Konten dari Pengguna

Restribusi Parkir dan Prinsip Good Governance: Gampang-gampang Susah

Tri Alamsyah Kurnia Wanto
Mahasiswa Akuntansi Sektor Publik, PKN STAN
3 Februari 2025 22:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Alamsyah Kurnia Wanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://pixabay.com/photos/cars-parking-parking-lot-6381364/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://pixabay.com/photos/cars-parking-parking-lot-6381364/
ADVERTISEMENT
Di kota-kota besar maupun daerah berkembang di Indonesia, parkir adalah kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Setiap hari, jutaan kendaraan membutuhkan tempat parkir, baik di tepi jalan maupun di fasilitas khusus. Di balik rutinitas sederhana ini, tersimpan potensi pendapatan daerah yang sangat besar. Sayangnya, realitas di lapangan sering kali menunjukkan ketidaktertiban, kebocoran retribusi, dan lemahnya tata kelola.
ADVERTISEMENT
Padahal, dengan sistem yang baik, retribusi parkir bisa menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan. Pemerintah daerah bisa memperoleh dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik. Namun, faktanya, berapa banyak dari kita yang benar-benar yakin bahwa uang parkir yang kita bayar masuk ke kas daerah?
Inilah yang disebut sebagai “gampang-gampang susah”. Mengelola retribusi parkir terlihat sederhana—hanya soal memungut tarif dari pengguna. Tetapi dalam praktiknya, tanpa tata kelola yang transparan dan akuntabel, potensi besar ini bisa bocor di sana-sini. Maka, timbul pertanyaan bagaimana seharusnya retribusi parkir dikelola agar selaras dengan prinsip-prinsip good governance dan benar-benar memberikan manfaat bagi daerah?
Pemerintahan yang baik bukan hanya sekadar slogan tanpa makna, melainkan sebuah prinsip fundamental dalam tata kelola negara. Konsep ini tertuang secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menetapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagai pedoman dalam setiap kebijakan publik, termasuk dalam pengelolaan retribusi parkir. Dengan penerapan prinsip good governance, sistem retribusi parkir dapat dikelola secara transparan, akuntabel, dan efisien, sehingga dapat memberikan manfaat maksimal bagi pemerintah daerah dan masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Prinsip Good Governance dalam Pengelolaan Retribusi Parkir
1. Kepastian Hukum
Prinsip kepastian hukum menegaskan bahwa kebijakan retribusi parkir harus memiliki dasar hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan (Fuadi et al., 2020). Tarif parkir harus diatur dalam peraturan daerah yang tegas, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penetapan maupun pemungutannya. Selain itu, regulasi yang jelas akan memastikan masyarakat memiliki kepastian dalam membayar retribusi, sementara pemerintah daerah dapat memastikan bahwa setiap rupiah yang dipungut masuk ke dalam kas daerah secara sah.
Pada pelaksanaannya, daerah yang kita anggap sebagai role model tata kelola pemerintah yang baik seperti Provinsi Daerah Khusus Jakarta pun masih mengalami permasalahan tumpang tindih dasar hukum pemungutan retribusi parkir. Tumpang tindih peraturan itu juga yang akan menyebabkan pemungutannya tidak optimal dan target pendapatan menjadi tidak tercapai. Pada tahun anggaran 2023, Kepala Bapenda Provinsi DKI Jakarta Lusiana Herawati mengakui saat menyusun target pajak parkir masih mengacu pada Perubahan Perda Nomor 16 tentang pajak parkir yang menetapkan tarif sebesar 30 persen. Sehingga target yang dibuat adalah sebesar Rp800 Miliar. Namun, Perda tersebut berseberangan dengan UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dimana pada pasal 50 menyebutkan bahwa retribusi parkir termasuk dalam Objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Selanjutnya dalam Pasal 58 disebutkan bahwa tarif PBJT dikenakan paling besar 10 persen.
