau langsung ke Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK), ditemukan setidaknya terdapat elang yang takut akan pakannya sendiri, bahkan elang tersebut ketika makan, harus disuapi layaknya ayam.
Menurut salah satu dokter hewan di PKEK yakni drh. Naufal Seta Kurnia, hampir sebagian besar pemeliharaan satwa liar, menyebabkan permasalahan yang berkaitan dengan behavior (perilaku) satwa.
“Bisa dibayangkan, setiap hari dikasih hand feeding, disayang-sayang atau beberapa orang juga suka memberi makan dengan model hunting falconary. Nah itu pasti yang datang kesini (PKEK) aneh-aneh perilakunya, yang seharusnya dia bisa mangsa pakan hidup, pakan yang semestinya di alam, sedangkan elang tersebut malah harus disuapin” jelas Naufal.
ADVERTISEMENT
Kewibawaan Garuda sebagai lambang kebanggaan nasional terancam oleh masalah pemeliharaan ilegal. Garuda yang seharusnya terbang jauh menembus awan, saat ini harus terperangkap dalam jeruji besi.
Kalangenan dan Dampak Lain yang Harus Diterima Elang
Tidak hanya kehilangan insting berburunya, penyebab elang masuk ke kawasan konservasi karena mengalami cacat dalam fisiknya. Seperti di PKEK, ditemukan elang yang kehilangan paruh, kaki, maupun sayap.
Berdasarkan pernyataan dari R. Robbi Januari Manager Operasional PKEK, setidaknya dari 134 ekor elang yang berada di kawasan konservasi ini, sebanyak 39 ekor elang sudah tidak dapat kembali ke alam.
“Memang rata-rata itu karena bagian sayapnya patah, kemudian ada juga pada bagian mata karena senapan angin, jadi secara fisiologis sudah tidak bisa dilepasliarkan. Mungkin, pemeliharaan satwa langka termasuk elang, berdampak juga pada populasi elang di dunia” ujar Robbi.
ADVERTISEMENT
Hilangnya kewibawaan elang merupakan tanda betapa seriusnya dampak dari pemeliharaan ilegal dan perdagangan satwa liar. Tradisi kalangenan yang dulunya menjadi simbol prestise sosial, kini berbalik menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup satwa di alam liar.
Meskipun beberapa manusia merasa bangga dengan memelihara elang sebagai hewan peliharaan, realitanya banyak dari burung-burung ini yang menderita secara fisik dan mental. Mereka kehilangan kemampuan alami dalam berburu dan terbang, yang pada akhirnya menghabiskan sisa hidup mereka di dalam kandang.
Perlindungan terhadap elang bukan hanya tentang melindungi satu spesies, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan ekosistem dan menghormati simbol nasional kita, Garuda. Tanpa upaya nyata untuk menghentikan perburuan dan perdagangan ilegal, kewibawaan Garuda sebagai lambang kebanggaan bangsa akan terus tergerus.
ADVERTISEMENT