Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Emisi Karbon dan Krisis Iklim Terbelenggu di Balik Tirai Bambu China
2 Januari 2023 12:19 WIB
Tulisan dari Keyla Yovita Sabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketidakhadiran China dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) mengenai perubahan iklim selama dua kali berturut-turut menimbulkan kesulitan sehingga upaya penyelesaian dalam pengurangan emisi di dunia terhambat.
China telah tercatat sebagai penyumbang gas emisi karbon dan rumah kaca terbesar di dunia. Hal ini tentu menjadi hambatan bagi misi terkait perubahan iklim karena China yang mangkir pada COP26 tahun 2021 lalu yang menimbulkan berbagai tanggapan serta kritik. Sebagai penghasil polusi tertinggi, China tentu harus menanggung banyaknya kerugian negara lain yang turut terimbas cuaca ekstrem. Meskipun Presiden China Xi Jinping kembali tidak menghadiri COP27, tetapi China tetap berkontribusi dalam berbagai upaya mengatasi krisis iklim. China juga turut serta mengupayakan perubahan dalam memperbaiki kondisi iklim yang kian memburuk.
ADVERTISEMENT
China telah menduduki peringkat teratas dalam data pengguna pembangkit listrik tenaga batu bara pada Juli 2022 yang kemudian disusul oleh India dan Amerika Serikat. China telah menghasilkan emisi terbanyak sehingga membuatnya menjadi penghasil karbon terbesar di dunia. Penggunaan bahan bakar fosil juga marak digunakan seperti batu bara, minyak, dan gas alam. Bagi negara besar seperti China, faktor ketergantungan yang tinggi terhadap batu bara seakan-akan tidak bisa lepas. Pengaruh sektor batu bara terhadap perekonomian China juga sulit membuatnya terlepas dari jerat penggunaan batu bara, terlebih karena China menghasilkan dan mengekspor batu bara miliknya.
China juga telah mendapat banyak spekulasi buruk serta kekecewaan akibat absennya dari perhelatan konferensi iklim COP26 pada 2021 lalu. Hal ini turut mendapat sindiran keras dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Biden menuding ketidakhadiran China dalam menghadiri KTT COP26 tidak menunjukkan kepemimpinannya dalam mengatasi krisis iklim. Namun, China kembali membalas kritik yang dilontarkan dengan mengatakan bahwa mereka akan menunjukkan lebih banyak tindakan nyata daripada ucapan. China kemudian kembali mempertegas keseriusannya yang menyatakan China akan menjalin kerja sama dengan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Namun, akibat ulahnya yang telah turut merugikan negara lain, China sebagai penyumbang emisi terbesar kemudian didesak untuk bertanggung jawab memberikan kompensasi kepada negara-negara yang terdampak. Bahkan China juga turut mendukung negara-negara berkembang untuk menuntut ganti rugi akibat banyaknya cuaca ekstrem yang terjadi. China mengatakan akan bersedia berkontribusi memberikan kompensasi atas kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Namun, saat ini China lebih berfokus pada targetnya untuk mencapai netralitas karbon pada 2060.
Ketidakhadiran Xi Jinping pada COP27 tidak lantas membuat China memutuskan untuk mundur begitu saja dalam upayanya mengubah iklim dunia. Lewat Xie Zhenshua sebagai utusan khusus untuk perubahan iklim, China kembali menyatakan komitmen lebih lanjutnya terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. China telah berkomitmen untuk berpartisipasi secara aktif mengenai pengelolaan iklim, menjalin kerja sama hingga turut mengirim delegasinya pada KTT COP27. China juga turut berbicara dengan PBB untuk bertukar pandang terkait perubahan iklim dan langkah yang akan diambil lebih lanjut. Dalam langkahnya, China juga berupaya mengambil langkah mencapai target "karbon ganda" hingga target menuju nol emisi pada 2060 mendatang.
ADVERTISEMENT
Dalam upayanya berpartisipasi memperbaiki iklim dunia, China juga berusaha memperbaiki tata kelola emisi di negaranya. Rencana pengembangan terkait perubahan menuju energi terbarukan juga turut dipastikan oleh pemerintah China. Pemerintah juga turut berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca melalui mekanisme Clean Development Mechanism (CDM). China juga turut memperluas bantuan terhadap masalah iklim yang dihadapi dengan berbagai kerja sama. Tak hanya dengan berbagai negara, maupun PBB, China juga turut bekerja sama dengan komunitas dunia dalam membangun sistem tata kelola perubahan iklim global.
Absennya China dari KTT terkait perubahan iklim selama dua tahun berturut-turut telah memperumit upaya untuk mengatasi pengurangan emisi global. China telah tercatat sebagai penyumbang gas emisi karbon dan rumah kaca terbesar di dunia sehingga China telah mendapatkan banyak sekali tekanan dari dunia internasional yang terus menuntut China untuk mengambil upaya terkait hal ini. Sebagai penghasil polusi terbesar, China tentu harus menanggung banyak kerugian negara lain yang terkena dampaknya. Lewat utusannya pada COP27, China mengumumkan ketersediaannya untuk berpartisipasi dalam mekanisme kompensasi perubahan iklim bagi negara-negara miskin. Ketergantungan China yang tinggi pada batu bara membuatnya tak bisa lepas dari jeratan konsumsi, produksi, hingga impor batu bara yang menyebabkannya menjadi penyumbang batu bara terbanyak hingga hampir sekitar setengah dari total global. Pergeseran China dalam upaya beralih ke energi terbarukan membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan upaya menurunkan emisi gas rumah kaca lewat metode Clean Development Mechanism (CDM).
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Swastika, B. A. (2014). Upaya Pemerintah China Dalam Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Melalui CDM (Clean Development Mechanism) Sebagai Bentuk Implementasi Protokol Kyoto.
Geall, S. (2021). China, climate politics and COP26.
Wan, X., Jiang, T., Li, S., & Nie, J. (2021). China’s carbon emissions structure and reduction potential on the supply-side and demand-side of energy: Under the background of four influencing factors. Plos one, 16(8), e0255387.
He, G., Lin, J., Zhang, Y., Zhang, W., Larangeira, G., Zhang, C., ... & Yang, F. (2020). Enabling a rapid and just transition away from coal in China. One Earth, 3(2), 187-194.