Kenapa Masyarakat Kita Percaya Babi Ngepet?

Anton Sujarwo
Mahasiswa Magister Antropologi Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
3 Mei 2021 12:58 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anton Sujarwo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi babi. Sumber: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi babi. Sumber: Pixabay.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, kita digemparkan pemberitaan media tentang ditangkapnya babi ngepet di Depok, Jawa Barat. Pemberitaan media terlihat banyak meliput bagaimana warga berkumpul dan ingin menyaksikan babi yang telah ditangkap. Cerita mistis semakin membumbui keadaan lantaran viralnya seorang Ibu yang mengaku tahu dan mencurigai tetangga.
ADVERTISEMENT
"Saya tahu ada yang nganggur tapi selalu punya uang," kurang lebih ungkapan ibu tersebut dalam video yang tersebar di dunia maya.
Mulanya banyak narasi yang mengatakan babi tersebut benar-benar babi jadi-jadian, lantaran tubuhnya kian makin mengecil. Meski kian mengecil toh babi tersebut tidak berubah jadi manusia. Bisa ditebak mengecilnya ukuran babi lantaran ketakutan dan mungkin saja lantaran tidak diberi makan dan minum ketika ditangkap. Apalagi dikerumuni oleh banyak masa pada masa tersebut.
Apes nasib babi, belakangan diketahui babi tak berdosa itu mati. Babi yang tidak ada urusannya menjadi kambing hitam dari keegoisan manusia. Belakangan juga diketahui aparat kepolisian mengamankan seorang tokoh agama yang ternyata mengaku merekayasa peristiwa tersebut. Babi tersebut ternyata dibeli secara online oleh pelaku.
ADVERTISEMENT
Menarik apabila kita mengkaitkan bagaimana era media digital ternyata menjadi media persebaran berita semacam ini. Perkembangan teknologi komunikasi massa yang berkembang di abad ini, nyatanya juga tidak membuat sebagian orang bersikap rasional. Lalu apa yang membuat masyarakat kita menyukai hal mistis semacam ini?
Berbicara mengenai hal mistis, ada antropolog terkenal yang meneliti masyarakat Jawa kala itu. Menariknya dia membahas macam-macam makhluk supranatural di bukunya tersebut dengan pendekatan budaya yang lebih masuk akal dalam ranah akademis.
Tokoh tersebut adalah Clifford Geertz. Menurut Geertz (1985:9-29) ada beberapa macam klasifikasi hantu yang dipercayai di Jawa yakni Memedi,Lelembut,Tuyul,Demit, Danyang. Namun makhluk halus yang mencuri harta lebih diposisikan Geertz dengan Tuyul. Jika Geertz mengupdate buku tersebut mungkin babi ngepet akan diklasifikasikan dengan kategori yang baru lantaran sama-sama dianggap mencuri uang. Meskipun secara rasional masih belum terjawab, kenapa uang di bank atau di atm tidak pernah dilaporkan hilang lantaran makhluk halus ini.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, ada poin menarik Geertz saat membahas Tuyul, yakni bagaimana orang-orang yang dituduh bekerja sama dengan Tuyul memiliki ciri status tipe sosial yang dianggap kurang lebih sama.
Namun apabila kita mau melihat lebih kritis keadaan tersebut menampilkan bagaimana ada kesenjangan pada masa tersebut. Jika boleh berasumsi apakah desas-desus dan rumor kita pakai untuk menjatuhkan citra seseorang yang berbeda kelas. Atau secara mudahnya orang-orang gunakan sebagai senjata untuk melawan adanya lapisan ekonomi. Berbeda dengan masa lalu, tapi sangat masuk akal pada zaman yang telah berkembang ini untuk menghasilkan uang dari mana saja termasuk rumah, karena fasilitas yang disediakan oleh teknologi.
ADVERTISEMENT
Anggapan bahwa desas desus, fitnah, rumor, dan hujatan menjadi senjata yang digunakan alat untuk menyerang ketimpangan sosial juga terbukti dari tulisan James Scott (2000) pada bukunya "Senjata orang-orang Kalah".
Meskipun pada masa tersebut Scott tidak membahas hantu, melainkan lebih membahas bagaimana relasi tuan pemilik tanah yang kaya dan petani miskin yang menjadi bawahan tuan tanah tersebut. Namun, kacamata pemikirannya bisa digunakan untuk menjelaskan kasus babi ngepet di Depok tersebut.
Terlepas dari yang telah dibahas, ada poin penting yang perlu kita maknai kembali. Bahwa apa yang membuat kita percaya pada hal-hal yang tidak masuk akal adalah jangan-jangan adalah mekanisme diri untuk berusaha "membenarkan" apa yang ingin dan mau kita percayai. Meskipun ilmu pengetahuan berkembang toh masih banyak masyarakat kita yang mempercayai hal-hal yang tidak bisa dibuktikan begitu saja dengan ilmu pengetahuan. Hal tersebut sah-sah saja, dan hak seseorang untuk mempercayai sesuatu yang ingin dipercaya. Tapi sejauh mana kita bisa menahan diri untuk tidak mengkambinghitamkan atau dalam hal ini kita sebut saja "membabi hitamkan" seseorang demi hal yang ingin kita percayai. (*)
ADVERTISEMENT
Referensi
Geertz, C., Mahasin, A., Rasuanto, B., Suparlan, P., Bachtiar, H. W., & Geertz, C. (1983). Abangan, santri, priyayi: Dalam masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Scott, James C.; Sayogyo; Mien Joebhaar; Rahman Zainuddin, A.. (2000). Senjatanya orang-orang yang kalah : bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari kaum tani / James C. Scott ; penerjemah , A. Rahman Zainuddin , Sayogyo, Mien Joebhaar. Jakarta :: Yayasan Obor Indonesia