7 Jawaban Istana soal Defisit Dagang yang Terburuk Sejak RI Merdeka

15 Januari 2019 20:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Staff Khusus Presiden, Ahmad Erani Yustika. (Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Staff Khusus Presiden, Ahmad Erani Yustika. (Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pihak Istana akhirnya buka suara soal neraca perdagangan Indonesia yang sepanjang 2018 mencatatkan defisit USD 8,57 miliar. Ini merupakan defisit tahunan terdalam sejak 1945.
ADVERTISEMENT
Staf Khusus Kepresidenan Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan, ada tujuh hal yang harus dicermati mengenai neraca dagang. Pertama, meskipun neraca perdagangan defisit, namun laju ekspor sepanjang 2018 terus mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor 2018 mencapai USD 180,05 miliar, meningkat jika dibandingkan 2017 yang hanya USD 168,8 miliar. Sementara pada 2016 ekspor mencapai USD 145,1 miliar, pada 2015 mencapai USD 150,3 miliar, dan 2014 nilai ekspor sebesar USD 176,29 miliar.
"Pencapaian 2018 hampir mendekati 2012 dan 2013 masing-masing USD 190,04 miliar dan USD 182,55 miliar. Penurunan nilai ekspor sejak 2014 dapat dibalikkan oleh pemerintah," ujar Erani kepada kumparan, Selasa (15/1).
ADVERTISEMENT
Kedua, peranan ekspor manufaktur juga semakin meningkat. Bank Indonesia (BI) mencatat peranan nilai ekspor manufaktur terhadap nilai ekspor nasional mencapai 70 persen pada 2018, meningkat dari 67 persen dibandingkan posisi tahun 2014. Hal itu sejalan dengan program hilirisasi produk yang digalakkan pemerintah.
"Pada komoditas kelapa sawit, tahun 2010 rasio ekspor produk hulu CPO dengan produk hilir adalah 60:40 persen; dan menjadi 22:78 persen pada 2017," katanya.
Ketiga, untuk mendukung eskpor nasional, Erani bilang, pemerintah telah mengeluarkan Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KURBE) yang dikelola oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI (Indonesia Exim Bank). Suku bunga KURBE relatif rendah 9 persen tanpa subsidi, penyaluran kredit ini bakal terus ditangani.
"Keempat, pemerintah juga memberikan insentif bagi investasi di sektor hulu l. Insentif investasi di sektor hulu sudah digulirkan pemerintah untuk mengurangi impor bahan baku dan penolong. Namun dampaknya baru bisa dirasakan dalam jangka menengah," kata dia.
Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan. (Foto: ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan. (Foto: ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang)
Kelima, neraca perdagangan yang defisit juga dipengaruhi oleh dominasi faktor global. IMF menyatakan gejolak perang dagang antara AS-China akan memperlambat lalu lintas ekonomi dan pertumbuhan dunia. Bagi Indonesia, kedua negara tersebut merupakan pasar penting untuk ekspor.
ADVERTISEMENT
Menurut data BPS, pangsa ekspor Indonesia ke China mencapai 15 persen dan ke AS 10 persen. Meski terkena perang dagang, ekspor ke dua negara tersebut masih tumbuh positif masing-masing 14 persen dan 3 persen.
Keenam adalah harga minyak dunia. Erani menuturkan, mau tidak mau neraca perdagangan negara importir minyak tertekan saat harga minyak melonjak. Namun, nilai impor minyak sudah mulai menurun sejak November-Desember 2018.
Pada Desember 2018, nilai impor minyak hanya USD 1,95 miliar, lebih rendah dari Desember 2017.
"Kecenderungan penurunan harga minyak diprediksi membantu neraca perdagangan ke depan. Secara umum, kebutuhan impor minyak dan gas cenderung menurun karena penggunaan B20. Realisasi volume impor minyak dan gas sepanjang 2018 sebesar 49,11 juta ton, turun dari 50,37 juta ton," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Terkahir yakni depresiasi rupiah. Menurut Erani, lonjakan nilai impor disebabkan oleh depresiasi rupiah, sehingga biaya mengimpor semakin mahal.
Sejak November 2018, rupiah sudah menguat dan akan berkontribusi terhadap perbaikan neraca perdagangan ke depan. Menurut BI, nilai rupiah terhadap dolar AS per November 2018 mencapai Rp 14.481, jauh lebih rendah dari posisi Oktober 2018 hingga Rp 15.220.
BPS melaporkan, neraca perdagangan selama 2018 tercatat defisit USD 8,57 miliar. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan 2017 yang mencatatkan surplus USD 11,84 miliar. Neraca perdagangan ini merupakan yang terparah sepanjang sejarah.
Secara rinci, ekspor migas selama tahun lalu hanya USD 17,4 miliar, sementara impor migas sebesar USD 29,8 miliar. Sehingga neraca migas sepanjang 2018 tercatat defisit USD 12,4 miliar, jauh melebar dibandingkan 2017 yang mencatatkan defisit USD 8,57 miliar.
ADVERTISEMENT
Neraca minyak mentah selama 2018 masih defisit USD 4 miliar, hasil minyak defisit USD 15,9 miliar, dan gas mencatatkan surplus USD 7,5 miliar.
Sementara itu, ekspor nonmigas selama tahun lalu sebesar USD 162,6 miliar, sementara impor hanya USD 158,8 miliar. Sehingga neraca nonmigas masih mencatatkan surplus USD 3,83 miliar, namun melambat dibandingkan tahun 2017 yang mencatatkan surplus USD 20,4 miliar.