Dopamine Detox: Kiat Membuat Diri Kita Mengerjakan Aktivitas yang Produktif

Nurramadhani Novanzah
Mahasiswa Psikologi UB
Konten dari Pengguna
23 November 2021 12:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurramadhani Novanzah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dopamine. Foto : Pinterest
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dopamine. Foto : Pinterest
ADVERTISEMENT
Pernahkah kalian menanyakan kepada diri kalian masing-masing, “Kenapa sih aku kok lebih suka bermain game, menjelajah internet, dan menonton film daripada melakukan aktivitas lain seperti belajar, mengikuti kelas daring, mengerjakan tugas dan sebagainya?” Meskipun kita mengetahui aktivitas produktif seperti belajar, mengerjakan tugas, dan aktivitas lainnya tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih, kita cenderung memiliki untuk menghabiskan waktu dengan bermain game, sosial media, dan hal lainnya. Apa sih alasannya? Jawaban secara sederhananya adalah, karena aktivitas seperti bermain game menghasilkan rasa kepuasan yang lebih besar dengan usaha yang lebih kecil daripada aktivitas lain seperti belajar.
ADVERTISEMENT
Rasa kepuasan sendiri dihasilkan oleh sebuah hormon yang bernama Dopamin. Sebelum membahas lebih lanjut, dopamin sendiri adalah salah satu jenis neurotransimmter di otak untuk pembawa pesan kimia yang tubuh produksi secara alami. Dopamin juga merupakan modulator penting dari belajar dan motivasi yang juga berpengaruh kepada suatu tindakan (Berke, J. D. 2018). Dopamin inilah kemudian yang menjadi faktor penting dalam tindakan kalian, karena dopamin merupakan hormon yang bertanggung jawab dalam sistem “penghargaan” dan motivasi dalam otak.
Untuk membuktikan bagaimana dopamin bisa mempengaruhi tindakan, Olds dan Minner (1954) melakukan sebuah eksperimen terhadap tikus dengan cara memberikan stimulus elektronik di Ventral Tegmental Area (VTA) tikus yang dihubungkan kepada sebuah tuas untuk merangsang produksi dopamin di otak tikus tersebut. Hasilnya adalah tikus tersebut akan terus menerus menekan tuas bahkan mengabaikan makan dan minuman. Dan ketika stimulus elektronik tersebut dihentikan, tikus tersebut akan berhenti seolah-olah hilang semangat hidupnya, seperti tidak makan dan minum karena menganggap bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan usaha yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa VTA merupakan pusat kesenangan serta dopamin yang terlibat dalam proses belajar dan motivasi serta kecanduan yang didorong oleh reward. Apa yang diujikan kepada tikus ini juga berlaku terhadap manusia, yakni motivasi dan reward atas tindakan dipengaruhi oleh dopamin.
ADVERTISEMENT
Selain itu, otak juga memiliki kemampuan alami yang bernama Homeostasis. Para ilmuwan sendiri menyebutkan bahwa homeostasis ini adalah keseimbangan normal pada sistem biologis manusia. Kemudian, ketika ada rasa candu yang muncul, hal ini dapat mengganggu keseimbangan yang ada, sehingga muncullah proses adaptasi untuk menciptakan keseimbangan baru, yang disebut allostasis. Menurut Hovart, A. T., dkk, Allostatis merupakan proses penciptaan keseimbangan baru dengan cara adaptif pada sebuah perubahan yang dialami. Hovart, A, T., dkk memberi contoh mengenai allostasis, yaitu ketika ada seseorang yang mengalami kenaikan berat badan, maka ia akan beradaptasi dengan memakai pakaian yang lebih besar sehingga ia dapat merasa lebih nyaman dalam berpakaian. Kemampuan otak untuk beradaptasi inilah yang juga menjadi faktor lain selain dari dopamin kenapa kita bisa nyaman dan suka melakukan aktivitas seperti bermain game.
