Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Menuju Kemandirian Fiskal: Strategi Optimalisasi Pajak di Provinsi Jawa Tengah
7 Februari 2025 20:34 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Rabithah Rasyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dipengaruhi oleh kapasitas keuangan daerah (Suwandi & Tahar, 2015). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), Sumber pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer, dan Pendapatan Lain-Lain yang sah. Namun demikian, menurut Bachtiar (2022), sebagian besar pemerintah daerah masih mengandalkan transfer dari pemerintah pusat untuk memenuhi belanja daerah. Terlihat dari Belanja Transfer ke Daerah dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2023 yang mencapai Rp814.718,5 Miliar (Kementerian Keuangan, 2022).
ADVERTISEMENT
Dalam hal besaran proporsi dana perimbangan dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2023 untuk semua provinsi, Pendapatan Transfer dari Pemerintah Pusat mendominasi sebesar 61,6% dari keseluruhan Pendapatan Daerah (DJPK, 2022). Ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap dana Pemerintah Pusat disebabkan masih rendahnya kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah untuk membiayai belanja Pemda (Bachtiar, 2022). Hasil penelitian Kusuma & Wirawati (2013) menjelaskan bahwa peningkatan PAD secara signifikan dipengaruhi oleh penerimaan perpajakan, sementara, berdasarkan data dari DJPK (2022), kontribusi PAD dalam postur APBD untuk seluruh provinsi di Indonesia hanya sebesar 29,34% dari total anggaran pendapatan.
Menurut Zevaya, et al (2024), kemandirian fiskal daerah sangat penting untuk otonomi daerah karena memungkinkan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pendapatan, meningkatkan pengelolaan sumber daya, serta mengimplementasikan kebijakan fiskal yang efektif yang relevan dengan daerahnya. Pemerintah daerah dianggap lebih mampu merespons dan mendeteksi kebutuhan masyarakat setempat dengan cepat (Zevaya, et al., 2024). Rahma, et al. (2024) juga menjelaskan, kemandirian fiskal daerah memungkinkan layanan publik dan pembangunan infrastruktur yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Spesifik di Provinsi Jawa Tengah, Nisa & Bahari (2022) menyoroti pentingnya penerimaan pajak daerah dalam meningkatkan pendapatan pemerintah daerah di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2024), Provinsi Jawa Tengah sudah terbilang lebih mandiri secara fiskal dengan capaian realisasi PAD yang mencapai 67% dari total pendapatan daerahnya di Tahun 2023. PAD provinsi Jawa Tengah telah berhasil lebih mendominasi proporsi pendapatan daerahnya dibandingkan dengan dana transfer dari pemerintah pusat sejak tahun 2017.
Akan tetapi, penerimaan pajak daerah di provinsi Jawa Tengah masih perlu dioptimalisasi mengingat realisasi penerimaan pajak di provinsi tersebut hanya 91,55% dari target APBD 2023 atau masih terdapat kekurangan realisasi penerimaan sebesar Rp1,289 Triliun. Dari seluruh jenis pajak daerah di Jawa Tengah, hanya Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang realisasinya mencapai target penerimaan.
ADVERTISEMENT
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang memiliki kemandirian fiskal tinggi dengan realisasi PAD sebesar 67 persen dari total pendapatan daerah pada 2023, atau di atas rata-rata nasional sebesar 57,29 persen (BPS, 2023). Dengan keberhasilannya mengurangi dependensi secara signifikan pada pendapatan transfer, Provinsi Jawa Tengah menjadi daerah yang relevan untuk dilakukan analisis strategi dalam meningkatkan PAD melalui kontribusi pajak daerah. Jika ditinjau dari rasio pajak daerahnya, Provinsi Jawa Tengah juga berhasil mencapai ambang batas 3 persen yang disarankan Kementerian Keuangan. Pada 2023, rasio pajak daerah di Provinsi Jawa Tengah mencapai 4,25 persen dari Produk Domestik Regional Bruto senilai Rp421,28 triliun.