ADVERTISEMENT
2. Akuntabilitas dan Pengawasan
Akuntabilitas adalah faktor utama dalam memastikan pengelolaan retribusi parkir berjalan dengan baik. Pemerintah daerah harus memiliki sistem audit yang mampu mendeteksi adanya penyimpangan atau kebocoran dalam penerimaan retribusi (Nurillah & Muid, 2014). Pengawasan terhadap petugas parkir—baik yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta—harus dilakukan secara ketat dan berkelanjutan. Tanpa sistem yang akuntabel, potensi penyalahgunaan sangat besar, baik oleh oknum petugas di lapangan maupun pihak lain yang berkepentingan.
3. Transparansi dan Keterbukaan Informasi
Masyarakat harus diberikan akses terhadap informasi mengenai pendapatan dari retribusi parkir serta penggunaannya. Meskipun pemerintah daerah telah melakukan pelaporan dalam bentuk Laporan Keuangan Tahunan mengenai jumlah penerimaan dan realisasi belanja, alangkah lebih baik apabila earmarking dari retribusi parkir dilaporkan dengan jelas juga sehingga masyarakat mengetahui penggunaan khusus untuk retribusi parkir ini apakah untuk meningkatkan pelayanan atau digunakan untuk hal lain (Suqya, 2012). Memberikan informasi bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban tetapi juga harus bermanfaat dan jelas bagi penerima informasinya.
ADVERTISEMENT
4. Efisiensi dengan Pemanfaatan Teknologi
Pemerintah daerah harus memastikan bahwa biaya pemungutan retribusi tidak lebih besar daripada pendapatan yang dihasilkan serta menggunakan teknologi yang lebih modern agar sistem lebih efektif. Digitalisasi dalam pengelolaan parkir, seperti penerapan e-parking atau sistem pembayaran non-tunai, dapat menjadi solusi dalam mengurangi kebocoran dan meningkatkan efisiensi. Kota-kota seperti Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya telah menerapkan e-parking di beberapa titik strategis, yang terbukti mampu meningkatkan penerimaan daerah karena mengurangi kebocoran dari pungutan liar (Rahayu et.al., 2023).
Potensi Pendapatan dari Retribusi Parkir
Di tengah meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di Indonesia, retribusi parkir memiliki potensi besar sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Setiap hari, jutaan kendaraan—baik mobil maupun sepeda motor—memenuhi ruas jalan, pusat perbelanjaan, pasar, hingga fasilitas umum lainnya. Dengan tingginya kebutuhan akan tempat parkir, seharusnya pemerintah daerah bisa mengoptimalkan retribusi parkir sebagai sumber pendapatan yang stabil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kasus, pendapatan dari retribusi parkir bahkan bisa mencapai miliaran rupiah per tahun jika dikelola dengan baik. Sebagai contoh, di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, parkir di area strategis bisa menghasilkan pendapatan signifikan. Di Jakarta, penerapan sistem e-parking di beberapa titik strategis telah meningkatkan penerimaan daerah secara drastis karena mengurangi kebocoran dari pungutan liar. Namun, banyak daerah lain yang belum mampu mengoptimalkan potensi ini, sehingga jumlah retribusi yang masuk ke kas daerah masih jauh dari angka ideal. Sebagai ilustrasi, Kota Jakarta pada tahun 2023 menargetkan pendapatan dari retribusi parkir sebesar Rp800 Miliar, namun realisasinya hanya mencapai sekitar Rp232 miliar di triwulan kedua akibat sistem yang belum maksimal dan tumpang tindih aturan. Kota-kota besar lainnya di Indonesia pun menghadapi masalah serupa, di mana potensi yang ada tidak bisa dimaksimalkan karena lemahnya tata kelola.
ADVERTISEMENT
Sumber pendapatan dari retribusi parkir dapat berasal dari berbagai skema, mulai dari parkir di badan jalan (on-street parking), parkir di area khusus (off-street parking), parkir di pusat perbelanjaan, hingga parkir kendaraan umum seperti terminal dan stasiun. Jika semua sektor ini dikelola dengan baik, potensi retribusi parkir dapat menjadi salah satu penyumbang utama dalam meningkatkan PAD. Sayangnya, kurangnya regulasi yang ketat dan sistem pengawasan yang lemah sering kali menyebabkan kebocoran yang cukup besar.
