Konten dari Pengguna

Transmisi Ilmu dalam Pesantren: Peran Kesadaran dan Sensasi Menurut Alfred Binet

Annisa Aulia Rosyida
Brainy Babies , mahasiswi baru psikologi yang dalam fase transisi putih abu-abu menuju perkuliahan di Yogyakarta. Mengisi waktu dengan menulis prosa, esai, cerpen, dan puisi dnegan perspektif psikologis.
14 April 2025 14:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Aulia Rosyida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Foto pribadi penulis.  Suasana Perpustakaan Daerah yang kerap dikunjungi penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Foto pribadi penulis. Suasana Perpustakaan Daerah yang kerap dikunjungi penulis.
ADVERTISEMENT

Sensasi sebagai Fondasi Pengetahuan dan Relasi Epistemik di Pesantren

Berdasarkan teori Alfred Binet, seluruh pengetahuan manusia tentang dunia luar terbentuk melalui sensasi—impresi yang dimediasi sistem saraf. Dalam karyanya The Mind and the Brain, Binet menegaskan: “Of the outer world we know nothing except our sensations… The nervous system… prevents us from knowing the true nature of objects” (Bab II). Artinya, realitas eksternal—termasuk relasi kyai-santri—dipahami melalui filter sensori dan kognisi individu. Bagi santri, sikap hormat kepada kyai bukanlah feodalisme, melainkan sikap epistemik untuk memudahkan transmisi ilmu. Seperti dijelaskan Binet, sistem saraf bertindak sebagai perantara (intermediary) yang memungkinkan komunikasi dengan objek, sekaligus membatasi pengetahuan akan hakikatnya. Kerelaan santri patuh pada kyai adalah bentuk adaptasi sensori terhadap lingkungan pesantren, yang mana otak mengonstruksi realitas melalui ritme pembelajaran yang terinternalisasi.
ADVERTISEMENT

Mekanisme Kognitif Santri vs. Feodalisme: Perbedaan Struktur Kesadaran

Dalam konteks ini, Binet membedakan antara objek kognisi (seperti ajaran kyai) dan tindakan kognisi (kesadaran santri dalam memahami). Ia menulis: “Every sensation comprises an impression and a cognition” (Buku II, Bab II). Sikap patuh santri adalah hasil “habit formation” (pembentukan kebiasaan) yang mengurangi intensitas kesadaran volisional , sehingga proses belajar menjadi otomatis—bukan paksaan. Feodalisme, justru sebaliknya, bersifat hierarkis-koersif dan mengandalkan kekuasaan turun-temurun. Sementara di pesantren, otoritas kyai lahir dari kapasitas keilmuan (ilmu) yang terus diverifikasi melalui diskusi (bahtsul masail), bukan warisan genealogis. Binet menyebut ini “consciousness perceives only the external object” , yaitu bahwa: kesadaran santri terfokus pada objek eksternal (ilmu), bukan persona kyai.

Kritik atas Reduksionisme Materialis: Sensasi bukan Representasi Feodal

Binet mengkritik pandangan materialis yang menyamakan kesadaran dengan sekresi otak “materialism reduces consciousness to brain secretions”. Tuduhan feodalisme di pesantren kerap kali berasal dari interpretasi keliru terhadap sensasi sekunder—seperti pengamatan sepintas ritual sungkeman atau penggunaan bahasa hormat. Padahal, bagi Binet, “sensations… are subjective to the same degree”. Artinya, sungkeman bagi santri adalah ritual sensori yang bermakna penguatan ikatan dengan ilmu, bukan kultus individu. Contohnya, ketika seorang santri “merasakan ketenangan saat mengikuti pengajian”, non-santri mungkin “melihatnya sebagai penyerahan buta”—perbedaan ini muncul karena “the specificity of nerves not absolute” , yang mana sistem saraf non-santri tak terbiasa dengan konteks pesantren.
ADVERTISEMENT

Peran Kesadaran Aktif dalam Adaptasi Tradisi Pesantren

Lebih lanjut, Binet menekankan bahwa kesadaran bukanlah produk pasif otak, melainkan proses selektif yang dinamis “the mind has an incomplete life… dependent on the body”. Berbicara konteks pesantren, tradisi seperti bandongan atau sorogan tidak mati secara kultural, tetapi berevolusi melalui musyawarah ilmiyah—forum di mana santri berdebat dengan basis pengetahuan yang diperoleh. Kondisi ni sejalan dengan teori Binet: “the nervous system must add its own effect to that of its excitant” . Dengan kata lain, sistem saraf santri tidak sekadar menyalurkan rangsangan ajaran kyai, tetapi memberi “warna” interpretasi sesuai konteks zaman. Misalnya, banyak pesantren modern yang mengintegrasikan kurikulum agama dengan sains tanpa kehilangan khittah—bukti ketiadaan feodalisme kaku.

Pesantren sebagai Sistem Energi Spesifik: Antitesis Feodalisme

Binet menggunakan istilah “hukum energi spesifik saraf” (Müller) untuk menjelaskan bahwa sifat sensasi bergantung pada organ yang menerimanya pada Bab II karyanya. Analoginya, pesantren adalah “sistem energi spesifik” yang memungkinkan transmisi ilmu tanpa distorsi. Feodalisme, sebagai sistem tertutup, menuntut kepatuhan mutlak tanpa ruang kritisisme. Sementara di pesantren, kerelaan santri adalah “aktivasi memori sensori” (seperti mendengar ayat atau merasakan kedamaian) yang justru melahirkan kesadaran kritis. Contohnya, tokoh seperti Gus Dur lahir dari lingkungan pesantren tetapi mampu mengkritik praktik sosial yang timpang—sesuatu yang mustahil dalam sistem feodal.
ADVERTISEMENT

Rekonsiliasi Tradisi dan Demokrasi: Pesantren sebagai Model Kesadaran Kolektif

Menurut Binet, “mechanical theories of matter are only symbols” —label feodal adalah simbol yang gagal menangkap hakikat dinamis pesantren. Relasi kyai-santri bukanlah “incomplete life of mind” (kehidupan mental tak lengkap), melainkan “consciousness perceives only the external object” yang terus berevolusi. Pesantren membuktikan bahwa kesetaraan demokratis bisa tercapai tanpa menghapus tradisi, selama ada kesadaran kolektif akan tujuan bersama: penguasaan ilmu. Dengan demikian, klaim feodalisme di pesantren adalah bentuk “reduksionisme sensori” yang mengabaikan kompleksitas kognisi santri—sebuah kesalahan yang diingatkan Binet: “We never go outside ourselves. We are walled in” .
Tuduhan feodalisme muncul dari “kesenjangan sensori” antara pengalaman santri dan pengamat eksternal. Pesantren justru menjadi bukti bahwa kesadaran kolektif berbasis ilmu mampu menolak stagnasi feodal, sekaligus merawat tradisi dengan integritas kritis. Seperti ditegaskan Binet: “The mechanical theories… are only symbols” (Bab III)—demokrasi Indonesia dan pesantren bukanlah antitesis, melainkan dua sisi mata uang kesadaran yang terbuka pada dinamika zaman.
ADVERTISEMENT