Konten dari Pengguna

Suryakencana: Padatnya Parkiran Sasar Penerimaan dan Hindari Kemacetan

Talitha Karindra Anandadin
Praktisi Perpajakan, ASN Kementerian Keuangan. Tulisan merupakan opini pribadi dan tidak mencerminkan pandangan Instansi.
9 Februari 2025 12:00 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Talitha Karindra Anandadin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jalan Suryakencana, Bogor. (sumber: penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Jalan Suryakencana, Bogor. (sumber: penulis)
ADVERTISEMENT
Tak hanya dikenal dengan julukan ‘Kota Hujan’, Kota Bogor juga cukup terkenal sebagai destinasi wisata kuliner. Tersedia berbagai pilihan tempat makan, mulai dari restoran hingga warung makan di pinggir jalan, yang menjamur di beberapa wilayah di Kota Bogor. Jalan Suryakencana menjadi salah satu jalan di Kota Bogor yang menawarkan berbagai pilihan wisata kuliner. Jalan yang terletak tidak jauh dari Pasar Bogor ini merupakan jalan satu arah yang berada di Kecamatan Bogor Tengah. Sebagai salah satu pusat kuliner dan perdagangan, Jalan Suryakencana seringkali dipadati oleh kendaraan, terutama di waktu kegiatan ekonomi sedang ramai-ramainya, yakni mulai dari pukul 08.00-17.00 WIB. Di sisi lain, keberadaan lahan parkir di sepanjang badan jalan menambah kepadatan lalu lintas ditambah karakteristiknya yang bercampur antara kendaraan roda dua dan roda empat. Tidak mengherankan jika Jalan Suryakencana termasuk dalam kategori tempat parkir tepi jalan umum rawan kemacetan sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Walikota Bogor Nomor 100.3.3.3/KEP.315-Dis.Hub/2024 tentang Tempat Parkir di Tepi Jalan Umum dan Tempat Khusus Parkir di Kota Bogor.
ADVERTISEMENT
Meskipun menimbulkan kemacetan, aktivitas parkir di tepi jalan ini turut menopang penerimaan daerah Kota Bogor melalui biaya parkir yang dipungut dari pengguna kendaraan. Namun dalam pelaksanaannya, masih ditemui beberapa pengguna yang keberatan membayar biaya parkir ini. Salah satu kejadian yang masih hangat melibatkan seorang pengendara mobil yang mengaku diminta membayar biaya parkir dengan tarif sebesar Rp20.000,- oleh pengelola setempat saat parkir di sebuah lahan di samping Pujasera Jalan Suryakencana. Menanggapi hal tersebut, Marse Hendra Saputra selaku Kadishub Kota Bogor mengatakan bahwa pemungutan tarif parkir beserta juru parkir bukan merupakan kewenangan Dinas Perhubungan (Dishub) karena lahan parkir merupakan lahan pribadi. Menurutnya, tarif parkir di lahan pribadi merupakan wewenang Badan Penerimaan Daerah (Bapenda). Lalu apa saja yang membedakan keduanya?
ADVERTISEMENT
Perbedaan Pajak Parkir dan Retribusi Parkir
Ada dua jenis pungutan terkait parkir yang tampak serupa tapi sebenarnya tak sama, yakni Pajak Parkir dan Retribusi Parkir. Walaupun keduanya diatur dalam peraturan daerah Kota Bogor, terdapat perbedaan mendasar dalam aspek pengenaan, pengelolaan, dan tujuan.
ADVERTISEMENT
Perbedaan yang mencolok antar keduanya masih bisa dilihat langsung oleh pengguna parkir. Biasanya, pemungutan retribusi parkir masih menggunakan karcis parkir yang diberikan oleh juru parkir berseragam warna biru dan memiliki Kartu Jukir (Kartu Juru Parkir) sedangkan pajak parkir biasanya dikenakan juga pada lahan parkir milik ruko dan toko-toko modern bertuliskan ‘BEBAS PARKIR’.
Potensi Penerimaan dari Parkir di Tepi Jalan
Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk melaksanakan pembangunan serta berperan dalam menentukan keberhasilannya agar dapat menghasilkan outcome berupa peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Begitupun Pemda Kota Bogor yang memerlukan ketersediaan dana serta kemampuan pengelolaan pendapatan dan pengeluaran berdasarkan prinsip “uang mengikuti fungsi” (money follow function). Oleh karena itu, pemda diharapkan dapat mengoptimalkan pendapatan daerahnya dari berbagai sumber dalam rangka menyediakan dana atau kapasitas keuangan. Salah satu sumber pendapatan daerah ialah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan pendapatan dari pelaksanaan kegiatan pemerintahan, pengelolaan sumber daya yang dimiliki, serta pemberian layanan kepada masyarakat (Anggoro, 2017 dalam Helly Aroza). Salah satu sumber keuangan daerah dalam struktur PAD menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 antara lain berasal dari retribusi daerah.
Data penerimaan dari kinerja pengelolaan parkir tahun 2020-2024. (sumber: diolah penulis)
Dilihat dari kinerja pengelolaan parkir tahun 2020-2024, retribusi parkir di tepi jalan umum berhasil menyumbangkan rata-rata hampir dua milyar rupiah setiap tahunnya terhadap PAD Kota Bogor. Realisasi retribusi parkir tepi jalan umum juga cukup konsisten meningkat setiap tahunnya meskipun realisasi yang melampaui target kinerja hanya terjadi pada tahun 2020. Di sisi lain, terjadi penurunan realisasi retribusi parkir tepi jalan umum yang tajam pada tahun 2021 sebesar Rp520.422.000,-. Salah satu penyebabnya ialah revitalisasi sepuluh koridor Jalan Suryakencana selama tujuh bulan yang selesai pada November 2021. Penutupan parsial diberlakukan selama revitalisasi agar proyek bisa berjalan tanpa mengganggu aktivitas masyarakat secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Realisasi retribusi parkir tepi jalan umum yang tertinggi terjadi pada tahun 2024. Hal ini sejalan dengan pembaruan aturan terkait tarif retribusi parkir di tepi jalan umum rawan kemacetan yang berlaku sejak bulan Januari 2024. Perbedaan mencolok antara Perda Kota Bogor Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah dan Perda Kota Bogor Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terletak pada sifat dari tarif retribusi parkir di tepi jalan umum yang rawan kemacetan sebagaimana pada tabel berikut.