Meski memiliki kemandirian fiskal yang terbilang lebih baik, realisasi pajak daerah di Jawa Tengah belum pernah mencapai target sejak tahun 2020 sampai dengan 2024. Pada APBD 2023 sendiri, realisasi pajak daerah masih mengalami shortfall dengan capaian sebesar 91,55 persen dari target. Hal ini menawarkan gap untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang menjadi penghambat penerimaan pajak daerah serta potensi optimalisasinya. Analisis dilakukan terhadap data yang diperoleh dari hasil wawancara kepada Agung Ayatullah, Staf Bidang Evaluasi dan Pembinaan Pajak Kendaraan Bermotor, Bidang Pajak Kendaraan Bermotor, Badan Pengelola Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Kekuatan (Strength) - Faktor Pendukung Optimalisasi Pajak Daerah
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) telah memiliki perangkat hukum yang memadai untuk mendukung optimalisasi pajak daerah, termasuk:
• PP Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
• Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
• Pergub Provinsi Jawa Tengah Nomor 64 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Selain itu, kerangka regulasi yang kuat juga didukung dengan adanya aturan turunan untuk masing-masing jenis pajak antara lain Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Rokok, Pajak Air Permukaan (PAP), serta Pajak Alat Berat (PAB). Aturan turunan ini diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengelola Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah yang memuat petunjuk teknis pemungutan disertai dengan SOP maupun standar pelayanan. Dengan regulasi yang sudah solid ini, proses implementasi kebijakan pajak menjadi lebih jelas dan akuntabel.
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari basis pajak, Provinsi Jawa Tengah memiliki struktur ekonomi yang cukup beragam dan tidak bergantung pada satu sektor tertentu. Beberapa faktor yang mendukung penerimaan pajak daerah adalah adanya sektor industri besar yang menyumbang pajak air permukaan serta banyaknya kendaraan bermotor yang menjadi objek pajak daerah. Berdasarkan data BPS (2024), Provinsi Jawa Tengah menempati urutan ketiga provinsi dengan jumlah kendaraan bermotor terbanyak se-Indonesia Tahun 2023 yakni sebanyak 20.714.590 unit. Dengan basis ekonomi yang kuat, potensi penerimaan pajak daerah dapat terus ditingkatkan melalui kebijakan yang tepat.
ADVERTISEMENT
Kelemahan (Weaknesses) – Faktor Penghambat Optimalisasi Pajak Daerah
Salah satu kelemahan utama dalam pengelolaan pajak daerah di Jawa Tengah adalah kurang akuratnya penentuan target penerimaan pajak. Penyebabnya antara lain belum mempertimbangkan faktor ekonomi makro, seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan fiskal nasional. Selama ini, penentuan target penerimaan masih berbasis tren data historis, tanpa melihat kondisi riil perekonomian daerah. Selain itu, kurangnya koordinasi dan dialog terbuka dengan pemerintah pusat ataupun anggota dewan, khususnya dalam menyusun target pajak yang realistis juga menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya target penerimaan pajak Pemda Jateng beberapa tahun terakhir.
Kendala lainnya yaitu dari sisi tingkat kesadaran Wajib Pajak yang masih rendah. Banyak masyarakat, khususnya di daerah pedesaan dan pegunungan, yang belum memahami pentingnya pajak daerah. Beberapa masalah utama dalam kepatuhan pajak adalah:
ADVERTISEMENT
• Wajib pajak hanya membayar saat ada razia atau sanksi, bukan karena kesadaran akan kontribusi pajak terhadap pembangunan.
• Kurangnya sosialisasi mengenai manfaat pajak, terutama bagi sektor informal dan usaha kecil.
• Adanya persepsi negatif terhadap pelayanan publik, sehingga masyarakat enggan membayar pajak karena tidak merasakan manfaatnya secara langsung.
Kurangnya akurasi dan kelengkapan data wajib pajak juga menjadi penghambat tercapainya efektivitas pemungutan pajak. Beberapa permasalahan dalam basis data pajak daerah meliputi:
• Kurangnya data kontak wajib pajak (hanya sekitar 5% yang memiliki nomor telepon valid).
