Konten dari Pengguna

Bonus Demografi? Green Jobs Solusinya di Era Society 5.0

Alwan Setiawan
Saya adalah mahasiswa Semester 7 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Memiliki minat menulis seputar ekonomi, sosial dan berbagai fenomena menarik lainnya
12 Oktober 2024 11:58 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alwan Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: BPMI/Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia (https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/photo/20230624/5757IMG_7319.JPG)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: BPMI/Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia (https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/photo/20230624/5757IMG_7319.JPG)
ADVERTISEMENT
Merupakan sebuah perdebatan yang cukup menarik jika kita melihat bagaimana pandangan bonus demografi yang awalnya merupakan sebuah potensi, berubah menjadi tantangan untuk saling bersaing (Falikhah, 2017; Risandini & Silvi, 2021; Setyoningrum et al., 2021). Beberapa penelitian menjelaskan tentang bonus demografi perlu dimanfaatkan karena berimplikasi terhadap peningkatan produktivitas negara (Achmad et al., 2024) serta menciptakan pertumbuhan ekonomi (Adriani & Yustini, 2021). Sejalan dengan ungkapan Presiden Jokowi dalam sambutannya pada pemaparan Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) di Djakarta Theater, bonus demografi merupakan sebuah kunci penting untuk menciptakan keberlanjutan dan kesinambungan guna mencapai cita – cita Indonesia Emas 2045.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, permasalahan muncul sejalan dengan potensi besarnya tersebut, bonus demografi dapat menciptakan pengangguran besar (Warsito, 2019), kurangnya akses pendidikan (Santosa et al., 2016), dan permasalahan sosial-ekonomi lainnya jika tidak dapat bersaing serta terserap dalam pasar tenaga kerja. Pendapat ini didukung dengan data jumlah penduduk usia produktif di Indonesia saat ini mencapai 142 juta jiwa dilansir dalam BPS (2024) dengan total pengangguran sebesar 7 juta jiwa. Hal ini juga dipengaruhi dengan jumlah penduduk yang masih berada dibangku sekolah sebesar 16.73 juta jiwa. Semakin membuat kita berpikir, bagaimana jika angka 16 juta tersebut tidak sepenuhnya ataupun separuhnya saja tidak terserap dalam pasar (BPS, 2024b). Pengangguran akan bertambah sekitar 8 Juta orang sehingga mencapai ±15 juta penduduk. Tentunya ini semakin menjelaskan bahwa, diperlukan sebuah pendekatan, inovasi, ataupun solusi baru yang mampu mengakomodasi potensi lonjakan bonus demografi tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks global, dampak bonus demografi bervariasi di setiap negara. Beberapa negara di Afrika masih dianggap belum siap memanfaatkan gelombang bonus demografi yang sedang mereka alami (Fadayomi, 2011). Hal ini berbanding terbalik dengan negara-negara seperti Jepang dan China, yang telah berhasil memanfaatkan puncak bonus demografi mereka dan kini telah memasuki fase pasca-bonus demografi (OECD, 2019; World Bank, 2018). Namun, mereka juga tengah mengalami masalah yaitu, penumpukkan usia tua dan rendahnya angka fertilitas bagi negara Jepang. Pengalaman negara-negara tersebut sejatinya menunjukkan bahwa, kunci utama dalam menghadapi bonus demografi adalah persiapan yang matang. Hal ini meliputi pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kualitas pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja yang memadai. Sebagai negara yang tengah menuju puncak bonus demografi yang menurut Bappenas (2017) berada di sekitar 2030-2040, Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara ini. Dengan demikian, kesiapan Indonesia dalam menghadapi masa tersebut menjadi krusial untuk memastikan bonus demografi membawa manfaat optimal bagi pembangunan ekonomi dan sosial.
Sumber: istockphoto.com (https://www.istockphoto.com/id/ilustrasi/green-jobs)
Sejalan dengan hal tersebut, terdapat sebuah konsep baru dengan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan yaitu, green jobs (Sulich & Rutkowska, 2020). Berbagai terminologi juga digunakan seperti green collars, green employment, dan sustainable employment (Kozar & Sulich, 2023a) yang berdasarkan ILO (2008) mengartikan sebagai pekerjaan di sektor pertanian, manufaktur, penelitian, administrasi, dan jasa yang berperan dalam menjaga lingkungan. Pekerjaan ini mencakup upaya melindungi ekosistem, mengurangi konsumsi sumber daya, mendekarbonisasi ekonomi, dan meminimalkan limbah serta polusi. Oleh sebab itu, Green jobs ini mampu menjadi sebuah alternatif dalam memanfaatkan ledakan bonus demografi.
