Konten dari Pengguna

Moral Hazard dan Likuiditas, Tantangan Besar Bank Saat Restrukturisasi Kredit

Mahasiswi Politeknik Keuangan Negara STAN
24 Juni 2020 13:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afifah Maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Photo by Micheile Henderson on Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
(Photo by Micheile Henderson on Unsplash)
ADVERTISEMENT
Masa pandemi COVID-19 yang telah dirasakan beberapa bulan ini membawa banyak permasalahan di Indonesia, tidak hanya di bidang kesehatan namun di bidang lainnya seperti ekonomi, sosial, dan pariwisata terkena imbasnya.
ADVERTISEMENT
Ekonomi menjadi salah satu sektor yang paling terdampak dari adanya pandemi COVID-19. Ancaman daya beli masyarakat yang rendah hingga PHK besar-besaran menjadi bayang-bayang yang harus dipikirkan oleh pemerintah dan masyarakat. Lalu bagaimana kebijakan yang diambil pemerintah ?
Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas mengenai Kebijakan Moneter dan Fiskal Dalam Menghadapi Dampak Ekonomi Pandemi Global COVID 19 melalui video conference mengatakan, untuk bidang perbankan, OJK diminta memberikan kebijakan stimulus ekonomi yang memberikan kemudahan dan keringanan bagi kelompok-kelompok terdampak, khususnya UMKM dan sektor informal sehingga tidak melakukan PHK.
Berkaitan dengan kebijakan untuk perbankan, OJK telah mengeluarkan kebijakan seperti yang telah diminta presiden, yang dituangkan dalam Peraturan OJK RI Nomor 11 /POJK.03/2020. Peraturan ini mengatur bagaimana perbankan memberikan stimulus ekonomi kepada kalangan UMKM dan usaha-usaha terdampak untuk menjalani restrukturisasi kredit.
ADVERTISEMENT
Restrukturisasi kredit merupakan cara pemerintah dalam menangani perkreditan yang berpotensi akan menimbulkan masalah dalam memenuhi kewajibannya dikarenakan keadaan yang sedang sulit. Tujuannya agar pelunasan kredit pada UMKM dan usaha lainnya dapat tetap berjalan, kemungkinan kredit macet dapat diminimalisir sehingga usaha para debitur juga tetap stabil.
Pengajuan restrukturisasi kredit kepada perbankan memiliki beberapa pertimbangan khusus agar dapat disetujui, yaitu berupa besarnya penurunan omset dari usaha yang terdampak, kemampuan untuk membayar dan keberadaan usaha tadi dimasa depan.
Dalam hal ini, para debitur yang ingin mengajukan restrukturisasi sebenarnya harus mempertimbangkan potensi usahanya jika diberikan restrukturisasi kredit, karena ketika debitur memilih jalan itu, terdapat 6 kemungkinan kebijakan yang akan dipilihkan oleh pihak perbankan yaitu penurunan suku bunga kredit, perpanjangan waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit atau konversi kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara. Tentunya tetap akan ada diskusi dan negosiasi antar pihak.
ADVERTISEMENT
Debitur seperti UMKM dan usaha-usaha lainnya yang terdampak sebaiknya memikirkan langkah ke depannya terlebih dahulu, dengan melihat potensi kapan kemungkinan mereka bisa recovery atas dampak pandemi ini terhadap usahanya, karena faktor inilah yang akan menjadi pertimbangan pula oleh pihak perbankan dalam menentukan kebijakan yang tepat.
Jika keadaan debitur masih memiliki kemampuan untuk melunasi cicilan dan tergolong kurang tedampak atas pandemi ini, kemungkinan debiturnya sendiri yang akan merugi jika melakukan restrukturisasi kredit. Hal ini dikarenakan kebijakan tersebut bukan untuk mengurangi kewajiban debitur, namun penundaan pembayaran atau keringanan sementara pembayaran yang nantinya akan dibebankan diakhir periode kredit.
Jika tidak dihitung dengan baik opportunity cost nya, maka debitur sendiri yang akan buntung. Merugi karena adanya beban besar yang akan ditanggung diakhir periode atau waktu pelunasan yang bertambah lama sehingga beban yang ditanggung debitur pun juga semakin lama.