Perbandingan tarif retribusi parkir di tepi jalan umum rawan kemacetan antara Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 4 Tahun 2012 dan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 11 Tahun 2023. (sumber: diolah penulis)
Melalui Perda Nomor 11 Tahun 2023, pemda Kota Bogor mengenakan tarif progresif pada pengguna parkir di tepi jalan umum rawan kemacetan yang telah menggunakan parkir elektronik, seperti meteran parkir dan/atau palang parkir otomatis. Besaran tarif yang lebih kecil pada perda terbaru ini justru dapat meningkatkan penerimaan retribusi. Misal, rata-rata lamanya mobil parkir di pinggir Jalan Suryakencana adalah 2,5 jam. Tiap pengguna mobil wajib membayar retribusi parkir sebesar Rp4.000,- x 3 jam, yaitu Rp12.000,- karena tiga puluh menit tetap dihitung satu jam. Anggaplah ada seratus mobil parkir dengan durasi yang sama dalam sehari, maka pengguna parkir sudah menyumbang Rp1.200.000,- pada penerimaan retribusi. Dengan menggunakan Perda Nomor 4 Tahun 2012, pengguna parkir pada skema ini hanya mampu menyumbang setengahnya saja, yakni Rp600.000,- karena berapapun lamanya parkir, tarif yang dibayarkan tetap Rp6.000,-.
ADVERTISEMENT
Dari contoh sederhana ini, dapat disimpulkan bahwa penggunaan tarif progresif memiliki beberapa manfaat, di antaranya memberikan kontribusi lebih besar pada penerimaan retribusi parkir dari kendaraan yang parkir lebih lama serta mengendalikan durasi parkir sehingga mengurangi kemacetan.
Tantangan Pemungutan Retribusi Parkir di Tepi Jalan Suryakencana
Saat ini, pembayaran retribusi parkir di tepi Jalan Suryakencana masih menggunakan uang tunai melalui juru parkir dengan karcis sebagai tanda bukti parkir. Tarif retribusi yang dikenakan masih bersifat tunggal sesuai Perda Nomor 11 Tahun 2023 karena belum menggunakan parkir elektronik. Mobil dikenakan tarif Rp4.000,-/satu kali parkir dan motor dikenakan tarif Rp3.000,-/satu kali parkir. Walaupun tarif yang dikenakan lebih rendah daripada tarif yang diatur pada perda sebelumnya, masih ada beberapa pengguna parkir yang enggan membayar sesuai tarif yang ditetapkan. Persepsi terkait tingginya tarif dapat menyebabkan beberapa pengguna parkir membayar retribusi di bawah tarif yang seharusnya dan juru parkir tidak dapat berbuat apa-apa karena ingin terhindar dari cekcok. Kondisi ini juga dapat menciptakan praktek ‘parkir liar’. Beberapa pengguna parkir lainnya berpotensi melakukan tawar-menawar ongkos parkir dengan juru parkir tanpa diiringi penyerahan karcis. Pada kondisi lain, pengguna parkir mungkin akan terdorong untuk mencari alternatif parkir ilegal dengan membayar ongkos parkir kepada pihak selain juru parkir. Tantangan ini perlu segera diantisipasi agar lalu lintas Jalan Suryakencana tetap terkendali dan penerimaan dari retribusi dapat meningkat hingga melampaui target pada tahun-tahun berikutnya.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi: Sosialisasi dan Digitalisasi
Tantangan dalam pemungutan retribusi datang dari penolakan pengguna parkir membayar tarif sesuai aturan yang ditetapkan. Oleh karena itu, langkah awal yang diperlukan adalah melakukan kajian objektif terhadap kesediaan masyakarat dalam membayar parkir secara sukarela atau biasa disebut dengan Willingness to Pay (WTP) dalam teori ekonomi. Sejatinya, manusia bersedia membayar untuk sesuatu yang langsung memberikan manfaat kepadanya. Dengan demikian, masyarakat umumnya akan bersedia membayar retribusi parkir jika relatif mudah dalam mendapatkan tempat parkir atau kepadatan kendaraan yang hendak parkir berkurang, keamanan dan kenyamanan memarkir kendaraan terjamin, tempat memarkir kendaraan relatif bersih, dan mekanisme pembayaran yang lebih mudah. Cara meningkatkan WTP adalah dengan membangun kesadaran sosial bahwa membayar retribusi parkir sama dengan berkontribusi pada Kota Bogor, melalui sosialisasi lewat media sosial dan memasang papan pengumuman terkait aturan retribusi di area parkir sebagai bentuk transparansi. Sementara untuk memitigasi risiko praktek ‘pajak liar’, pemerintah dapat mempertimbangkan digitalisasi dan penerapan sistem pembayaran non-tunai melalui aplikasi parkir digital sehingga pengguna dapat membayar parkir secara langsung via aplikasi maupun menggunakan metode pembayaran Kode QR, yang diharapkan dapat meningkatkan transparansi dalam pemungutan retribusi dan agar segera dapat mengadopsi tarif retribusi progresif sesuai Perda Nomor 11 Tahun 2023.
ADVERTISEMENT