ADVERTISEMENT
Green jobs sebagai sebuah alternatif penyelesaian permasalahan terkait pemanfaatan bonus demografi, memerlukan sebuah kajian lebih lanjut (Kozar & Sulich, 2023b, 2023a; Stanef-Puică et al., 2022). Mengutip dari World Economic Forum. data terbaru menunjukkan demand terhadap pekerja pada yang memiliki keahlin dibidang green jobs ini sangat tinggi yaitu, sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan base skill atau kemampuan dasar pekerja umumnya. Selain itu, pelamar atau pekerja yang memiliki pengetahuan serta kemampuan ekonomi hijau, lebih disukai tiga kali lipat dibandingkan rata-rata pekerja lainnya (World Economic Forum, 2024).
Akan tetapi, kehadiran green jobs ini tidak semata-mata merupakan sebuah penyelesaian atas persaingan dunia pekerjaan. Perlu adanya peningkatan dari segi sumber daya manusia guna bekerja pada kategori green jobs ini. Menurut Blue sebagai Co-Founder LinkedIn, para sumber daya manusia saat ini memerlukan skill yang mumpuni dan pengetahuan tentang bagaimana caranya menjaga lingkungan, mengonservasi sumber daya, atau menghilangkan emisi karbon (World Economic Forum, 2024). Berdasarkan surveinya juga di Tahun 2020, data menunjukkan bahwa mereka yang memiliki keterampilan ramah lingkungan (green skills) telah dipekerjakan pada tingkat yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak memilikinya (Hasil ini konsisten di semua 48 negara yang disurvei).
ADVERTISEMENT
Tidak hanya tentang green jobs, saat ini kita juga telah memasuki era baru dalam bersosialisasi. Era Society 5.0 menuntut kita untuk terbiasa dalam hal-hal terkait digital (Sá et al., 2021). Mengutip Fukuyama (2018) Era Society 5.0 menawarkan peluang unik untuk mengoptimalkan potensi bonus demografi melalui integrasi teknologi canggih dalam berbagai aspek kehidupan dan ekonomi. Dalam era Society 5.0, bonus demografi dapat menjadi katalis untuk percepatan adopsi teknologi dan inovasi, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif (Holroyd, 2022). Era ini bisa dipahami sebagai pengintegrasian dunia maya dan dunia nyata secara bersamaan, seperti penggunaan Ai (artificial intelegence) dan IoT (internet of things).
Meskipun memang memudahkan dan meningkatkan produktivitas, transisi menuju Society 5.0 memerlukan investasi besar dalam pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan angkatan kerja muda dengan keterampilan yang dibutuhkan di era digital (Nakanishi & Kitano, 2018). Ini menyoroti pentingnya menyelaraskan sistem pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan Society 5.0 untuk memaksimalkan potensi bonus demografi. Hal yang sama juga bekerja untuk green jobs, keduanya membutuhkan sebuah mekanisme untuk mencapai ”keberhasilan” sebagai katalis bonus demografi Indonesia kelak. Untuk itu, mekanisme strategi yang tidak hanya holistik, namun juga relevan dengan demografi penduduk Indonesia saat ini sangat diperlukan.
ADVERTISEMENT
Kita sama-sama setuju bahwa, munculnya bonus demografi tidak serta merta akan membawa pada pembangunan ekonomi, kecuali jika suatu negara mampu mengubah, memanfaatkan, dan mengelola penduduk usia kerja menjadi tenaga kerja terampil sebagai modal manusia (human capital) (Adriani & Yustini, 2021). Namun sebaliknya, bonus demografi justru akan menimbulkan keresahan sosial, ekonomi, dan politik (Mason, 2007; Urdal, 2004). Indonesia sejatinya telah mengembangkan sebuah strategi terkait green jobs ini melalui Peta Okupasi Nasional Green Jobs dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang berisikan tentang informasi-informasi seperti jenjang karier, pengembangan program pembelajaran, skema sertifikasi, sampai program magang. Sayangnya, masih sangat sedikit masyarakat yang mengetahui berbagai macam informasi tersebut. Hal ini kita bisa lihat dari total kunjungan untuk mengunduh informasi tersebut hanya sebesar 1.668 untuk Buku 1 dan 205 unduhan untuk Buku 2. Cukup disayangkan dan bisa disimpulkan juga bahwa, awareness dari masyarakat Indonesia mengenai pekerjaan hijau (green jobs) ini masih sangat rendah.
