Konten dari Pengguna

Reformisme Islam & Beragama di Tengah Modernitas

Anton Sujarwo
Mahasiswa Magister Antropologi Universitas Gadjah Mada
1 Januari 2021 11:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anton Sujarwo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Islam dan Modernitas. Gambar : woman using smartphone (https://unsplash.com/photos/shVNOFP3opk)
zoom-in-whitePerbesar
Islam dan Modernitas. Gambar : woman using smartphone (https://unsplash.com/photos/shVNOFP3opk)
Tiba-tiba saya teringat masa kecil ketika kala itu warung telefon (wartel) masih banyak kita jumpai. Namun seiring berjalannya waktu warung internet (warnet) mengganti dominasi. Contoh kecil tersebut memberi tahu kita bahwa dunia ini benar-benar mengalami kemajuan. Transmisi suara yang dulunya dialirkan oleh jaringan kabel telefon saja, bahkan kini sudah digantikan dengan jaringan internet kabel fiber optic dan sinyal telefon seluler yang berterbangan di udara. Efeknya kini transmisi informasi pun semakin mudah menjangkau setiap orang yang ada dibelahan dunia manapun.
ADVERTISEMENT
Revolusi media berbanding lurus dengan terjadinya modernitas. Seringkali kita sudah mendengar majunya dunia bagai pisau bermata dua. Termasuk bagi keberadaan agama itu sendiri. Beberapa penelitian dari dunia barat bahkan kerap mengira Islam tidak akan bisa menyesuaikan modernitas. Keadaan tersebut tidak sepenuh benar, dan tidak sepenuhnya salah juga. Sebab terkadang agama masih digunakan untuk menjadi filter kemajuan jaman. Meskipun beberapa kelompok menurut Max weber dalam Hunter (2009, hal. 4) menganggap kemajuan sebagai biang kerok sekulerisme. Namun nampaknya justru majunya jaman seperti yang telah disebutkan sebelumnya telah membuat perkembangan pada kebutuhan rohani manusia dalam berkeyakinan bertambah kuat (Jati, 2015:177).
Jika kita menengok aktivisme reformis keagamaan seperti wahabisme ataupun salafisme, dan beberapa kelompok lain, gerakan tersebut kerap diasosiasikan menolak adanya modernitas. Modernitas dianggap membawa nilai yang mendegradasi nilai-nilai agama. Padahal aliran modernis juga menunjukkan suatu keyakinan optimis bahwa ada kekuatan dari rasionalitas, pengetahuan, serta industri dalam mentransformasikan dunia berubah menjadi lebih baik (Barker, 2013, hal. 141).
ADVERTISEMENT
Jika kita menengok dunia arab masa kini. Modernitas mulai diterima dan mulai dianggap wajar oleh pemerintah kerajaan setempat. Kini konser musik, bioskop, dan perempuan menyetir kendaraan diperbolehkan. Contoh-contoh tersebut bukanlah hal yang aneh lagi di daratan Arab kini. Namun, anehnya gerakan reformisme Islam di Indonesia kini terasa semakin menguat dan menjamur dengan berbagai gerakan yang beragam.
Tidak jarang meski dianggap anti-modernitas kelompok reformis berbasis keagamaan tersebut, toh bahkan sadar atau tidak, juga menggunakan modernitas sebagai kendaraan untuk menyebarkan pemikirannya (Iqbal, 2013, hal. 77-87). Buktinya bahkan sangat dekat dengan kegiatan sehari-hari kita. Akun-akun dakwah, akun anti pacaran, akun hijrah, akun salafisme semakin mudah kita temui di berbagai platform sosial media. Belum cukup, video dakwah dengan berbagai aliran juga bisa dengan mudah diakses siapapun dan dimanapun . Produk-produk bernafaskan Islam juga banyak ditemui. Tentu hal ini semacam paradox yang sedang kita hadapi.
ADVERTISEMENT
Kita bisa duga bahwa cita-cita para kelompok-kelompok puritan atau reformisme tersebut adalah mengamalkan kembali aktivitas kegamaan agar sama dan murni seperti ajaran yang ada pada masa lampau. Namun pada satu sisi lain tentu kita tidak bisa memutar momen dengan mesin waktu dan menafikan bahwa dunia benar-benar berubah dari hari ke hari.
Tidak jarang gerakan anti-modern yang extrem tersebut termanifestasi dalam gerakan anti-barat. Sebab kita tahu bahwa Barat memang menjadi salah satu pusat pelopor dan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan, mode dan teknologi. Pemboikotan produk asal barat dengan alasan tertentu juga kerap kita dengar, bahkan yang paling extrim ada pula peristiwa terorisme yang menyasar target pada tempat-tempat yang merepresentasikan barat.
Pada masa lampau agama Islam pernah mengalami jaman keemasan dalam ilmu pengetahun, dan teknologi. Harusnya sejarah tersebut menjadi semangat untuk semakin menerima keterbukaan dan modernitas apalagi dalam ranah ilmu pengetahuan. Bukankah dalam ajaran agama Islam kita juga diajarkan untuk menyeimbangkan dunia dan akhirat dan tidak berat sebelah ?.
ADVERTISEMENT
Kelompok Islam baik moderat maupun puritan sekalipun, sebenarnya tidak bisa dikatakan sepenuhnya menolak adanya modernitas. Mekanisme filter sebenarnya sudah kita terapkan sejak awal. Ekosistem dunia saat ini tentu semakin berkembang dengan berbagai dinamikanya menjadi takdir yang tidak bisa dilawan.
Modernitas terkadang semakin menguatkan sisi ekslusivitas aliran tertentu. Hervieu-Leger dalam Miettunen (2013, hal. 36) menyebutkan ada rasa keterikatan (kohesi), dan perasaan menjadi bagian serta identitas dari suatu kelompok yang ingin dipertahankan. Konten-konten yang di sebarluaskan oleh akun berabagai macam akun dakwah di internet kurang lebih, sebenarnya juga mencerminkan usaha penyebaran dan mempertahankan idenitas.
Tidak bisa dipungkiri kemajuan teknologi tersebut rasa-rasanya juga menjadi perantara perbedaan paham dan pendapat yang ada. Debat mengenai akidah sebenarnya membuang tenaga dan menjadi debat kusir panjang tanpa ujung. Menghargai sudut pandang kelompok lain harusnya menjadi nilai-nilai kemanusiaan untuk saling memahami satu sama lain dan hidup bersama dengan baik di dunia yang kian bergerak kedepan. Akhir kata modernitas harusnya bukan hanya dikambing hitamkan sebagai penyebab utama rusaknya jaman dan sekulerisme. Modernitas juga selayaknya diterima sebagai bentuk keterbukaan dan optimisme pada nilai-nilai yang bisa membawa kemaslahatan dan kepentingan bersama bagi umat manusia.
ADVERTISEMENT
Referensi
Barker, C. (2013). Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Hunter, S. T. (2009). Can Islam and Modernity be Reconciled? Jstor SET VAKFI İktisadi İşletmesi, 1-13.
Iqbal, A. M. (2013). Agama dan Adopsi Media Baru: Penggunaan Internet oleh Gerakan Salafisme di Indonesia. Jurnal Komunikasi Indonesia, 77-87.
Miettunen, P. (2013). OUR ANCESTORS WERE BEDOUIN, Memory, Identity and Change : The Case of Holy Sites in Southern Jordan. Academic dissertation the Faculty of Arts University of Helsink, 3-218.