Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Opsen Pajak: Solusi Kemandirian Fiskal atau Beban Baru bagi Masyarakat?
3 Februari 2025 12:33 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Luh Candra Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sumber: unsplash.com](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jk2zx38vjfzv7t7hqfdt77d2.jpg)
ADVERTISEMENT
Kemandirian fiskal daerah adalah kemampuan suatu daerah untuk membiayai kebutuhan pembangunan dan operasional pemerintahan secara mandiri, terutama melalui pendapatan asli daerah (PAD). PAD mencakup pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, serta pendapatan lain-lain yang sah. Tingkat kemandirian fiskal suatu daerah sering diukur dari proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah. Dengan kemandirian fiskal, suatu daerah dapat membiayai berbagai program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal. Selain itu, hal ini juga dapat mengurangi ketergantungan daerah akan dana transfer pemerintah pusat. Kemandirian fiskal juga dapat mendorong daerah untuk menggali potensi sumber daya lokal, memperbaiki tata kelola, serta menciptakan kebijakan yang inovatif.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan kemandirian fiskal daerah melalui berbagai kebijakan untuk meningkatkan PAD, salah satunya dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Undang-Undang ini dirancang untuk mewujudkan desentralisasi fiskal yang adil, transparan, dan akuntabel. Secara umum UU HKPD dilandasi 4 (empat) pilar utama yang bertujuan untuk memperkuat desentralisasi fiskal melalui pengalokasian sumber daya yang efisien dan efektif, antara lain:
1. Mengurangi ketimpangan horizontal dan vertikal menuju pemerataan layanan dan kesejahteraan;
2. Penguatan local taxing power dengan tetap menjaga perekonomian;
3. Meningkatkan kualitas belanja daerah agar lebih efisien, produktif, dan akuntabel; serta
4. Harmonisasi belanja pusat dan daerah untuk mencapai tujuan nasional.
ADVERTISEMENT
Adapun hal yang diatur terkait penguatan local taxing power sesuai Pilar 2 (dua), salah satunya adalah upaya perluasan basis pajak dengan opsen pajak provinsi dan kabupaten/kota sebagai penggantian skema bagi hasil dan penyesuaian kewenangan tanpa tambahan beban Wajib Pajak. Opsen pajak memperluas sinergi pemungutan dan mempercepat penyaluran pajak yang sebelumnya dibagihasilkan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sehingga dalam jangka panjang diharapkan tercapai peningkatan penerimaan pajak. Opsen pajak adalah pungutan tambahan berdasarkan persentase tertentu. Ada 3 (tiga) jenis pajak daerah yang dikenai opsen yaitu opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Sesuai ketentuan UU HKPD, opsen PKB dan BBNKB merupakan objek pajak dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota, sedangkan opsen pajak MBLB merupakan objek pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi. Ketentuan ini mulai berlaku efektif pada 5 Januari 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan daerah tanpa harus menaikkan tarif pajak yang ada. Akan tetapi, hal ini memicu berbagai reaksi dari masyarakat, terutama terkait kekhawatiran bahwa opsen pajak akan meningkatkan beban pajak yang harus dibayar. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana mekanisme opsen pajak serta dampaknya terhadap keuangan daerah dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Opsen Pajak: Pengalihan Skema, Bukan Pajak Tambahan
Kesalahpahaman utama tentang opsen pajak adalah anggapan bahwa kebijakan ini akan menjadi pungutan baru bagi masyarakat. Padahal, opsen pajak merupakan mekanisme pengalihan skema bagi hasil pajak (earmarking) antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Dengan opsen pajak, pemerintah kabupaten/kota akan menerima bagian secara langsung tanpa harus menunggu distribusi dari pemerintah provinsi. Seperti yang telah ditetapkan dalam UU HKPD, tarif opsen PKB dan BBNKB ditetapkan sebesar 66% dari besaran pajak terutang. Untuk memperjelas ketentuan ini, berikut merupakan contoh skema penghitungan opsen PKB dan opsen BBNKB.