ADVERTISEMENT
Pendekatan lainnya juga telah dilakukan dalam pengembangan green jobs di Indonesia yaitu, website greenjobs.id dengan berbagai fitur penunjang pekerjaan yang sejalan dengan ekonomi berkelanjutan. Konsepnya seperti tawaran pekerjaan di aplikasi atau web lainnya, namun penekanan dilakukan pada dampaknya terhadap lingkungan dan kemajuan ekonomi secara bersama-sama. Selain itu, greenjobs.id ini juga menyediakan platform untuk pembelajaran mengenai ekonomi hijau, dampak lingkungan, dan tentunya green jobs itu sendiri. Namun, hal ini juga masih memiliki kendala yaitu, masalah penawaran kerja yang masih minim. Tentunya, kita bisa mengerti bahwa Indonesia saat ini masih terkendala tidak jauh dengan awareness, kekurangan dana, dan konsistensi. Hal ini menunjukkan tentang keadaan Indonesia yang masih belum siap terkait permasalahan awal, yaitu bonus demografi.
ADVERTISEMENT
Menarik jika kita berbicara tentang bagaimana digitalisasi mampu menjadi sebuah katalisator dalam pembangunan yang inklusif. Menurut Bappenas tentang Indeks Pembangunan Inklusif yang dilansir inklusif.bappenas.go.id terdiri dari pilar pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, serta perluasan akses dan kesempatan. Terkait akses, digitalisasi seharusnya mampu menciptakan inklusivitas untuk semua individu di Indonesia. Namun, menurut data dari Ditjen Aptika mengenai Indeks Literasi Digital di Indonesia masih diangka 3.54 per Tahun 2022. Hal sama juga dijelaskan oleh Ekonom Senior INDEF Aviliani bahwa, memang masyarakat Indonesia telah memiliki akses terhadap teknologi dan digital. Namun, hal tersebut tidak berimplikasi juga tentang bagaimana literasi dan pemahaman digital tersebut sejalan dengan kepemilikan aksesnya dikutip dalam cnbcindonesia.com.
Lantas, bagaimana Indonesia dapat melewati bonus demografi di Era Society 5.0?. Jika kita hanya berfokus pada terserap sepenuhnya para pekerja saat berada di puncak bonus demografi, tentunya hal ini cukup sulit untuk diwujudkan. Oleh sebab itu, pengembangan roadmap serta strategi yang mengsinergikan Gen Z dapat dirumuskan sebagai berikut:
Skema Pemanfaatan Total Bonus Demografi di Indonesia
Skema tersebut () menjelaskan sebuah kerangka kerja holistik yang menghubungkan konsep bonus demografi, Society 5.0, dan green jobs dalam konteks pemanfaatan total sumber daya manusia dan teknologi. Di satu sisi, bonus demografi direpresentasikan dengan potensi dan tantangannya, yang menjadi titik awal dalam skema ini. Kita dapat berkaca juga dengan negara-negara yang telah atau sedang berada di fase ini, terkait bonus demografi dapat menjadi sebuah potensi dan juga sebuah tantangan. Namun, Society 5.0 muncul sebagai jembatan yang menghubungkan bonus demografi dengan implementasi teknologi, khususnya Internet of Things (IoT) dan kemudahan integrasi berbagai sektor. Tentunya jika kita mengacu pada data sebelumnya, literasi masyarakat Indonesia masih belum maksimal. Maka, ketika kita ingin menciptakan iklim kerja yang terintegrasi dengan internet, memerlukan peningkatan pengetahuan digital terlebih dahulu. Oleh sebab itu, diperlukan adanya integrasi antara lembaga pendidikan sebagai pemberi pelatihan digital, pemerintah yang tentunya menjadi penggerak kebijakan, dan pihak swasta yang kaitannya dengan praktik kerjanya (magang dsb.).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, setelah iklim pengetahuan dan keterampilan tercipta, mengarah pada penciptaan green jobs sebagai hasil akhir dari proses integrasi tersebut. Peran krusial dimainkan oleh tiga aktor utama: lembaga pendidikan, pemerintah, dan perusahaan swasta yang berada di puncak diagram, menunjukkan posisi mereka sebagai penggerak dan fasilitator dalam keseluruhan proses. Menurut Blue sebelumnya, green jobs ini tidak semata-mata bisa dilakukan oleh tenaga kerja secara umum (World Economic Forum, 2024). Diperlukan adanya pengetahuan dan keterampilan yang tinggi untuk masyarakat khususnya Indonesia untuk berkarir di green jobs ini.