• Objek pajak yang tidak terdata dengan baik, sehingga berpotensi terjadi kebocoran penerimaan, serta
• Ketidaksinkronan data dengan sistem administrasi kependudukan atau sistem perpajakan nasional.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) Badan Pengelola Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah juga perlu menjadi perhatian. Jumlah pegawai pajak di Jawa Tengah relatif kecil dibandingkan dengan jumlah wajib pajak yang harus dikelola. Dengan hanya sekitar 800an pegawai di 37 Unit Pelaksana Teknis (UPT), rasio pegawai pajak terhadap wajib pajak sangat kecil, sehingga, kapasitas pelayanan pajak menjadi terbatas, proses pengawasan dan penagihan pajak kurang optimal, serta beban kerja pegawai pajak sangat tinggi, yang bisa berdampak pada efisiensi kerja.
Peluang (Opportunities) – Faktor yang Dapat Dimanfaatkan untuk Optimalisasi
Meskipun terdapat berbagai kelemahan, peluang untuk mengoptimalkan pajak daerah di Jawa Tengah masih terbuka lebar. Salah satu peluang utama adalah perbaikan basis data pajak melalui kebijakan terbaru yang mewajibkan pemutakhiran data wajib pajak. Dengan demikian, diharapkan sistem administrasi perpajakan dapat lebih akurat dan efektif dalam melakukan penagihan. Selain itu, pertumbuhan kawasan industri di Batang dan Kendal memberikan potensi peningkatan penerimaan pajak, terutama dari pajak air permukaan yang digunakan oleh industri-industri besar. Implementasi pajak alat berat yang mulai diterapkan pada tahun 2025 juga menjadi sumber pendapatan baru yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, integrasi data dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui nota kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Kementerian Keuangan menjadi peluang besar dalam meningkatkan efisiensi pemungutan pajak. Dengan adanya integrasi data, informasi mengenai wajib pajak dapat diperoleh secara lebih akurat, sehingga meminimalisir penghindaran pajak dan meningkatkan efektivitas dalam penagihan. Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan kesadaran wajib pajak melalui edukasi dan sosialisasi yang lebih terarah.
Tantangan (Threats) – Faktor yang Menghambat Optimalisasi Pajak
Dalam implementasinya, optimalisasi pajak daerah juga menghadapi tantangan yang cukup signifikan. Salah satu tantangan terbesar adalah inefisiensi dalam penggunaan anggaran pajak. Banyak dana yang dialokasikan untuk kegiatan sosialisasi dan edukasi pajak, tetapi tidak sepenuhnya efektif dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Tantangan lainnya adalah resistensi masyarakat yang masih menganggap pajak sebagai beban, bukan sebagai kontribusi terhadap pembangunan daerah. Hal ini diperparah dengan persepsi negatif terhadap pelayanan publik, di mana banyak masyarakat merasa bahwa pajak yang mereka bayarkan tidak berdampak langsung pada peningkatan kualitas layanan yang mereka terima.
ADVERTISEMENT
Selain itu, meskipun regulasi pajak daerah sudah cukup baik, tantangan terbesar terletak pada implementasinya. Regulasi yang baik tetap membutuhkan kesiapan SDM, infrastruktur, dan sistem administrasi yang mumpuni agar dapat berjalan secara efektif. Misalnya, penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) memerlukan transisi yang mulus agar tidak menghambat pemungutan pajak. Jika tidak dikelola dengan baik, perubahan ini justru bisa menjadi hambatan dalam sistem perpajakan daerah.