ADVERTISEMENT
Nah, sekarang kembali lagi ke pertanyaan di awal. Munculnya rasa kepuasan yang dipicu oleh dopamin tanpa harus mengeluarkan banyak usaha ini dapat menciptakan sebuah rasa candu di dalam aktivitas – aktivitas seperti bermain game, menjelajah internet, dan menonton film. Inilah alasan kita menjadi nyaman dan suka melakukan aktivitas – aktivitas tersebut. Sedangkan di dalam aktivitas – aktivitas lain seperti belajar, kita perlu usaha lebih dan juga dopamin yang dihasilkan tidaklah sebanyak bermain game.
Apabila kita sudah terbiasa dengan aktivitas seperti bermain game, maka otak kita kemudian terbiasa melakukan hal – hal tersebut dan bisa menimbulkan sebuah adiksi, dikarenakan rasa kepuasan yang didapat dengan sedikitnya usaha tersebut. Jika sudah terbiasa dengan hal tersebut, sama halnya dengan tikus percobaan tadi, kita mungkin akan menilai bahwa aktivitas lain tidak akan setimpal dengan usaha yang kita lakukan. Hal ini akan menunjukkan bahwa ada penurunan dalam motivasi kita untuk melakukan sesuatu.
Hal di atas kemudian akan menimbulkan pertanyaan lagi, “Bagaimana sih cara untuk membuat diri kita untuk melawan rasa candu tersebut dan mau untuk mengerjakan aktivitas yang usahanya lebih itu?” Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah Dopamine Detox. Mungkin beberapa di antara kalian sudah ada yang tahu dengan apa yang namanya Dopamine Detox. Dopamine detox adalah suatu cara untuk mereset sistem otak sehingga otak bisa terhindar dari suatu rangsangan tertentu yang bisa membuat candu (Kusumaningrum, D. 2021).
ADVERTISEMENT
Kita bisa melakukan dopamine detox ini dengan cara berpuasa atau tidak melakukan aktivitas – aktivitas yang menghasilkan dopamin tinggi dengan usaha sedikit seperti bermain game, menjelajah internet, dan sebagainya. Dan sebagai penggantinya, kita bisa melakukan aktivitas-aktivitas yang lebih produktif seperti berolahraga, membaca, bersih-bersih dan lain-lain. Dengan begini, dalam jangka waktu tertentu ketika kita tidak melakukan aktivitas seperti bermain game, maka kita akan mencari aktivitas pengganti walau dopamin yang dihasilkan tidak sebanyak hal tersebut. Sesuatu yang kita sebelumnya anggap membosankan dapat menjadi menyenangkan karena menerapkan dopamine detox ini. Kita juga bisa menerapkan aktivitas yang memproduksi dopamin tinggi sebagai hadiah atas kita telah melakukan kegiatan yang produktif, seperti menghadiahkan diri kita untuk bermain game setelah melakukan aktivitas belajar. Dengan demikian, kita dapat menyelesaikan aktivitas – aktivitas produktif yang sulit atau membosankan.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Bardgett, M. E., Depenbrock, M., Downs, N., Points, M., And Green, L. (2009). Dopamine modulates effort-based decision making in rats. National Library of Medicine, 123(2), 242 – 251. https://doi:10.1037/a0014625
Bergland, C. (2014). Neuroscientist identify how reward signals are transmitted in the brain. The The NeuroScience of Pleasure and Addiction. https://www.psychologytoday.com/intl/blog/the-athletes-way/201405/the-neuroscience-pleasure-and-addiction
Kusumaningrum, D. (2021). Reset otak dengan dopamine detox. Artikel DJKN. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-samarinda/baca-artikel/14073/Reset-Otak-dengan-Dopamine-Detox.html
Horvath, A. T., Misra, K., Epner, A. K., & Cooper, G. M. How does addiction affect the brain? Addiction CenterSite.net. https://www.centersite.net/poc/view_doc.php?type=doc&id=48370&cn=1408
Hornykiewicz, O. (1966). Dopamine (3-hydroxytyramine) and brain function. Pharmacological reviews, 18(2), 925-964. https://pharmrev.aspetjournals.org/content/18/2/925.short
Wise, R. A. (2004). Dopamine, learning and motivation. Nature Reviews Neuroscience, 5(6), 483-494. https://www.nature.com/articles/nrn1406
ADVERTISEMENT
Berke, J. D. (2018). What does dopamine mean?. Nature Neuroscience, 21(6), 787-793. https://www.nature.com/articles/s41593-018-0152-y