Anomali BPJS Kesehatan: Ketika Subsidi buat Si Miskin Dipakai Si Kaya

8 Oktober 2019 15:42 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kantor pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Beroperasi sejak tahun 2014, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) Kesehatan membawa semangat gotong royong agar dapat memberikan pelayanan kesehatan secara adil dan merata. Namun seiring berjalannya waktu, defisit di tubuh BPJS Kesehatan terus terjadi tiap tahun.
ADVERTISEMENT
Ketua Departement Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK KMK Universitas Gadjah Mada (UGM), Laksono Trisnantoro, mengatakan bahwa defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan lantaran tunggakan yang terjadi di peserta mandiri PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah).
Defisit terjadi karena tunggakan para peserta PBPU tersebut berusaha ditutup BPJS Kesehatan dari uang PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang tidak terpakai. Padahal seyogyanya uang sisa dari PBI yang bersumber dari APBN itu dialokasikan untuk kompensasi seperti membayar tenaga kesehatan di daerah terpencil. Pola seperti ini membuat seakan-akan PBI untuk orang miskin dijadikan 'subsidi' buat peserta PBPU yang lebih kaya.
Laksono sendiri lebih memilih kata gotong royong yang terbalik dibanding 'subsidi' untuk menggambarkan situasi ini. Jumlah peserta PBPU hanya sekitar 14-15 persen dari keseluruhan peserta BPJS Kesehatan yang mencapai 221 juta orang. Namun 14-15 persen PBPU itu lah yang jadi sumber masalahnya.
ADVERTISEMENT
“Bukan (si miskin) mensubsidi (si kaya), (dana untuk si miskin) terpakai oleh kelompok yang lebih kaya karena single pool,” kata Laksono saat di FK KMK UGM Yogyakarta, Selasa (8/10).
Ketua Departement Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK KMK Universitas Gadjah Mada (UGM), Laksono Trisnantoro. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Single pool yang dimaksud Laksono adalah kebijakan satu kantong yang digunakan BPJS. Uang yang masuk ke BPJS, termasuk PBI yang bersumber dari APBN, akan tercampur dengan sumber-sumber pemasukan lain. Di situ lah uang yang diperuntukkan ke orang miskin justru dipakai kelompok yang lebih kaya.
“Masuk satu kantong yang dicampur, jadi kalau di PBI yang sisa tadi otomatis dipakai kelompok lain yang minus ya kecampur kan. Kan tidak dipilah-pilah. Sistem single pool itu membikin uang masuk dan tercampur. (Padahal) PBI ada yang sisa Rp 6 triliun, sisa Rp 4 triliun setiap tahun. PBI APBN tidak pernah defisit,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Laksono berpendapat naiknya iuran BPJS Kesehatan tidak akan mengatasi masalah defisit apabila tidak ada perubahan sistem. Di tahun 2019 ini, BPJS Kesehatan diperkirakan defisit hingga lebih dari Rp 18 triliun. Angka tersebut juga merupakan carryover defisit pada tahun-tahun sebelumnya.
Dari hasil workshop JKN dan Pemerataan Kuratif yang diselenggarakan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM maka perlu adanya kompartemenisasi BPJS. Hal itu diperjelas dengan mempertegas kantong pengelolaan dana amanat berdasarkan kelompok peserta. Sehingga kerugian di suatu kelompok peserta, misalnya PBPU, tidak berdampak pada kelompok lain misalnya PBI.
“Usulan kami bikin kompartementasi yang tegas kita harus menyelamatkan dana PBI orang miskin dan tidak mampu. APBN terbatas di pakai miskin dulu baru ke orang kaya. Prinsipnya jangan sampai dana PBI dipakai ke PBPU. Dibikin batas tadi. Karena kalau tidak di pakai bisa nyeleweng ke sini (PBPU),” kata Laksono.
Petugas melayani pengurusan kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Sementara untuk mengatasi persoalan peserta PBPU yang menunggak diperlukan adanya penetapan dan pelaksanaan kelas standar bagi peserta PBPU. Di situ ketika standar ditetapkan maka tidak bisa dengan mudah peserta minta naik kelas. Jika peserta ingin naik kelas maka dipersilakan menggunakan asuransi komersial. Serta menetapkan nilai maksimal klaim untuk peserta.
ADVERTISEMENT
“Ada kelas standarnya, tidak boleh naik kelas. Kalau mau naik kelas bisa akses ke komersial. Kalau yang sekarang bisa beli (kelas) 1, 2, 3 dan bisa naik kelas. Ada kelas standar tidak boleh naik kelas,” tutur dia.
Aturan-aturan seperti ini lah yang tidak masuk dalam Undang-undang SJSN 2014. Untuk itu dia mendorong adanya revisi undang-undang tersebut. Hal ini penting, Laksono mencontohkan bagaimana orang NTT harus sampai ke Surabaya untuk mendapatkan fasilitas kesehatan layak. Sedangkan BPJS tidak menanggung ongkos transportasi dan ongkos hidup pasien atau keluarga pasien selama di kota lain.
“Undang-undang tidak mencerminkan seperti itu, uangnya masuk dalam satu kantong itu. Harusnya ada aturan tambahan tidak boleh dana masuk PBI dipakai kelompok lain. Kalau sisa dipakai kompensasi itu untuk memberikan SDM kesehatan di tempat terpencil. Mereka di sana aksesnya rendah,” tegas dia.
ADVERTISEMENT
Laksono juga mendorong pemerintah daerah (Pemda) agar ikut menanggung defisit BPJS melalui APBD. Sampai tahun kelima JKN, defisit ditutup oleh pemerintah pusat.
PKMK telah melakukan penelaahan UU sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Hasilnya tidak ditemukan pasal maupun ayat yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan JKN menjadi kewenangan ekslusif pemerintah pusat. Seharusnya JKN dapat menjadi tanggung jawab pemerintah pusat maupun pemda,” kata dia.
Sebagai gambaran sederhana, Laksono mencontohkan Thailand sebagai negara yang memiliki pengelolaan asuransi kesehatan bagus. Di sana ada tiga BPJS yaitu untuk miskin, PNS, dan pekerja. “Yang satu sama lain uangnya tidak boleh mengalir sana sini (pindah kelompok). Plus kelompok yang mengakses komersial, jadi mereka tidak menggunakan BPJS negara,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya diberitakan, jumlah tagihan klaim BPJS Kesehatan yang harus dibayarkan kepada seluruh rumah sakit mitranya kini telah mencapai lebih dari Rp 11 triliun.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, menyampaikan bahwa angka Rp 11 triliun merupakan utang BPJS Kesehatan kepada rumah sakit pada bulan lalu. Saat ini, menurut dia, jumlahnya masih terus bertambah.
“Itu (Rp 11 triliun) bulan lalu. Kalau bulan ini pasti bertambah lagi,” jelasnya.
Dia menambahkan, angka defisit itu belum termasuk denda keterlambatan yang harus dibayar BPJS Kesehatan ke rumah sakit. Sesuai perjanjian, BPJS Kesehatan dikenakan denda 1 persen jika terlambat membayar klaim.
“Kalau BPJS telat bayar itu kena denda 1 persen. Denda itu besar, itu menjadi beban,” ucap Fachmi.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit BPJS Kesehatan pada tahun lalu mencapai Rp 9,1 triliun. Pada tahun ini jika tak terdapat kenaikan, nilai defisit bisa menembus Rp 32 triliun.