Konten dari Pengguna

Pajak Berganda PBJT dan PPN atas Tenaga Listrik Menyalahi Aturan?

I Nyoman Pandu Natta Wijaya
Mahasiswa D4 Akuntansi Sektor Publik Alih Program PKN STAN
7 Februari 2025 18:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Nyoman Pandu Natta Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: diolah penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: diolah penulis
ADVERTISEMENT
Listrik merupakan kebutuhan dasar yang penting bagi masyarakat, dunia usaha, dan industri. Sebagai sumber energi utama dalam kehidupan modern, listrik memiliki peran strategis dalam mendukung aktivitas ekonomi, produktivitas industri, serta kesejahteraan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, kebijakan perpajakan yang diterapkan pada tenaga listrik harus mempertimbangkan keadilan, efisiensi, dan dampaknya terhadap berbagai sektor.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam sistem perpajakan Indonesia, tenaga listrik dikenakan dua jenis pajak, yaitu Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang dipungut oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut oleh pemerintah pusat. Pengenaan kedua pajak ini menimbulkan fenomena pajak berganda, di mana beban pajak menjadi berlipat ganda bagi konsumen dan pelaku usaha. Hal ini akan meningkatkan biaya listrik, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi daya beli masyarakat dan daya saing industri.
Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas tenaga listrik ini merupakan bagian dari pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Diatur lebih lanjut pada pasal 52 ayat (1), pajak daerah atas PBJT Tenaga Listrik dikenakan atas penggunaan tenaga listrik oleh konsumen akhir, kecuali digunakan oleh pihak-pihak tertentu atau listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas di bawah batas tertentu yang diatur dengan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam pasal 52 ayat (2). Tarif PBJT atas tenaga listrik sendiri diatur lebih lanjut oleh masing-masing daerah melalui perda dengan tarif maksimal 10%.
ADVERTISEMENT
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas tenaga listrik sendiri dikenakan dengan tarif 12% per 1 Januari 2025 untuk pelanggan dengan daya 6600 VA ke atas, sementara listrik yang menggunakan daya lebih rendah atau untuk keperluan ibadah atau kegiatan sosial umumnya diberikan fasilitas pembebasan PPN.
Permasalahan muncul ketika konsumen akhir menggunakan listrik dengan daya 6600 VA ke atas, karena kedua pajak ini dikenakan pada objek yang sama, yakni konsumsi atas tenaga listrik, maka konsumen akhir tersebut akan dikenakan PBJT atas tenaga listrik dan PPN. Hal ini akan menimbulkan efek ekonomi seperti meningkatnya biaya listrik bagi rumah tangga dan pelaku usaha yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada daya saing industri hingga daya beli masyarakat.
ADVERTISEMENT
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi listrik nasional terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan ekspansi industri. Jika beban pajak terus meningkat, maka tarif listrik yang harus dibayar oleh masyarakat dan industri juga akan semakin tinggi. Hal ini dapat berimbas pada kenaikan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap inflasi.
Dari perspektif dunia usaha, pengenaan pajak berganda atas listrik juga menjadi hambatan dalam meningkatkan daya saing industri nasional. Listrik merupakan komponen biaya produksi yang signifikan, terutama bagi sektor manufaktur, perhotelan, dan bisnis berbasis teknologi. Ketika tarif listrik menjadi mahal akibat pajak bertumpuk, maka harga produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri akan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain yang menerapkan sistem perpajakan yang lebih sederhana dan kompetitif.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dari sisi administrasi perpajakan, pajak berganda ini menambah kompleksitas bagi pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Perbedaan aturan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan pajak listrik sering kali menimbulkan kebingungan dan meningkatkan beban administratif. Akibatnya, banyak pelaku usaha yang kesulitan dalam melakukan perhitungan pajak dengan benar, yang dapat berujung pada sanksi akibat kesalahan administrasi.
Aturan yang berlaku saat ini
Untuk menghindari pajak berganda, pemerintah sendiri melalui Menteri Keuangan pada 30 Maret 2022 telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70/PMK. 03/2022 tentang Kriteria dan/atau Rincian Makanan dan Minuman, Jasa Kesenian dan Hiburan, Jasa Perhotelan, Jasa Penyediaan Tempat Parkir, serta Jasa Boga atau Katering yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, yang mulai berlaku 1 April 2022. Di sini memang belum disebutkan PBJT atas tenaga listrik sehingga masih terdapat peluang pemajakan berganda atas konsumsi tenaga listrik.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya masih ada beberapa objek pajak daerah dan dikenakan PPN, namun biasanya ada pengecualian atau atas transaksi tertentu, tabel berikut dapat membantu pembaca untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan tersebut:
Melihat pengenaan PPN dan Pajak Daerah atas empat objek pajak di atas, seharusnya PBJT atas Tenaga Listrik dapat mereplikasi aturan pengecualian PPN sebagaimana pada Pajak Reklame dan Pajak Air Tanah. Sehingga atas konsumsi tenaga listrik yang digunakan sendiri tidak perlu dikenakan PPN terlepas dari seberapa besar daya listrik yang digunakan. Jika dilihat dari sisi keadilan dan kepastian hukum, apabila pemerintah memberikan fasilitias pembebasan PPN atas konsumsi tenaga listrik untuk keperluan pribadi, maka akan selaras dengan pengenaan pajak daerah yang lain. Hal ini juga sejalan dengan pandangan bahwa jika suatu objek pajak sudah dikenakan pajak daerah, maka tidak perlu dikenakan PPN.
ADVERTISEMENT
Perspektif lain terkait pengenaan PPN dan PBJT Tenaga Listrik
Sebagian pihak berpendapat bahwa pengenaan PBJT dan PPN atas tenaga listrik sah-sah saja karena kedua pajak ini memiliki dasar hukum yang berbeda. PBJT merupakan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, termasuk penerangan jalan umum. Sementara itu, PPN merupakan pajak konsumsi yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara secara keseluruhan.
Namun, meskipun memiliki dasar hukum yang berbeda, faktanya kedua pajak ini dikenakan pada objek yang sama, yaitu konsumsi listrik. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan pajak, di mana pajak seharusnya tidak dikenakan secara berulang pada transaksi yang sama. Dalam banyak negara, sistem perpajakan dirancang untuk menghindari pajak berganda agar tidak membebani masyarakat dan sektor usaha secara berlebihan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan dan saran
Pengenaan pajak berganda atas tenaga listrik melalui PBJT dan PPN bukan merupakan kebijakan yang menyalahi aturan, namun kebijakan ini masih perlu dikaji ulang karena berpotensi menimbulkan beban perpajakan ganda bagi konsumen dan dunia usaha. Pajak bertumpuk ini berpotensi meningkatkan harga listrik, mengurangi daya beli masyarakat, serta melemahkan daya saing industri nasional.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah perlu melakukan harmonisasi kebijakan perpajakan agar sistem perpajakan lebih sederhana, adil, dan efisien. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah menghapus menghapus atau memberi fasilitas PPN atas konsumsi tenaga listrik bagi konsumen individu agar beban pajak tidak berlebihan. Selain itu, transparansi dalam penggunaan pajak daerah juga perlu ditingkatkan agar masyarakat mendapatkan manfaat yang sebanding dengan pajak yang mereka bayar.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya reformasi dalam kebijakan pajak tenaga listrik, diharapkan sistem perpajakan Indonesia dapat menjadi lebih adil, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan tidak memberatkan masyarakat serta dunia usaha.