Strategi Optimalisasi Pajak Daerah Provinsi Jawa Tengah
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan analisis SWOT di atas, terdapat beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan pajak daerah di Jawa Tengah. Pertama, pemerintah daerah perlu meningkatkan akurasi dalam penentuan target pajak dengan memperhitungkan faktor ekonomi makro serta berkoordinasi lebih intensif dengan pemerintah pusat dalam menyusun kebijakan fiskal daerah. Kedua, perlu dilakukan upaya yang lebih serius dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui sosialisasi yang lebih efektif dan berbasis manfaat nyata bagi masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu memberikan insentif yang lebih menarik agar masyarakat lebih terdorong untuk membayar pajak tepat waktu.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pemanfaatan teknologi dalam sistem perpajakan harus lebih dioptimalkan. Jawa Tengah telah memiliki aplikasi pajak seperti “NEW SAKPOLE”, namun pemanfaatannya perlu lebih diperluas dan ditingkatkan agar dapat mencakup lebih banyak wajib pajak. Digitalisasi administrasi perpajakan, termasuk penggunaan data berbasis NIK, akan sangat membantu dalam meningkatkan efisiensi dan akurasi pemungutan pajak. Keempat, pemerintah daerah harus mampu memanfaatkan sumber pendapatan baru secara maksimal, seperti pajak alat berat dan potensi pajak dari kawasan industri. Dengan demikian, penerimaan pajak daerah dapat lebih stabil dan tidak bergantung hanya pada satu sektor tertentu.
Terakhir, pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap efektivitas kebijakan pajak yang diterapkan. Dengan pemantauan yang terus-menerus, setiap kendala yang muncul dapat segera diidentifikasi dan diperbaiki, sehingga optimalisasi pajak daerah dapat berjalan dengan lebih efektif. Jika strategi-strategi ini diterapkan dengan baik, maka Jawa Tengah memiliki potensi besar untuk meningkatkan kapasitas fiskalnya secara signifikan dan menjadi contoh bagi daerah lain dalam pengelolaan pajak daerah yang lebih optimal.
ADVERTISEMENT
Sumber:
Bachtiar, A. (2022). Analisis Perhitungan Potensi Pajak Daerah Kabupaten/Kota Dengan Metode Stochastic Frontier Analysis (Sfa). Jurnal Anggaran Dan Keuangan Negara Indonesia (AKURASI), 4(2), 128–142.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. (2024). Realisasi Pendapatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Menurut Jenis Pendapatan (Juta rupiah). https://jateng.bps.go.id/id/statistics-table/1/MjA2MCMx/realisasi-pendapatan-pemerintah-provinsi-jawa-tengah-menurut-jenis-pendapatan-juta-rupiah-2015-2021.html.
Badan Pusat Statistik. (20 Februari 2024). Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Provinsi dan Jenis Kendaraan (unit), 2023. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/3/VjJ3NGRGa3dkRk5MTlU1bVNFOTVVbmQyVURSTVFUMDkjMw==/jumlah-kendaraan-bermotor-menurut-provinsi-dan-jenis-kendaraan--unit---2023.html?year=2023.
Bapenda Provinsi Jawa Tengah. (2024). Realisasi Pendapatan Daerah Tahun 2017 sampai dengan Juni Tahun 2024. https://website.bapenda.jatengprov.go.id/page/target_dan_realisasi_bapenda
Direktorat Kapasitas dan Pelaksanaan Transfer. (2023). Pedoman Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Direktorat Kapasitas dan Pelaksanaan Transfer, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (9 Desember 2023). Postur APBD Nasional 2023. 2023. https://djpk.kemenkeu.go.id/portal/data/apbd.
ADVERTISEMENT
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (14 Maret 2022). Sosialisasi UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. https://djpk.kemenkeu.go.id/?p=22755.
Nisa, Zul Fatun, F., Bahari. (2022). Effect of Regional Tax, Population, and GRDP on Original Local Government Revenue (PAD) in the Regency/City of Central Java Province. Samudra Ekonomi dan Bisnis, doi: 10.33059/jseb.v13i1.2220
Rahma, Laela Novitri Ervia, Annisa, Restu Fauzia., Muhammad, Adymas, Hikal, Fikri. (2024). Empowering Local Governance Examining the Transfer of Land and Building Rights Acquisition Tax in Alignment with Regional Autonomy Principles. doi: 10.22437/ynp1tp13
Suwandi, Kurni Adi, & Tahar, A. (2015). Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah dengan Alokasi Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening. InFestasi, 11 Nomor 2.
ADVERTISEMENT
Zevaya, Faradina, et al. (2024). Examining How Macroeconomic Variables Influence Regional Autonomy: An Examination of Local Taxing Power. The Journal of Indonesia Sustainable Development Planning, doi: 10.46456/jisdep.v5i1.533