Konten dari Pengguna

Tren Self-Diagnosis: Ketika Isu Kesehatan Mental Beralih Jadi Ajang Sensasi

Qoonitah Sausan
Mahasiswa prodi Imu Administrasi Negara, Universitas Negeri Surabaya
2 Desember 2024 11:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Qoonitah Sausan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Self Diagnosis  (www.istockphoto.com/HbrH)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Self Diagnosis (www.istockphoto.com/HbrH)
ADVERTISEMENT
Tren self-diagnosis kesehatan mental telah mengubah isu kesehatan serius ini menjadi ajang sensasi di era digital. Kita hidup di era ketika segalanya bisa dicari jawabannya di internet, termasuk segala keluh-kesah batin yang kerap muncul tanpa undangan. Kapan pun seseorang merasa sedih, bingung, atau sekadar malas bangun dari tempat tidur, solusinya sudah jelas: selamat datang di dunia self-diagnosis mental health! Lupakan dokter, lupakan psikolog. Kini, diagnosis bukan lagi hak istimewa para profesional, tapi seolah menjadi hobi baru yang bahkan bisa diakses lewat dua klik dan satu hashtag #mentalhealthawareness.
ADVERTISEMENT
Saat ini, fenomena self-diagnosis semakin mewabah. Mulai dari remaja yang merasa "tidak semangat", hingga orang dewasa yang “lelah bekerja,” semuanya bisa mendapat “pencerahan” dari konten-konten di media sosial. Lebih mudah memang, karena siapa saja sekarang bisa menelusuri daftar gejala di internet dan voila! Rasanya diagnosa datang menghampiri layaknya surat cinta dari gebetan. "Oh, ternyata aku ADHD!", "Pantas saja aku suka cemas, kayaknya aku kena anxiety," atau "Aku suka marah-marah, mungkin bipolar." Bahkan, ada yang lebih ekstrem: "Aku sering nggak konsentrasi. Kayaknya IQ-ku memang agak di bawah rata-rata, ya?"
Namun, di balik label-label ini, ada ironi yang besar. Mental health yang seharusnya diperhatikan dengan serius kini justru jadi bahan tren dan stereotip, seolah penyakit mental hanyalah gaya hidup keren yang layak dipamerkan. Beberapa akun media sosial yang mengusung topik mental health sering kali hanya memberi informasi sepihak, memotong-motong fakta agar lebih dramatis, dan pada akhirnya justru memperkeruh pemahaman publik. Dulu, depresi atau bipolar adalah kondisi yang butuh waktu bertahun-tahun untuk diidentifikasi secara akurat oleh tenaga profesional. Kini, beberapa menit scroll di TikTok dan hashtag #mentalhealth cukup untuk memberi seseorang "keyakinan" akan kondisi mentalnya. Aneh? Justru, inilah kenyataan yang kita hadapi.
ADVERTISEMENT
Tren self-diagnosis ini mirip seperti kita berperan sebagai dokter tanpa lisensi. Ini bukan hanya sekadar meremehkan profesi dokter, tapi juga meremehkan diri kita sendiri. Memiliki gangguan mental bukanlah hal yang main-main. Mereka yang benar-benar mengalaminya harus berjuang keras untuk bisa hidup normal, bukan malah menjadikan label ini sebagai gaya hidup. Sayangnya, kebanyakan orang merasa puas hanya dengan sekadar memberi label pada dirinya. Tak ada tindak lanjut, tak ada terapi, tak ada usaha untuk memahami secara mendalam apa yang mereka alami.
Memang, media sosial menawarkan akses ke informasi yang cepat dan luas, tetapi disitulah jebakannya. Informasi yang terlalu luas namun dangkal cenderung menyesatkan. Fenomena ini seakan mendorong masyarakat untuk menggunakan label kesehatan mental sebagai tameng, atau lebih tepatnya sebagai jalan pintas dari tanggung jawab. Misalnya, ketika seseorang malas belajar, ada kemungkinan dia akan menyebut dirinya “ADHD.” Ketika seseorang mudah marah, dia cepat-cepat menganggap dirinya “bipolar.” Ini bukanlah upaya untuk memahami diri lebih dalam, tapi lebih ke arah mencari pembenaran yang nyaman. Seolah-olah label itu membuatnya "tidak bersalah."
ADVERTISEMENT
Lalu, ada pula dampak negatif dari tren ini bagi mereka yang benar-benar memiliki gangguan mental. Saat seseorang dengan mudahnya melempar label mental health ke sembarang orang dan situasi, hal ini justru memperburuk stigma terhadap kesehatan mental yang sebenarnya. Bagi mereka yang benar-benar mengalami depresi, bipolar, atau gangguan lainnya, self-diagnosis yang merajalela ini bisa jadi tamparan tersendiri. Bayangkan, mereka berjuang mati-matian untuk mendapat pemahaman dan dukungan dari masyarakat, tapi kemudian penyakit mereka seolah-olah menjadi sekadar tren belaka.
Tak hanya itu, ada satu ironi yang cukup lucu namun menggelitik. Tren ini seolah menyamakan semua masalah kehidupan dengan gangguan mental, seakan manusia tak lagi berhak merasa sedih, lelah, atau malas. Segala perasaan negatif seolah harus dibungkus dalam label psikologis agar diterima oleh masyarakat. Padahal, manusia adalah makhluk yang kompleks dan penuh emosi, wajar bila ada kalanya merasa sedih tanpa alasan, atau sesekali ingin berteriak tanpa perlu alasan ilmiah di baliknya.
ADVERTISEMENT
Mungkin, sudah saatnya kita berhenti menganggap diagnosis mental sebagai mainan. Mental health memang penting, dan perlu diperjuangkan, tapi bukan dengan cara mengobral label. Seperti halnya setiap penyakit, hanya mereka yang ahli di bidangnya yang berhak memberi diagnosis, bukan internet, bukan konten TikTok, dan bukan perasaan "kayaknya." Perlu kesadaran dan tanggung jawab dalam memahami kesehatan mental, bukan sekadar jalan pintas untuk melegitimasi kemalasan atau perasaan sesaat.
Untuk kita semua, semoga tren self-diagnosis ini segera berlalu, layaknya tren fashion yang berganti setiap musim. Jika memang merasa membutuhkan pertolongan, lebih baik ke profesional daripada terus-terusan main tebak-tebakan diagnosis di media sosial. Mental health adalah hal yang serius dan kompleks, bukan ajang permainan kata atau label yang bisa sembarang digunakan. Lebih baik kita fokus pada solusi nyata, dan lebih jujur pada diri sendiri. Lagipula, di balik setiap hashtag #mentalhealthawareness yang kita tulis, apakah benar kita sudah paham makna dan tanggung jawab di baliknya? Atau jangan-jangan, kita hanya ingin ikut tren?
ADVERTISEMENT