ADVERTISEMENT
Keadaan dimana banyaknya debitur yang “ikut-ikutan” ini adalah bentuk moral hazard yang harus dihadapi oleh perbankan. Pelaksanaan pengajuan restrukturisasi seringkali disalahgunakan pihak-pihak yang tidak terdampak atas pandemi atau bahkan debitur yang kreditnya sudah bermasalah sebelum pandemi, tapi malah “ikut-ikutan” menggunakan momen ini untuk melakukan restrukturisasi sebagai keringanannya.
Pada akhirnya perbankan-lah yang akan menanggung biaya yang bukan tanggung jawabnya. Biaya ini sebenarnya keuntungan yang seharusnya didapatkan perbankan dalam perkreditan, namun jika kebijakan tadi salah sasaran, maka keuntungan perbankan tadi tertunda atau bahkan hilang.
Bagaimana seharusnya perbankan mempertimbangkan pengajuan restrukturisasi jika sudah diindikasi adanya moral hazard dibalik itu ?
Hal ini merupakan pertimbangan sulit, karena debitur yang mengajukan ini nantinya bisa dengan sengaja melakukan pemacetan kreditnya sendiri, yang akhirnya akan membuat biaya yang lebih besar untuk bank yang menanggung, daripada biaya untuk restrukturisasi tadi, atau bahkan untuk debitur yang tadinya sudah bermasalah sebelum pandemi menyebabkan kerugian besar atas kreditnya yang tidak tertolong lagi.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, perbankan akan memilih cara terbaik agar biaya yang ditanggungnya lebih kecil, sehingga kemungkinannya adalah bank akan lebih memilih persetujuan restrukturisasi daripada menanggung biaya berupa cadangan dalam mengatasi kredit macet tadi. Namun, hal ini kembali lagi kepada aturan masing-masing bank. Kecuali, jika sumber dana atau kemampuan debitur ini sudah dianggap sangat minim dan memang tidak bisa dilakukan restrukturisasi lagi, sehingga akan digolongkan kepada kredit macet dan sejenisnya sesuai kriteria. Disini seharusnya perbankan lebih tegas dalam menolak restrukturisasi yang tidak sesuai sasaran, namun karena banyaknya pertimbangan tersebut lah yang membuat bimbang pihak Bank.
Walaupun sudah ditekankan oleh OJK untuk mengawasi perlakuan moral hazard dari debitur-debitur ini, tetapi tetap saja masih ditemukan oknum yang tidak bertanggung jawab seperti debitur “ikut-ikutan” tadi.
ADVERTISEMENT
Bagaimana nasib likuiditas perbankan jika adanya debitur yang melakukan moral hazard dalam kebijakan tadi ?
Sebenarnya likuiditas perbankan sudah cukup rumit akibat kebijakan restrukturisasi ini, hal ini dikarenakan uang yang diterima perbankan semakin mengecil dari kredit, sedangkan deposito yang sudah jatuh tempo, harus segera dilunasi bank. Seperti prinsip bank sendiri yaitu sebagai penyalur dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan uang dalam bentuk simpanan dan menyalurkan uang tadi kepada masyarakat yang kekurangan dana dalam bentuk kredit, jika salah satu sisinya bermasalah maka akan membuat resiko di sisi lainnya.
Oleh karena itu, likuiditas perbankan sekarang ini harusnya lebih diperhatikan oleh pemerintah karena dana yang terkumpul semakin kecil akibat kebijakan restrukturisasi dan perbankan harus mempersiapkan likuiditasnya untuk memenuhi deposito yang jatuh tempo tersebut. Beban perbankan yang sudah cukup berat ini ditambah dengan adanya moral hazard yang berperan sebagai free rider atas kebijakan tadi yang bertindak sesuka hatinya dan menyebabkan biaya yang ditanggung bank bertambah.
ADVERTISEMENT
Melihat peristiwa ini, restrukturisasi dalam pengimplementasiannya memang tergolong sulit diterapkan karena banyaknya resiko yang ditanggung perbankan dan banyak pula resiko perekonomian yang terjadi jika restrukturisasi tidak dijalankan. Sehingga peran pemerintah dan perbankan disini harus saling berkolaborasi agar peristiwa moral hazard tadi tidak diberi ruang untuk bergerak dan tidak merugikan bank maupun perekonomian nantinya.
Penulis :
Afifah Maulida
Mahasiswi Politeknik Keuangan Negara STAN