Selain itu, potensi pendapatan dari retribusi parkir juga berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah kendaraan di suatu daerah. Dengan meningkatnya urbanisasi dan mobilitas masyarakat, kebutuhan akan parkir akan terus bertambah. Jika pemerintah daerah mampu menerapkan tarif yang adil, sistem pembayaran yang transparan, serta pengawasan yang ketat, maka pendapatan dari sektor ini dapat meningkat secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Potensi yang besar diperlukan sistem yang optimal juga untuk memungutnya. Perubahan pola masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi terutama dalam hal pembayaran transaksi juga perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah. Apabila selama ini kita melihat parkir berbasis elektronik hanya dilakukan di pusat perbelanjaan atau gedung-gedung kantor, sebaiknya pemerintah daerah perlu mempertimbangkan sistem yang sama pada berbagai tempat publik agar lebih teratur dan transparan. Kita perlu belajar ke banyak negara yang sudah mengadopsinya dan berjalan lancar.
Disamping metode yang optimal, penegakan hukum dan landasan hukum yang jelas juga menjadi penyokong penting untuk menjaring potensi pendapatan retribusi parkir. Aturan yang jelas dari hulu ke hilir hingga implementasinya perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah. Apabila sistem elektronik belum bisa diterapkan dengan maksimal sehingga masih memerlukan banyak tenaga manusia maka manusia tersebut harus memahami dan menaati peraturan yang ada. Penyuluhan diberikan tidak hanya kepada penyedia parkir tetapi juga pengguna parkir. Apabila petugas parkir dan pengguna parkir saling memahami peraturan, hak dan kewajiban satu sama lain dapat mengecilkan gesekan yang terjadi dalam melaksanakan kebijakan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Langkah ketiga yang perlu dilakukan pemerintah daerah adalah terkait pengawasan. Apabila sistem dan peraturan sudah dibuat dengan baik, tentu masih ada potensi untuk melanggarnya. Hal itu harus ditangani dengan meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap oknum-oknum yang melakukan pelanggaran. Pengawasan dan penindakan memerlukan koordinasi dari berbagai perangkat yang ada di lingkungan pemerintah daerah seperti Kepolisian, Satpol PP, Dinas Perhubungan, dan masyarakat sekitar. Adanya koordinasi dan kerjasama yang baik akan mencerminkan prinsip good governance yang akan meningkatkan potensi-potensi di sektor lain.
Daftar Pustaka:
Fuadi, F. H., Radjab, A. M., & Nurzaman, R. A. (2020). ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN LAHAN PARKIR JALAN UMUM KOTA BANDUNG SEBAGAI TEMPAT USAHA MOBIL TOKO. Jurnal Legislatif, 3(2), 201–218.
ADVERTISEMENT
Nurillah, A. S., & Muid, D. (2014). Pengaruh kompetensi sumber daya manusia, penerapan sistem akuntansi keuangan daerah (sakd), pemanfaatan teknologi informasi, dan sistem pengendalian intern terhadap kualitas laporan keuangan pemerintah daerah (studi empiris pada skpd kota depok) (Doctoral dissertation, Fakultas Ekonomika dan Bisnis).
Suqya, H. R. (2012). Kewenangan Pemerintah Kota Surakarta Terkait Penyelenggaraan Perpajakan Perparkiran Dalam Rangka Desentralisasi Fiskal.
Sri Endang Rahayu, Handayani, R., & Hastina Febriaty. (2023).
Potensi Retribusi Parkir Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Medan, Sebelum dan Sesudah Penerapan E-Parkir. Owner, 7(4), 2702–2711. https://doi.org/10.33395/owner.v7i4.1936
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. LN No.292. TLN No. 5601.