Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Mundurnya Suprajarto tak lama setelah dipilih sebagai Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau Bank BTN menuai polemik.
ADVERTISEMENT
Saat diangkat di dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) BTN, Suprajarto masih aktif sebagai Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI). Bahkan Suprajarto sama sekali tidak diajak bicara terkait penunjukan dirinya. Selain itu, BRI yang sebelumnya dipimpin Suprajarto, merupakan bank terbesar di Indonesia.
Mengutip laporan keuangan terbaru, BRI memiliki aset per Juni 2019 sebesar Rp 1.288 triliun. Sedangkan BTN berada di urutan kelima, asetnya hanya seperempatnya dari BRI atau Rp 312 triliun.
BRI juga masuk Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) IV dengan modal inti di atas Rp 30 triliun. Sedangkan BTN masuk bank BUKU III, dengan modal inti di kisaran Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun.
ADVERTISEMENT
Bankir Senior, Sigit Pramono mengapresiasi sikap dari Suprajarto , yakni memilih mundur dan menolak posisi baru di Bank BTN.
Menurutnya, apa yang menimpa Suprajarto menunjukkan proses tata kelola, khususnya pemilihan Direksi Bank BUMN yang telah go public tidak berjalan dengan baik.
“Tetapi sebetulnya kasus pergantian direksi dan komisaris BUMN yang terdaftar di bursa, merupakan sebuah cermin bagaimana buruknya praktik tata kelola yang baik di perusahaan (Good Corporate Governance) di BUMN terbuka,” kata Sigit kepada kumparan, Minggu (1/9).
Untuk itu, pria yang saat ini menjabat Ketua Umum Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD) mendorong Kementerian BUMN selaku pemegang saham pengendali Bank BUMN agar memperbaiki tata kelola yang ada. Kementerian BUMN sudah seharusnya menjadi contoh bagi pemegang saham agar bekerja lebih baik.
ADVERTISEMENT
“Persoalannya bukan hanya sekadar tidak memberitahu pihak-pihak anggota direksi dan komisaris yang akan diganti, tetapi juga berarti mengabaikan hak-hak pemegang saham minoritas yang notabene adalah pemegang saham publik,” ujar Sigit.
Selain itu, mantan Direktur Utama Bank BNI itu mengungkapkan harus ada keterbukaan khususnya dalam setiap pergantian pengurus perusahaan, apalagi bila itu perusahaan terbuka. Salah satu yang disoroti Sigit adalah tidak diumumkannya calon pejabat yang diganti atau calon penggantinya.
“Kemudian siapa calon-calonnya harus diumumkan secara terbuka sebelumnya dalam jangka waktu tertentu sehingga pemegang saham publik dan minoritas mendapatkan informasi yang cukup," sebutnya.
"Benar bahwa ketika Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa, pemegang saham minoritas, pada akhirnya akan selalu kalah jika pemungutan suara dilakukan,” terang Sigit.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Sigit berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berani menertibkan praktik tata kelola yang kurang baik dari Kementerian BUMN, sehingga kejadian seperti yang menimpa Suprajarto tidak terulang lagi.
Dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot mengatakan, pergantian manajemen perbankan BUMN merupakan murni aksi korporasi perusahaan dan merupakan kewenangan pemegang saham, dalam hal ini Kementerian BUMN. Sebagai lembaga pengawas aktivitas keuangan perbankan, OJK akan melakukan proses penilaian dan kepatutan (fit and proper test) kepada pengurus bank baru setelah memperoleh usulan nama dari pemegang saham.
"Pergantian direksi merupakan kewenangan pemegang saham. OJK melakukan fit and proper test terhadap pengurus bank yang ditunjuk atau diajukan oleh pemegang saham dan memastikan bahwa semua aturan serta ketentuan dipenuhi," katanya kepada kumparan.
ADVERTISEMENT