Menelitik hal tersebut, kerangka ini menekankan pentingnya pemanfaatan total dari semua elemen yang ada pada model. Bonus demografi, dengan potensi dan tantangannya, dipandang sebagai fondasi yang dapat dioptimalkan melalui penerapan konsep Society 5.0. Penggunaan IoT dan integrasi berbagai sektor menjadi kunci dalam mentransformasikan potensi demografis menjadi peluang nyata dalam bentuk green jobs. Kolaborasi antara lembaga pendidikan, pemerintah, dan sektor swasta menjadi sangat penting dalam memastikan bahwa transisi ini berjalan mulus, dengan lembaga pendidikan menyiapkan sumber daya manusia, pemerintah membuat kebijakan yang mendukung, dan sektor swasta menyediakan lapangan kerja serta investasi dalam teknologi hijau. Keseluruhan proses ini bertujuan untuk mencapai pemanfaatan total dari bonus demografi, teknologi, dan sumber daya yang ada untuk menciptakan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Meskipun skema yang mengintegrasikan bonus demografi, Society 5.0, dan green jobs menawarkan potensi yang besar, masih terdapat beberapa kelemahan yang perlu diatasi. Salah satu hambatan utama adalah rendahnya tingkat literasi digital di Indonesia, yang menghalangi transisi menuju pekerjaan berbasis teknologi. Akses terhadap teknologi saja tidak cukup jika tidak disertai dengan pemahaman dan keterampilan yang memadai untuk menggunakannya secara efektif. Maka dari itu, peran dari sinergitas Gen Z diperlukan untuk mengatasi hal tersebut. Menurut penelitian, Gen Z cenderung memiliki pengetahuan digital lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya (digital natives) (Bennett et al., 2008; Helsper & Eynon, 2010). Dengan kolaborasi lintas generasi melalui Gen Z tersebut, diharapkan permasalahan dari rendahnya literasi digital ini mampu diatasi sebagai sebuah solusi yang tidak hanya sesaat, namun bersifat jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Selain itu, keterbatasan sumber daya finansial dan kurangnya konsistensi dalam pelaksanaan program green jobs menjadi kendala utama dalam pengembangan lapangan kerja yang berkelanjutan. Kekurangan ini menunjukkan perlunya pengembangan lebih lanjut dari skema tersebut, khususnya melalui peningkatan kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta. Ke depan, strategi yang lebih terfokus perlu mencakup peningkatan pelatihan digital secara masif (Williamson, 2016), peningkatan kesadaran masyarakat terkait green jobs (Cassio, 2009), serta pemberian insentif bagi perusahaan untuk berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan (Gerlach & Zheng, 2018). Langkah-langkah ini akan memastikan bahwa potensi bonus demografi dapat dioptimalkan dan melahirkan juga lapangan kerja baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, implementasi strategi yang efektif memerlukan komitmen, fleksibilitas, dan evaluasi berkelanjutan. Seiring berjalannya waktu, penting untuk secara rutin meninjau kemajuan, mengidentifikasi hambatan, dan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Pengembangan strategi bukanlah proses statis, melainkan dinamis yang harus beradaptasi dengan perubahan kondisi internal maupun eksternal. Dengan pendekatan yang terstruktur namun solutif, Indonesia dapat memaksimalkan peluang keberhasilan dalam merealisasikan visi strategisnya dalam menggapai puncak bonus demografi dengan manfaat penuh. Pada akhirnya, keberhasilan implementasi strategi bergantung pada kemampuan untuk menerjemahkan rencana menjadi tindakan nyata, membangun budaya yang mendukung, serta terus berinovasi dalam menghadapi tantangan dan peluang baru.
ADVERTISEMENT
Sumber bacaan:
Achmad, W., Nurwati, N., Fedryansyah, M., Sumadinata, R. W. S., & Sidiq, R. S. S. (2024). Taking Advantage of Indonesia’s Demographic Bonus in 2024: Challenges and Opportunities. Management Studies and Entrepreneurship Journal (MSEJ), 5(2), 4425–4434.