Opsen PKB
Misalkan Tuan A membeli kendaraan bermotor senilai Rp200 juta. Kendaraan tersebut merupakan kendaraan kepemilikan pertama. Diketahui tarif PKB yang berlaku adalah 1,1%. Maka perhitungan pajak atas Tuan A adalah sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
PKB terutang = 1,1% x Rp200 juta = Rp2,2 juta (pemprov). Opsen PKB = 66% x Rp2,2 juta = Rp1,45 juta (pemkab/pemkot). Total pemungutan sebesar Rp3,65 juta atau setara dengan 1,8% dari nilai jual kendaraan. Angka ini masih di bawah batas maksimum tarif PKB yang diatur dalam UU PDRD yaitu 2%.
Opsen BBNKB
Misalkan Tuan B membeli kendaraan bermotor senilai Rp500 juta di Kota X pada tahun 2024. Kendaraan ini merupakan pembelian pertamanya. Diketahui tarif BBNKB di Kota X sebesar 10% untuk kendaraan pertama. Maka Tuan B akan dikenakan pajak sebesar dengan perhitungan seperti berikut.
BBNKB terutang = 10% x Rp500 juta = Rp50 juta (pemprov). Opsen BBNKB = 66% x Rp50 juta = Rp33 juta (pemkab/pemkot). Total pemungutan sebesar Rp83 juta atau setara 16,6% dari nilai jual kendaraan. Angka ini masih di bawah batas maksimum tarif BBNKB sebagaimana diatur dalam UU PDRD yaitu 20%.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, opsen pajak tidak meningkatkan beban pajak bagi masyarakat secara keseluruhan, tetapi lebih pada restrukturisasi mekanisme distribusi pajak untuk meningkatkan efisiensi.
Mengapa ada Opsen Pajak?
Tujuan utama dari opsen pajak adalah untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah dengan memberikan sumber pendapatan yang lebih stabil dan langsung kepada pemerintah kabupaten/kota. Dengan skema ini, daerah tidak perlu lagi bergantung pada transfer dari pemerintah provinsi, sehingga alokasi anggaran untuk pembangunan daerah dapat dilakukan lebih cepat dan efektif. Selain itu, penerimaan pajak yang lebih langsung memungkinkan daerah untuk lebih fleksibel dalam merancang kebijakan pembangunan dan layanan publik. Dengan adanya kepastian penerimaan pajak, daerah dapat meningkatkan kualitas infrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan, serta sektor lainnya yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Meskipun opsen pajak bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kemandirian fiskal, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada komunikasi yang baik dan implementasi yang transparan. Minimnya sosialisasi menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap konsep opsen yang berpotensi menimbulkan resistensi dan ketidakpatuhan. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu memperkuat komunikasi publik untuk menegaskan bahwa opsen tidak menambah beban pajak. Informasi yang jelas dan transparan mengenai bagaimana mekanisme opsen pajak serta manfaatnya bagi daerah harus disampaikan secara masif melalui berbagai saluran komunikasi. Selain itu, transparansi dan pengawasan dalam pemanfaatan dana hasil opsen juga harus diperhatikan. Pemerintah kabupaten/kota sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemungutan opsen PKB dan opsen BBNKB harus memastikan penggunaannya untuk kepentingan masyarakat, misalnya dalam perbaikan infrastruktur jalan dan transportasi publik, sesuai dengan prinsip earmarking pajak. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu menetapkan sistem akuntabilitas yang jelas dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan anggaran.
ADVERTISEMENT
Opsen pajak seharusnya dipandang sebagai langkah strategis dalam memperkuat desentralisasi fiskal. Kebijakan ini layak diimplementasikan sebagai bagian dari upaya bersama untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mempercepat pembangunan di Indonesia. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada transparansi dalam pengelolaan serta komunikasi yang efektif kepada masyarakat. Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat akan lebih menerima kebijakan ini sebagai langkah positif dalam memperkuat keuangan daerah dan meningkatkan pelayanan publik.