Konten dari Pengguna

Cerpen: Meretas Feodalisme, Santriwati dan Kyai di Pesantren Psikologi Modern

Annisa Aulia Rosyida
Brainy Babies , mahasiswi baru psikologi yang dalam fase transisi putih abu-abu menuju perkuliahan di Yogyakarta. Mengisi waktu dengan menulis prosa, esai, cerpen, dan puisi dnegan perspektif psikologis.
14 April 2025 14:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Aulia Rosyida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Foto pribadi penulis.  Potret Annisa, salah seorang santriwati pondok pesantren di Mojokerto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Foto pribadi penulis. Potret Annisa, salah seorang santriwati pondok pesantren di Mojokerto
ADVERTISEMENT
Nisa menatap kaca spion mobil. Jilbab putihnya sedikit bergeser, menampakkan helaian rambut hitam yang terselip rapi. Di pangkuannya, dua botol sirup markisa berembun—oleh-oleh khas pesantren untuk Naila. Januari 2025 ini panasnya tak biasa; udara Surabaya terasa seperti kuali tembaga. Tapi hatinya justru dingin. Lima tahun bersahabat, baru kali ini Naila bersedia menginap di Pondok Nurul Ummah Mojokerto.
ADVERTISEMENT
“Aku cuma penasaran, Nis,” ujar Naila seminggu lalu sambil menyendok es krim matcha di mal. “Katamu di pesantren kalian salat tahajud berjamaah sambil mencium tangan kyai. Bukannya itu feodal?”
Nisa tersenyum kecut. Kata “feodal” itu seperti pisau yang sama yang selalu ditusukkan orang kota pada tradisi yang ia cintai.
Mobil melambat di gerbang pesantren. Naila melongoskan kepala. Di kejauhan, puluhan santriwati bersarung biru sedang duduk melingkar di bawah pohon jambu. Seorang ibu berkacamata—Bu Nyai Hani—sedang menuangkan air ke cangkir plastik. Satu per satu santri maju: membungkuk, mencium tangan sang nyai, lalu minum sisa air di cangkir itu.
“Itu... minum bekas?” bisik Naila.
“Bukan bekas,” bantah Nisa pelan. “Itu tabarukan. Air yang sudah didoakan. Seperti kamu minum air bekas ibu sendiri saat kecil dulu kan?”
ADVERTISEMENT
Naila terdiam. Ingatannya melayang ke masa ketika ibunya masih hidup, menyuapinya bubur dengan sendok yang sama.
Malam pertama Naila di asrama dihiasi decak kagum dan gelisah. Saat salat Isya, ia melihat sendiri bagaimana ratusan santri dengan gesit mengatur sajadah tanpa ada yang bersenggolan. Seusai salat, seorang santri membungkuk 90 derajat menyalami Bu Nyai. “Sungkem, bukan feodal,” bisik Nisa. “Ini cara kami mengingat: ilmu bukan milik kami. Ia titipan yang harus dihormati.”
Naila mengernyit. “Tapi bukankah guru juga manusia biasa?”
“Pernah lihat orang Jepang membungkuk ke sesama?” tanya Nisa sambil membuka laptop. Di layar, video profesor Tokyo membungkuk dalam-dalam ke mahasiswanya terpampang. “Di sini, sungkem itu bahasa tubuh. Seperti kata Alfred Binet: ‘Sensasi hormat bukanlah perintah, tapi respons saraf yang terlatih.’”
ADVERTISEMENT
Pukul 03.00, Naila terbangun oleh gemuruh tasbih. Dari jendela, ia melihat para santri berjalan seperti bayangan menuju mushala. Tanpa disuruh, tanpa cambuk. Nisa yang sedang mengambil wudu tersenyum. “Kami bangun karena janji pada diri sendiri, bukan ancaman.”
Subuh itu, Naila ikut salat berjamaah. Saat imam membaca Al-Fatihah, ia merasakan getaran aneh di dada—seperti pertama kali mendengar konser orkestra. “Ini collective effervescence,” bisik Nisa usai salat, mengutip Durkheim. “Energi bersama yang mengubah ritual jadi makna.”
Sarapan pagi menjadi ujian terberat Naila. Di dapur, seorang santri dengan sarung basah sedang memeras santan untuk kolak. “Itu Azizah. Dia mondok sambil mengurus ibu lumpuhnya,” kata Nisa. Tiba-tiba Bu Nyai mendekat, mengambil sendok nasi dari tangan Azizah, lalu menyuapkannya ke mulut santri itu. “Tafa’ulan,” jelas Nisa. “Kami percaya berkah doa bisa berpindah melalui gestur.”
ADVERTISEMENT
Naila teringat teori mirror neurons yang pernah dipelajarinya di kelas psikologi. Otak memang dirancang untuk meniru—tapi di sini, yang ditiru bukan kesombongan, melainkan kerendahan hati.
Hari terakhir Naila di pesantren diwarnai hujan gerimis. Di ruang tamu, Bu Nyai sedang membacakan surat Yusuf. Tiba-tiba Naila bersin. Dengan refleks, Bu Nyai mengusap punggungnya sambil berbisik, “Yasyfiyakullah.” Sentuhan itu hangat, persis seperti ibunya dulu.
“Feodalisme itu hierarki paksa,” kata Nisa malam itu sambil menatap langit. “Tapi di sini, rasa hormat tumbuh seperti padi—dari bawah, bukan ditanam paksa.”
Di stasiun Mojokerto, Naila memeluk erat Nisa. “Aku sekarang paham,” bisiknya. “Kalian bukan menyembah guru. Kalian sedang melatih muscle memory untuk menghargai ilmu.”
Kereta membawa Naila pulang dengan sebotol air zamzam pemberian Bu Nyai. Di botol itu, tertempel sticky note: “Airku bekas, tapi doanya tak pernah kadaluarsa.”
ADVERTISEMENT
Sejak itu, tiap kali melihat orang mencium tangan orang tua di mall, Naila tak lagi menyeringai. Ia ingat senyum Bu Nyai yang seperti daun jambu—tua, keriput, tapi manisnya meresap sampai ke akar.