Adriani, D., & Yustini, T. (2021). Anticipating the demographic bonus from the perspective of human capital in Indonesia. International Journal of Research in Business and Social Science (2147-4478), 10(6), 141–152.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2024a). Angkatan Kerja (AK) Menurut Golongan Umur.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2024b). Bukan Angkatan Kerja (BAK) Menurut Golongan Umur.
Bennett, S., Maton, K., & Kervin, L. (2008). The ‘digital natives’ debate: A critical review of the evidence. British Journal of Educational Technology, 39(5), 775–786.
ADVERTISEMENT
Cassio, J. (2009). Green careers resource guide. Jim Cassio.
Fadayomi, T. O. (2011). The demographic bonus: how prepared is Africa for the gains? African Population Studies, 25(2).
Falikhah, N. (2017). Bonus demografi peluang dan tantangan bagi Indonesia. Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah, 16(32).
Fukuyama, M. (2018). Society 5.0: Aiming for a new human-centered society. Japan Spotlight, 27(5), 47–50.
Gerlach, H., & Zheng, X. (2018). Preferences for green electricity, investment and regulatory incentives. Energy Economics, 69, 430–441.
Helsper, E. J., & Eynon, R. (2010). Digital natives: where is the evidence? British Educational Research Journal, 36(3), 503–520.
Holroyd, C. (2022). Technological innovation and building a ‘super smart’society: Japan’s vision of society 5.0. Journal of Asian Public Policy, 15(1), 18–31.
ADVERTISEMENT
International Labor Organization. (2008). Green Jobs: Towards Decent Work in a Sustainable, Low-Carbon World (Full report).
Kozar, Ł. J., & Sulich, A. (2023a). Green jobs: Bibliometric review. International Journal of Environmental Research and Public Health, 20(4), 2886.
Kozar, Ł. J., & Sulich, A. (2023b). Green Jobs in the Energy Sector. Energies, 16(7), 3171.
Nakanishi, H., & Kitano, H. (2018). Society 5.0 Co-Creating The Future. Policy Proposals Industrial Technology, Keidanren (Japan Business Federation).
Nasional, K. B. P. (2017). Siaran Pers: Bonus Demografi 2030-2040: Strategi Indonesia Terkait Ketenagakerjaan dan Pendidikan.
OECD. (2019). OECD Economic Surveys: Japan 2019. Paris Publishing.
Risandini, F., & Silvi, R. (2021). Potencies and Threats of The Demographic Bonus on The Quality of Human Resources and Economy in Indonesia 2019. Proceedings of The International Conference on Data Science and Official Statistics, 2021(1), 856–867.
ADVERTISEMENT
Sá, M. J., Santos, A. I., Serpa, S., & Ferreira, C. M. (2021). Digital literacy in digital society 5.0: Some challenges. Academic Journal of Interdisciplinary Studies, 10(2), 1–9.
Santosa, H., Mutiara, E., & Juanita, J. (2016). An Understanding Demographic Bonus and Its Implication among Teenagers in Deli Serdang District. 1st Public Health International Conference (PHICo 2016), 34–38.
Setyoningrum, D. U., Warella, Y., & Yuningsih, T. (2021). Analysis of risks and challenges to demographic bonuses in sustainable development programs through population policy transformation (case study in Central Java Province). IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 623(1), 012088.
Stanef-Puică, M.-R., Badea, L., Șerban-Oprescu, G.-L., Șerban-Oprescu, A.-T., Frâncu, L.-G., & Crețu, A. (2022). Green jobs—A literature review. International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(13), 7998.
ADVERTISEMENT
Sulich, A., & Rutkowska, M. (2020). Green jobs, definitional issues, and the employment of young people: An analysis of three European Union countries. Journal of Environmental Management, 262, 110314.
Warsito, T. (2019). Attaining the demographic bonus in Indonesia. Jurnal Pajak Dan Keuangan Negara (PKN), 1(1), 6.
Williamson, B. (2016). Digital education governance: An introduction. In European Educational Research Journal (Vol. 15, Issue 1, pp. 3–13). SAGE Publications Sage UK: London, England.
World Bank. (2018). World Bank Report Offers Options for Elderly Care in China. Worldbank.Org.
World Economic Forum. (2024). Green job vacancies are on the rise but workers with green skills are in short supply.